Selasa, 22 Mei 2012

MENGUAK DIKSI-DIKSI YANG DAHSYAD DALAM PUISI ARIFFIN NOOR HASBY BERJUDUK FRAGMEN KOTA

Oleh Tajuddin Noor Ganie Dosen Mata Kuliah Kajian Puisi PBSID STKIP PGRI Banjarmasin

Ariffin Noor Hasby (ANH), mulai menulis puisi, dan esei sastra sejak tahun 1980-an. Publikasi puisinya tersebar di berbagai koran/majalah terbitan Banjarmasin, Yogyakarta, Jakarta, Bandar Seri Begawan, dan Jerman. Puisi-puisinya ikut dimuat dalam banyak antologi bersama. Tidak hanya yang terbit di kota-kota besar di Kalsel, seperti Banjarmasin, Banjarbaru, Tanjung, Kotabaru, Marabahan, dan Barabai, tetapi juga yang terbit di Samarinda dan Jakarta.

Reputasinya sebagai sastrawan nasional sudah diresmikan tidak saja melalui forum-forum penting yang melibatkan dirinya, seperti Cakrawala Sastra Indonesia di TIM Jakarta (2005). Tetapi juga diresmikan melalui pemuatan biografi kesastrawanannya dalam sejumlah buku referensi sastra, seperti Leksikon Susastra Indonesia (Korie Layun Rampan, 2000), Buku Pintar Sastra Indonesia (Pamusuk Eneste, 2001), dan Ensiklopedi Sastra Indonesia (Hasanuddin WS dkk, 2007).

Terus terang, sebagai peminat puisi, saya sejak lama terpikat atau lebih tepatnya terbuai dengan diksi yang diolah ANH. Diksi dalam puisi-puisi ANH sangat unik, antik, istimewa, dan mengejutkan. Dalam hal ini saya sering menyebutnya sebagai diksi yang dahsyad.

Diksi adalah pemilihan kata-kata yang dilakukan oleh penyair dalam puisinya. Karena puisi adalah bentuk karya sastra yang dengan sedikit kata-kata dapat mengungkapkan banyak hal, Diksi menjadi begitu penting dalam proses kreatif penulisan puisi, karena setiap penyair dituntut oleh profesinya itu untuk selalu melakukan pemilihan, pemilahan, dan pengolahan kata-kata dengan secermat mungkin hingga ke taraf yang paling ekstrim.

Pemilihan kata dalam puisi berhubungan erat dengan tuntutan makna dan keselarasan bunyi. Pilihan kata akan mempengaruhi ketepatan makna dan keselarasan bunyi. Pemilihan kata berhubungan erat dengan latar belakang penyair. Semakin luas wawasan estetik penyairnya, maka akan semakin kaya dan berbobot kata-kata yang digunakannya.

Kata-kata dalam puisi tidak hanya sekadar kata-kata yang dihafalkan, tetapi sudah mengandung pandangan hidup penyairnya. Penyair yang relegius akan menggunakan kosa kata yang berbeda dengan penyair yang sosialis. Penyair yang berasal dari Yogyakarta akan berbeda pilihan katanya dengan penyair yang berasal dari Tapanuli (Batak).

Penyair yang berprofesi sebagai dokter akan berbeda pilihan katanya dengan penyair yang berprofesi sebagai anggota ABRI, guru, pedagang, pegawai negeri sipil, pengacara, pengusaha, polisi, tukang, atau profesi yang lainnya. Tidak hanya itu, kata-kata dalam puisi juga mencerminkan situasi dan kondisi kejiwaan atau perasaan hati penyairnya ketika melakukan proses kreatif penulisan puisinya dimaksud, seperti bahagia, cemas, gelisah, kalut, khawatir, marah, resah, riang, takut, atau tegang.

Penyair harus cermat memilih kata-kata dalam puisinya. Hal ini berkaitan dengan keberadaan bahasa dalam puisi yang kaya akan makna simbolik, bermakna konotatif, asosiatif, dan sugestif.  Menurut Ganie (2009), Pradopo (1999:101), menyebut gejala semacam ini sebagai penyimpangan terhadap sistem tata bahasa normatif. Tidak hanya aturan tata bahasa yang disiati penyair, tetapi juga kosa kata baku bahasa Indonesia.

