Senin, 13 Februari 2012

REVIEW BUKU NOVEL SEJARAH TENTANG MASJID SULTAN SURIANSYAH

Judul Buku : Tegaknya Masjid Kami
Genre : Novel Sejarah
Pengarang : Tajuddin Noor Ganie
Penerbit : Tuas Media Kertak Hanyar
Tahun Terbit : 2011
Tebal Buku : 56+xi

Tidak lama setelah mengucapkan sabda pandita ratu bahwa yang berhak menggantikannya kelak bukanlah anaknya Pangeran Temenggung tapi adalah cucunya Pangeran Samudera, Maharaja Sukarama raja di raja Tanah Banjar yang berkuasa di Kerajaan Negara Daha meninggal dunia karena usia tua.
Ketika Maharaja Sukamara meninggal dunia, Pangeran Temengung yang jauh lebih berpengalaman sebagai seorang politikus, dengan mudah berhasil menguasai keadaan. Dalam tempo singkat ia berhasil menguasai komando atas armada perang dan semua sektor vital lainnya yang memungkinkannya dapat berkuasa secara mutlak di Kerajaan Negara Daha.
Pangeran Samudera yang sudah kalah segala-galanya terpaksa menyetujui saran Patih Arya Taranggana untuk pergi meninggalkan Istana Daha secara diam-diam guna menyelamatkan dirinya dari ancaman pembunuhan yang akan dilakukan oleh kaki-tangan Pangeran Temengung.
Pangeran Samudera segera pergi meninggalkan Istana Daha dengan cara mengayuh perahu sendirian. Sejak Pangeran Temenggung berkuasa secara tidak sah di Kerajaan Negara Daha, maka Pangeran Samudera terpaksa hidup dengan cara menyamarkan diri sebagai seorang nelayan sungai bernama Samidri di daerah Muara Banjar. Daerah Muara Banjar ketika itu diperintah oleh Patih Masih.
Pangeran Samudera sengaja pergi ke daerah Muara Banjar karena menurut informasi intelijen, Patih Masih adalah seorang kepala daerah yang tetap setia kepada sabda pandita ratu Maharaja Sukamara.
Dalam suatu kesempatan ia berkenalan dengan Patih Masih. Begitu mengetahui bahwa Samidri tidak lain adalah Pangeran Samudera, maka Patih Masih kemudian menobatkannya sebagai raja di raja Tanah Banjar, yakni sebagai tandingan Pangeran Temenggung.
Begitu mengetahui bahwa Pangeran Samudera sudah dinobatkan sebagai raja tandingan di Muara Banjar, maka Pangeran Temenggung segera mengirimkan armada perangnya untuk menggempur Muara Banjar yang dijadikan sebagai pusat pemerintahan oleh Pangeran Samudera.
Begitulah, perang saudara antara pasukan perang yang setia kepada Pangeran Temenggung melawan pasukan yang setia kepada Pangeran Samudera segera pecah dan berlangsung dalam suasana panas sehingga banyak menimbulkan korban di kedua belah pihak.
Atas saran Patih Masih, Pangeran Samudera kemudian meminta bantuan pasukan perang kepada Sultan Terenggono raja di raja di tanah Jawa. Sultan Terenggono bersedia memberikan bantuan pasukan perang dengan syarat Pangeran Samudera bersedia memeluk agama Islam jika kelak berhasil mengalahkan Pangeran Temenggung dalam perang saudara itu.
Syarat itu diajukan berkaitan dengan status Sultan Terenggono yang ketika itu adalah raja yang berkuasa di Kerajaan Demak, yakni Kerajaan Islam yang baru saja berhasil menggusur kekuasaan Kerajaan Majapahit atas Tanah Jawa dan sekitarnya.
Pangeran Samudera menyetujui syarat itu, Sultan Terenggono segera mengirimkan pasukan perangnya di bawah komando Khatib Dayan, seorang panglima perang yang selain dikenal tangguh sebagai juru perang juga dikenal tangguh sebagai seorang juru dakwah.