Pemilihan dan penyusunan kata-kata dilakukan oleh penyair dengan cara yang sedemikian rupa itu ditujukan untuk menimbulkan imaginasi estetik yang diinginkannya. Barfield (1952:54) menyebut kata-kata dengan muatan imaginasi estetik itu sebagai diksi puitis (dalam Pradopo, 1999:54).

Jadi diksi menurut Pradopo (1999:54) dimaksudkan sebagai usaha penyair untuk mendapatkan kepuitisan atau untuk mendapatkan nilai estetik. Menurut Ganie (2009), kosa kata yang memenuhi kriteria sebagai kosa kata bernilai estetik adalah kosa kata ambigu yang bermakna asosiatif, konotatif, dan sugestif. Demi mencapai tujuan agar dapat dengan setepat-tepatnya menjelmakan pengalaman jiwanya, maka seorang penyair tidak dapat tidak harus memilih dengan cermat kosa kata yang akan disusunnya ke dalam larik-larik puisi karangannya.

Sekalipun pengalaman jiwanya itu bersifat personal, namun pengalaman jjiwa yang personal itu harus diekspresikan secara padat dan intens dengan mempergunakan sarana komunikasi puitis yang selaras dengan konvensi yang berlaku umum. Pradopo (1999:54) menyarankan agar penyair mempertimbangkan perbedaan arti kata yang sekecil-kecilnya dengan sangat cermat. Bahasa yang dipergunakan penyair bersifat khusus.

Penyair mungkin saja mempergunakan bahasa sehari-hari yang diberi makna baru. Dalam hal ini bahasa sehari-hari yang sudah diolah secara kreatif menjadi bahasa individual yang ekpresif (idiosycratic), yakni bahasa yang sudah mengalami pergantian makna, penyimpangan makna, dan sudah memiliki makna baru yang berbeda dengan makna asalnya. Bahasa puisi menjadi sulit dipahami makna muatan (denotatif) dan makna ikutannya (konotatif) karena dalam menulis puisi, seorang penyair tidak menitik-beratkan kepada kepentingan pragmatis fungsionalnya sebagai alat dalam praktik komunikasi yang informatif dan direktif, tetapi lebih menitik-beratkan kepada kepentingan estetisnya sebagai karya sastra yang kaya makna (ambigu).

FRAGMEN KOTA
kota yang liar batu-batu jalanan
memendam gemuruhnya dalam dingin rindu
setelah kabut pertama merobek pandang kembara

ngilu angin kemarau menjalari tulang belulang kota yang liar
jalan-jalan menemukan belantara terbakar di sana dalam belukar pikiran kita
setelah pengalaman itu, kita mengadukan sungai-sungai yang menghanyutkan cintamu
padahal kota yang liar ingin menghilirkan kenangannya, ke muara waktu dan kita mengiringinya
dengan tatapan cinta

(Majalah Hai Jakarta, Nomor 35/12/1988)


Ditemukan sejumlah diksi yang dahsyad dalam kutipan teks puisi di atas, yakni.

1. kota yang liar, paduan diksi yang lajim untuk kota, antara lain kota kota besar, kota buaya (Surabaya), kota agung (Amuntai), kota idaman (Banjarbaru), kota cantik (Palangka Raya), kota damai, kota indah, dan kota wali (Cirebon). Paduan diksi yang lajim untuk liar adalah alam liar, balapan liar, binatang liar, burung liar, kawasan liar, atau satwa liar. ANH dalam puisinya ini menggunakan paduan diksi kota yang liar. Kota dalam paduan diksi ini dipersonifikasikan menjadi manusia atau binatang, hanya manusia atau binatang saja yang bisa menyandang status liar. Diksi kota yang liar merujuk kepada kota yang tidak enak untuk ditinggali.

2. Kota yang liar sebagai kota yang tidak enak untuk ditinggali oleh aku lirik itu ternyata memiliki jalanan yang sepi dari lalu lalang kendaraan bermotor (batu-batu jalanan memendam gemuruhnya/dalam dingin rindu). Paduan diksi yang lajim untuk memendam antara lain memendam cinta, memendam duka, atau memendam rindu. ANH dalam puisinya ini menggunakan paduan diksi memendam gemuruhnya. Artinya jalanan (fasilitas umum) di kota liar adalah jalanan yang sepi dari gemuruh bunyi mesin kendaraan bermotor yang lalu lalang di atasnya. Tempat untuk memendam bunyi gemuruh mesin kendaraan bermotor tsb bukanlah tempat yang lajim, yakni di dalam dingin rindu. Paduan diksi yang lajim untuk dingin antara lain amat dingin, begitu dingin, dingin sekali, atau sangat dingin. ANH dalam puisinya ini menggunakan paduan diksi dingin rindu. Artinya rindu yang sudah tidak lagi bergejolak atau tidak lagi menggelora, dalam hal ini rindu aku lirik (kembara) terhadap kota liar ini adalah rindu yang sudah kehilangan greget, tidak sensitif, atau bahkan sudah tak bermakna lagi, kosong alias hampa. Semuanya itu terjadi setelah kabut pertama/merobek pandang kembara. Kabut yang merobek dalam puisi ini identik dengan sesuatu yang merusak, faktor negatif yang membuat aku lirik (kembara) merasa tak betah lagi tinggal di kota yang liar. Kabut pertama merupakan paduan diksi yang tak lajim, diksi lajim untuk kabut antara lain kabut asap. Diksi pertama merujuk kepada urutan peristiwa, ini berarti setelah kabut pertama, masih ada kabut yang lainnya, kabut kedua, kabutt ketiga dan kabut seterusnya. Diksi kabut pertama merobek pandang juga tak lajim. Kabut lajimnya bukan merobek pandang, tapi menutupi pandang. Pemakaian diksi merobek pandang (mata) bukan menutup pandang (mata) oleh ANH dalam puisi ini dimaksudkan untuk mempertegas potensi ancaman kabut sebagai faktor perusak kenyamanan hidup kembara di kota yang liar.

3. Ngilu angin kemarau/menjalari tulang belulang kota yang liar/jalan-jalan menemukan belantara terbakar di sana/dalam belukar pikiran/kita. Kota yang liar menjadi semakin tak enak untuk ditinggali aku lirik (kembara) karena tulang belulang kota itu sudah ngilu akibat dijalari oleh angin kemarau yang berhembus rutin di sana. Jalan-jalan yang sepi dari gemuruh bunyi mesin kendaraan bermotor yang lalu lalang di atasnya itu, pada akhirnya menemukan fakta bahwa semua hal atau faktor yang membuat kota ini menjadi liar bermuara pada kesembrawutan pikiran kita sebagai warga kota (belukar pikiran kita).

4. Setelah pengalaman (buruk) itu, kita mengadukan (segala masalah kepada) sungai-sungai yang menghanyutkan cintamu (mu adalah kota yang liar) padahal kota yang liar ingin menghilirkan kenangannya ke muara waktu, dan kita mengiringinya dengan tatapan cinta. Masih banyak puisi-puisi ANH yang lain yang juga mengangkat tema perkotaan sebagaimana halnya puisi Fragmen Kota. Jumlah tidak kurang dari 15 judul, yakni Aku Dengan Engkau Berkata, Bahasa Kota, Deru Kota, Ekstase Kota, Episode Kota Tua, Irama Kota, Irama Matahari, Kabar, Kesaksian, Kota Sungai, Lanskap Kota, Membaca Pikiran Kota, Sajak Pejalan Kaki, Sajak tentang Kota, dan Tentang Hujan, Semua puisi dimaksud juga sarat dimuati dengan diksi-diksi yang dahsyad khas ANH. Insya Allah dalam waktu dekat ANH akan meluncurkan antologi puisinya berjudul Kota yang Bersiul. Didalamnya akan dimuat puisi-puisi terbaik ANH yang ditulisnya sepanjang tahun 1980-2010.