Selain dibantu oleh pasukan perang dari luar negeri, Pangeran Samudera juga dibantu oleh para tokoh sakti mandraguna yang berasal dari Tanah Banjar sendiri, seperti : Patih Masih, Patih Muhur, Patih Mahit, Patih Balit, Panimba Sagara, Pambalah Batung, Garuntung Manau, Garuntung Waluh, Aria Malangkan, dan Awi Tadung (tentang apa dan siapa Awi Tadung diceritakan secara khusus dalam cerita bersambung ini).
Takdir ternyata memang berpihak kepada Pangeran Samudera, ia berhasil mengalahkan Pangeran Temenggung. Pada mulanya Pangeran Temenggung dijatuhi hukuman mati, tetapi hukumannya kemudian diubah menjadi hukuman pengasingan. Pangeran Samudera sendiri kemudian memproklamasikan berdirinya Kerajaan Banjar, sebuah kerajaan yang roda pemerintahannya dijalankan berdasarkan syariat Islam.
Memang, sesuai dengan janjinya kepada Sultan Terenggono, Pangeran Samudera segera memeluk agama Islam dan menjadikan agama Islam sebagai agama resmi di Kerajaan Banjar. Sejak itu Pangeran Samudera resmi mempergunakan nama Sultan Suriansyah.
Beberapa bulan setelah Kerajaan Banjar didirikan, Khatib Dayan menyarankan agar Sultan Suriansyah mendirikan sebuah masjid di pusat kota Muara Banjar. Saran itu disambut baik oleh Sultan Suriansyah.
Sultan Suriansyah kemudian menyelenggarakan sayembara pencarian empat batang kayu ulin yang akan dijadikan sebagai tiang guru masjid. Agar orang tergiur untuk mengikutinya, maka hadiah yang dijanjikan dalam sayembara itu sengaja ditetapkan dalam bentuk uang yang jumlahnya sangat besar.
Peserta sayembara yang pertama pertama terdiri dari dua orang bersaudara kembar, yakni Sutakil dan Sutakul, warga desa Mantuil. Kedunya pergi mencari kayu ulin dimaksud ke Pulau Kaget, sebuah pulau yang terletak di muara Sungai Barito yang terkenal angker karena pulau ini konon dijaga oleh sepasang jin kapir bernama Maskabal dan Maskabil.
Di Pulau Kaget ini mereka berhasil menemukan dan menebang dua batang kayu ulin yang memenuhi syarat untuk dijadikan sebagai tiang guru masjid. Tapi, keduanya terpaksa menerima nasib buruk, tubuh keduanya berubah wujud menjadi dua ekor naga setelah mereka memakan potongan bekas tebangan pohon ulin yang bila dibakar akan mengeluarkan bau daging dan ketika dimakan rasanya juga enak seperti daging bakar.
Ternyata potongan bekas tebangan pohon ulin yang mereka makan dimaksud tidak lain adalah perangkap maut yang sengaja dipasang oleh pasangan jin kapir Maskabal dan Maskabil yang menjadi penunggu Pulau Kaget.
Setelah berubah wujud menjadi dua ekor naga, Sutakil dan Sutakul lantas saling menyalahkan satu sama lain, selanjutnya keduanya lalu saling berkelahi. Akibat perkelahian itu, maka Sungai Barito pun bergelora, gelombang besar yang ditimbulkannya memporak-porandakan pemukiman penduduk yang tinggal di tepi kiri dan kanan Sungai Barito.
Mereka baru berhenti berkelahi setelah dilerai oleh Panimba Sagara, Pambalah Batung, Garuntung Manau, dan Garuntung Waluh (Menteri Empat di Kerajaan Banjar) yang datang ke tempat kejadian perkara atas perintah langsung dari Sultan Suriansyah.
Setelah mengetahui duduk persoalan yang sebenarnya, Panimba Sagara bersedia memulihkan wujud Sutakil dan Sutakul. Syaratnya, pemulihan wujud dimaksud baru dilakukan setelah naga jelmaan Sutakil dan Sutakul berhasil menggiring rakit bambu berisi muatan dua batang kayu ulin tebangannya hingga sampai ke lokasi pembangunan masjid.