MENGUAK DIKSI YANG DAHSYAD DALAM PUISI ARIFFIN NOOR HASBY BERJUDUL KOTA YANG BERSIUL

Oleh Tajuddin Noor Ganie Dosen Mata Kuliah Kajian Puisi PBSID STKIP PGRI Banjarmasin

Ariffin Noor Hasby (ANH), mulai menulis puisi, dan esei sastra sejak tahun 1980-an. Publikasi puisinya tersebar di berbagai koran/majalah terbitan Banjarmasin, Yogyakarta, Jakarta, Bandar Seri Begawan, dan Jerman. Puisi-puisinya ikut dimuat dalam banyak antologi bersama. Tidak hanya yang terbit di kota-kota besar di Kalsel, seperti Banjarmasin, Banjarbaru, Tanjung, Kotabaru, Marabahan, dan Barabai, tetapi juga yang terbit di Samarinda dan Jakarta.

 Reputasinya sebagai sastrawan nasional sudah diresmikan tidak saja melalui forum-forum penting yang melibatkan dirinya, seperti Cakrawala Sastra Indonesia di TIM Jakarta (2005). Tetapi juga diresmikan melalui pemuatan biografi kesastrawanannya dalam sejumlah buku referensi sastra, seperti Leksikon Susastra Indonesia (Korie Layun Rampan, 2000), Buku Pintar Sastra Indonesia (Pamusuk Eneste, 2001), dan Ensiklopedi Sastra Indonesia (Hasanuddin WS dkk, 2007).

Terus terang, sebagai peminat puisi, saya sejak lama terpikat atau lebih tepatnya terbuai dengan diksi yang diolah ANH. Diksi dalam puisi-puisi ANH sangat unik, antik, istimewa, dan mengejutkan. Dalam hal ini saya sering menyebutnya sebagai diksi yang dahsyad.

Diksi adalah pemilihan kata-kata yang dilakukan oleh penyair dalam puisinya. Karena puisi adalah bentuk karya sastra yang dengan sedikit kata-kata dapat mengungkapkan banyak hal, Diksi menjadi begitu penting dalam proses kreatif penulisan puisi, karena setiap penyair dituntut oleh profesinya itu untuk selalu melakukan pemilihan, pemilahan, dan pengolahan kata-kata dengan secermat mungkin hingga ke taraf yang paling ekstrim.

Pemilihan kata dalam puisi berhubungan erat dengan tuntutan makna dan keselarasan bunyi. Pilihan kata akan mempengaruhi ketepatan makna dan keselarasan bunyi. Pemilihan kata berhubungan erat dengan latar belakang penyair. Semakin luas wawasan estetik penyairnya, maka akan semakin kaya dan berbobot kata-kata yang digunakannya. Kata-kata dalam puisi tidak hanya sekadar kata-kata yang dihafalkan, tetapi sudah mengandung pandangan hidup penyairnya. Penyair yang relegius akan menggunakan kosa kata yang berbeda dengan penyair yang sosialis. Penyair yang berasal dari Yogyakarta akan berbeda pilihan katanya dengan penyair yang berasal dari Tapanuli (Batak). Penyair yang berprofesi sebagai dokter akan berbeda pilihan katanya dengan penyair yang berprofesi sebagai anggota ABRI, guru, pedagang, pegawai negeri sipil, pengacara, pengusaha, polisi, tukang, atau profesi yang lainnya.

Tidak hanya itu, kata-kata dalam puisi juga mencerminkan situasi dan kondisi kejiwaan atau perasaan hati penyairnya ketika melakukan proses kreatif penulisan puisinya dimaksud, seperti bahagia, cemas, gelisah, kalut, khawatir, marah, resah, riang, takut, atau tegang. Penyair harus cermat memilih kata-kata dalam puisinya. Hal ini berkaitan dengan keberadaan bahasa dalam puisi yang kaya akan makna simbolik, bermakna konotatif, asosiatif, dan sugestif. Menurut Ganie (2009), Pradopo (1999:101), menyebut gejala semacam ini sebagai penyimpangan terhadap sistem tata bahasa normatif. Tidak hanya aturan tata bahasa yang disiati penyair, tetapi juga kosa kata baku bahasa Indonesia.