Selain itu hadiah uang yang nantinya akan mereka terima dari Sultan Suriansyah juga harus dibagi dua. Satu bagian untuk mereka berdua, dan satu bagian lainnya diberikan kepada warga desa sebagai pengganti bangunan rumahnya yang hancur porak-poranda terkena gelombang besar Sungai Barito yang bergelora akibat perkelahian mereka berdua.
Sutakil dan Sutakul bersedia menerima syarat itu karena memang tidak ada pilihan lain. Wujud Sutakil dan Sutakul segera dipulihkan kembali setelah rakit bambu berisi muatan dua batang kayu ulin dimaksud tiba di tempat yang dituju, dan setelah Panimba Sagara berhasil menaklukan jin kapir Maskabal dan Maskabil.
Peserta sayembara yang ke-dua terdiri dari tiga orang bersaudara, yakni : Lamitak, Lamitik, dan lamituk, warga Kampung Taniran. Ketiganya pergi mencari kayu ulin dimaksud ke hutan di kaki Gunung Maratus yang terkenal angker karena banyak dihuni siluman macan.
Di kaki Gunung Maratus ini mereka berhasil menemukan dan menebang dua batang kayu ulin yang memenuhi syarat untuk dijadikan sebagai tiang guru masjid. Tapi, keberhasilan itu harus dibayar mahal dengan hilangnya nyawa Lamitik dan Lamituk di tangan macan siluman bernama Saguisik dan Saguisik yang sengaja mengubah wujudnya menjadi dua orang wanita cantik yang sangat menggoda birahi.
Hanya Lamitak saja yang selamat, karena ia memang bersikap lebih waspada dibandingkan dengan dua orang saudaranya. Lamitak tidak bersedia memakan kue ketan yang disuguhkan oleh Saguisak, wanita ke-satu yang juga adalah jelmaan dari seekor macan siluman sebagaimana halnya wanita ke-dua Saguisik dan wanita ke-tiga Saguisuk yang berhasil memperdaya Lamitik dan Lamituk.
Lamitak kemudian diselamatkan oleh ayahnya yang sengaja datang bersama-sama dengan sejumlah penduduk Kampung Taniran lainnya ke tempat di mana Lamitak bersaudara mencari pohon kayu ulin di kaki Gunung Maratus.
Tidak hanya itu, ayah Lamitak juga berhasil membalaskan dendamnya atas kematian dua orang anaknya. Ia berhasil membunuh tiga macan siluman itu dengan kekuatan magis yang mengalir dari mulutnya yang komat-kamit membaca mantera pemusnah macan siluman.
Ayah Lamitak ini pula yang dengan bantuan tenaga yang diberikan oleh warga sekampungnya berhasil membawa pulang dua batang kayu ulin hasil tebangan anak-anaknya.
Setelah Lamitak sembuh dari sakitnya, dua batang kayu ulin itu pun mereka muat ke dalam dua buah rakit bambu yang sengaja dibuat untuk membawanya melalui jalur sungai dari Kampung Taniran menuju kota Muara Banjar.
Sesampainya di kota Muara Banjar dua batang kayu ulin itu diserahkan oleh Lamitak kepada panitia pembangunan masjid, dan sesuai dengan janjinya maka Sultan Suriansyah pun memberi Lamitak hadiah uang dalam jumlah yang sangat besar.
Tapi, meskipun empat batang kayu ulin untuk tiang gurunya sudah berhasil diperoleh. Namun, pembangunan masjid dimaksud tidak bisa langsung dimulainya. Menteri Empat Kerajaan Banjar yang terkenal sebagai empat punggawa yang sakti mandraguna, yakni Panimba Sagara, Pambalah Batung, Garuntung Manau dan Garuntung Waluh tiba-tiba menghilang dari tempat kediaman resmi mereka masing-masing.
Pemancangan tiang guru masjid terpaksa ditunda, karena tanpa bantuan ilmu kedigjayaan yang dimiliki oleh mereka berempat maka mustahil tiang guru masjid dimaksud akan dapat dipancangkan dengan mudah sebagaimana mestinya.
Selidik punya selidik, ternyata Menteri Empat Kerajaan Banjar itu sengaja pergi secara bersama-sama meninggalkan tempat kediaman resmi mereka masing-masing karena mereka tidak puas dengan keputusan Sultan Suriansyah memeluk agama Islam dan menjadikan agama Islam sebagai agama resmi di Kerajaan Banjar.
Hal ini mengingat keputusan Sultan Suriansyah itu dengan sendirinya telah menggusur status terhormat agama nenek moyang mereka. Selama ini agama nenek moyang yang mereka anut selalu dijadikan sebagai agama resmi dari semua kerajaan yang pernah ada di Tanah Banjar. Baik pada masa pemerintahan dinasti Kerajaan Negara Dipa, maupun pada masa pemerintahan dinasti Kerajaan Negara Daha.
“Pada mulanya kita bertempur untuk menegakkan sabda pandita ratu junjungan kita mendiang Maharaja Sukarama. Ironisnya, setelah sabda pandita ratu mendiang Maharaja Sukarama berhasil kita tegakkan, kita justru kehilangan kesempatan mempertahankan agama kita sebagai agama resmi kerajaan.” ujar Panimba Sagara.
Panimba Sagara dan kawan-kawannya sesama Menteri Empat yang menjadi anggota dalam musyawarah pucuk pimpinan di Kerajaan Banjar dengan terus terang mengatakan bahwa mereka telah merasa sia-sia berjuang menegakkan sabda pandita ratu Maharaja Sukarama. Bahkan, lebih dari pada itu mereka berempat merasa telah berbuat dosa yang sangat besar karena telah memberi peluang kepada agama Islam untuk menempati status sebagai agama resmi kerajaan (status yang selama ini ditempati oleh agama nenek moyang mereka).
Setelah melalui pendekatan dari hati ke hati yang dilakukan sendiri oleh Sultan Suriansyah, kemelut politik di Kerajaan Banjar itupun akhirnya berhasil diselesaikan dengan happy ending. Panimba Sagara dan kawan-kawannya bersedia memenuhi panggilan pulang yang disampaikan secara langsung oleh Sultan Suriansyah sendiri. Tidak hanya itu, meskipun tetap memeluk agama nenek moyangnya, mereka berempat bersedia menyumbangkan tenaga sakti yang mereka miliki untuk memancangkan tiang guru masjid yang dibangun oleh Sultan Suriansyah.
Namun, meskipun keempat tiang guru masjid telah berhasil dipancangkan sebagaimana yang direncanakan. Ternyata masih ada masalah yang harus segera diselesaikan. Semua tiang guru masjid yang telah berhasil dipancangkan itu pada suatu malam telah roboh semua tanpa diketahui sebab musababnya.
Selidik punya selidik ternyata semuanya itu adalah akibat ulah buaya siluman berwarna hitam yang sengaja disuruh oleh Pangeran Temenggung untuk merobohkan tiang guru masjid dimaksud.
Rupanya, Pangeran Temenggung yang ketika itu tengah menjalani kehidupan sebagai orang yang dikalahkan di daerah pengasingannya, masih menaruh dendam kepada Sultan Suriansyah, sehingga ia selalu berusaha untuk mengganggu keamanan dan ketertiban di Kerajaan Banjar.
Buaya siluman berwarna hitam itu berhasil dibunuh oleh Ning Kurungan seekor buaya siluman berwarna kuning yang bersahabat baik dengan Panimba Sagara. Setelah buaya siluman berwarna hitam berhasil dibunuh oleh buaya siluman berwarna kuning, maka pembangunan masjid di pusat kota Muara Banjar itu bisa dilakukan tanpa hambatan sama sekali. Hingga dalam tempo singkat pembangunan masjid dimaksud bisa diselesaikan sebagaimana mestinya.
Belakangan baru diketahui bahwa Pangeran Temenggung tidak hanya menjadi aktor intelektual dalam kasus perusakan tiang guru masjid oleh buaya siluman berwarna hitam ini saja. Tapi juga menjadi aktor intelektual yang dulu menyuruh jin kapir Maskabal dan Maskabil dalam kasus Pulau kaget yang membuat Sutakil dan Sutakul sempat berubah wujud menjadi dua ekor naga. Tidak hanya itu, Pangeran Temenggung ini pula yang menjadi aktor intelektual yang menyuruh macan siluman Saguisak, Saguisik dan Saguisuk dalam kasus pembunuhan Lamitik dan Lamituk di kaki Gunung Maratus
Memang, buaya siluman berwarna hitam, jin kapir Maskabal dan Maskabil, berikut tiga macan betina Saguisak, Saguisik dan Saguisuk, semuanya itu ternyata adalah orang-orang yang bekerja demi dan untuk atau atas suruhan Pangeran Temenggung.

SEKILAS INFO : NOVEL SAYA BERJUDUL TERBITNYA MASJID KAMI DITERBITKAN OLEH TUAS MEDIA KERTAK HANYAR

Saya ucapkan terima kasih kepada Saudara Mahmud Jauhari Ali (MJA), pemilik Tuas Media Kertak Hanyar, yang telah berkenan menerbitkan novel saya berjudul Tegaknya Masjid Kami (TMK).
TMK merupakan novel saya yang pertama, tahun 2004, novel ini telah dimuat secara bersambung di sebuah koran terbitan Banjarmasin. Sambutan pembaca atas pemuatan TMK ketika itu sangatlah menggembirakan.
Sambutan hangat juga diberikan oleh komunitas sastrawan Kalsel, 22 Februari 2004, novel TMK telah dibahas secara khusus dalam sebuah forum diskusi yang sengaja digelar untuk itu.
Selanjutnya, berkenaan dengan peringatan 483 tahun Kota Banjarmasin (24 September 2010), Puskajimastra Kalsel Banjarmasin berkenan menerbitkannya dalam bentuk buku. TMK Cetakan I telah habis terjual dan telah pula dijadikan sebagai sumber data penulisan skripsi oleh sejumlah mahasiswa PBSID STKIP PGRI Banjarmasin.
TMK bercerita tentang perjuangan Sultan Suriansyah ketika mendirikan Kerajaan Banjar pada tahun 1520-1526. Kerajaan Banjar baru bisa didirikan setelah Sultan Suriansyah berhasil tampil sebagai pemenang dalam perang saudara melawan pamannya Pangeran Temenggung yang ketika itu menjadi raja secara tidak sah di Kerajaan Negara Daha.
Kerajaan Banjar adalah kerajaan pertama di Pulau Kalimantan yang menjadikan ajaran Islam sebagai ideologi negara menggantikan ajaran nenek moyang yang selama ini menjadi ideologi Kerajaan Negara Daha.
Masjid merupakan simbol yang paling utama dari sebuah kerajaan Islam. Namun, meskipun berstatus sebagai raja yang berkuasa penuh di seantero wilayah kerajaannya, Sultan Suriansyah harus berjuang keras untuk mendirikan masjid pertama di kota Banjarmasin.
Tantangan tidak hanya datang dari para pihak yang selama ini menjadi musuh laten negaranya, tetapi juga datang dari lingkaran dalam istana (ring 1). Persoalan menjadi sangat serius karena para pihak yang menentangnya kali ini adalah para petinggi militer Kerajaan Banjar yang masih tetap kukuh menganut agama nenek moyang mereka.
Intrik-intrik politik tingkat tinggi inilah yang antara lain saya ceritakan dalam TMK. Cerita lain yang juga mendominasi adalah cerita tentang kesulitan-kesulitan yang dialami oleh para peserta sayembara pencarian 4 batang tiang ulin untuk sokoguru masjid. Setiap peserta diceritakan mengalami peristiwa dahsyad di tempat-tempat di mana mereka menebang pohon ulin dimaksud.

Hormat saya,
Tajuddin Noor Ganie, N.Pd.
Jalan Mayjen Soetoyo, Gang Sepakat
RT 9 Nomor 30, Banjarmasin, 70119
Telepon 08195188521

TUAS MEDIA KERTAK HANYAR TERBITKAN NOVEL TAJUDDIN NOOR GANIE BERJUDUL TEGAKNYA MASJID KAMI

Mahmud Jauhari Ali (MJA), pemilik Tuas Media Kertak Hanyar mengatakan bahwa pihaknya sejak 13 Februari 2012 ybl mulai menyebar-luaskan novel karangan Tajuddin Noor Ganie (TNG) berjudul Tegaknya Masjid Kami (TMK).
Novel Tegaknya Masjid Kami (TMK) karangan Tajuddin Noor Ganie (TNG) sebelumnya (2004) sudah dimuat sebagai cerita bersambung di sebuah surat kabar terbitan Banjarmasin pada tahun 2004 yl.
Sambutan pembaca atas pemuatan cerita bersambung TMK ketika itu sangatlah menggembirakan. Tidak hanya itu, para sastrawan Kalsel juga menyambutnya dengan antusias. Pada tanggal 22 Februari 2004, novel TMK dibahas secara khusus dalam sebuah forum diskusi yang sengaja digelar untuk itu.
TMK untuk kali yang pertama diterbitkan oleh Puskjaimastra Kalsel Banjarmasin berkenaan dengan peringatan 483 tahun Kota Banjarmasin (24 September 2010 ybl). Cetakan I TMK telah habis terjual dan telah pula dijadikan sebagai sumber data penulisan skripsi oleh sejumlah mahasiswa PBSID STKIP PGRI Banjarmasin.
“Kami tertarik menerbitkannya kembali karena TMK menurut kami merupakan novel yang sangat mengesankan. Isinya bercerita tentang historiografi masjid Sultan Suriansyah yang terletak di bilangan Jalan Pangeran, Kuin Utara, Banjarmasin,” ujar Mahmud Jauhari Ali dalam release yang dikrimkannya ke koran ini.
TMK bercerita tentang perjuangan Sultan Suriansyah ketika mendirikan Kerajaan Banjar pada tahun 1520-1526. Kerajaan Banjar baru bisa didirikan setelah Sultan Suriansyah berhasil tampil sebagai pemenang dalam perang saudara melawan pamannya Pangeran Temenggung yang ketika itu menjadi rajan secara tidak sah di Kerajaan Negara Daha.
Kerajaan Banjar adalah kerajaan pertama di Pulau Kalimantan yang menjadikan ajaran Islam sebagai ideologi negara menggantikan ajaran nenek moyang yang selama ini menjadi ideologi Kerajaan Negara Daha.
Masjid merupakan simbol yang paling utama dari sebuah kerajaan Islam. Namun, meskipun berstatus sebagai raja yang berkuasa penuh di seantero wilayah kerajaannya, Sultan Suriansyah harus berjuang keras untuk mendirikan masjid pertama di kota Banjarmasin.
Tantangan tidak hanya datang dari para pihak yang selama ini menjadi musuh laten negaranya, tetapi juga datang dari lingkaran dalam istana (ring 1). Persoalan menjadi sangat serius karena para pihak yang menentangnya kali ini adalah para petinggi militer Kerajaan Banjar yang masih tetap kukuh menganut agama nenek moyang mereka.
Intrik-intrik politik tingkat tinggi inilah yang antara lain diceritakan oleh TNG dalam TMK. Cerita lain yang juga mendominasi adalah cerita tentang kesulitan-kesulitan yang dialami oleh para peserta sayembara pencarian 4 batang tiang ulin untuk sokoguru masjid. Setiap peserta diceritakan mengalami peristiwa dahsyad di tempat-tempat di mana mereka menebang pohon ulin dimaksud.