Pemilihan dan penyusunan kata-kata dilakukan oleh penyair dengan cara yang sedemikian rupa itu ditujukan untuk menimbulkan imaginasi estetik yang diinginkannya. Barfield (1952:54) menyebut kata-kata dengan muatan imaginasi estetik itu sebagai diksi puitis (dalam Pradopo, 1999:54). Jadi diksi menurut Pradopo (1999:54) dimaksudkan sebagai usaha penyair untuk mendapatkan kepuitisan atau untuk mendapatkan nilai estetik.

Menurut Ganie (2009), kosa kata yang memenuhi kriteria sebagai kosa kata bernilai estetik adalah kosa kata ambigu yang bermakna asosiatif, konotatif, dan sugestif. Demi mencapai tujuan agar dapat dengan setepat-tepatnya menjelmakan pengalaman jiwanya, maka seorang penyair tidak dapat tidak harus memilih dengan cermat kosa kata yang akan disusunnya ke dalam larik-larik puisi karangannya. Sekalipun pengalaman jiwanya itu bersifat personal, namun pengalaman jjiwa yang personal itu harus diekspresikan secara padat dan intens dengan mempergunakan sarana komunikasi puitis yang selaras dengan konvensi yang berlaku umum.

Pradopo (1999:54) menyarankan agar penyair mempertimbangkan perbedaan arti kata yang sekecil-kecilnya dengan sangat cermat. Bahasa yang dipergunakan penyair bersifat khusus. Penyair mungkin saja mempergunakan bahasa sehari-hari yang diberi makna baru. Dalam hal ini bahasa sehari-hari yang sudah diolah secara kreatif menjadi bahasa individual yang ekpresif (idiosycratic), yakni bahasa yang sudah mengalami pergantian makna, penyimpangan makna, dan sudah memiliki makna baru yang berbeda dengan makna asalnya. Bahasa puisi menjadi sulit dipahami makna muatan (denotatif) dan makna ikutannya (konotatif) karena dalam menulis puisi, seorang penyair tidak menitik-beratkan kepada kepentingan pragmatis fungsionalnya sebagai alat dalam praktik komunikasi yang informatif dan direktif, tetapi lebih menitik-beratkan kepada kepentingan estetisnya sebagai karya sastra yang kaya makna (ambigu).

KOTA YANG BERSIUL

kota yang bersiul di malam hari itu mengingatkanku pada rimba kenangan tanah leluhur yang memikul gemuruh peradaban bayang-bayang rindu yang biru menggenapkan makna perjalananku : sepi yang panjang sementara beribu catatan purba tentang riak budaya, pijar belantara dan misteri manusia seperti terbuka sendirian menantang wajah sejarah yang merah padam o, siapakah yang terjaga dalam barisan kata-kata yang bertulang itu cakrawala tak mengirimkan isyarat kepadaku walau kota senantiansa bersiul malam hari mengalunkan kesetiaan tak bosan-bosan entah mengapa aku tak juga dapat mengerti kapan suara itu tiba atau berangkat dari pintu pendengaran? FISIP Unlam, Agt 1987 (SKH Pelita Jakarta, Minggu, 13 September 1987)

Ditemukan sejumlah diksi yang dahsyad dalam kutipan teks puisi di atas, yakni.

1. kota yang bersiul malam hari, paduan diksi yang lajim untuk kota, antara lain kota kota besar, kota buaya (Surabaya), kota agung (Amuntai), kota idaman (Banjarbaru), kota cantik (Palangka Raya), kota damai, kota indah, dan kota wali (Cirebon). Paduan diksi yang lajim untuk bersiul antara lain bersiul riang, burung bersiul, atau Gunadi bersiul. ANH dalam puisi ini menggunakan paduan diksi kota yang bersiul. Kota dalam paduan diksi ini dipersonifikasikan menjadi manusia atau burung, hanya manusia atau burung saja yang bisa bersiul. Diksi kota yang bersiul merujuk kepada kota yang enak untuk ditinggali, siul merujuk kepada suara-suara yang enak didengar. Orang Indonesia yang paling merdu siulannya adalah Gunadi (saya pernah membeli kasetnya berjudul Gunadi bersiul).

2. (Bunyi siulan yang merdu dimaksud membuat aku lirik menjadi teringat kepada) rimba kenangan (di) tanah leluhur. Paduan diksi yang lajim untuk rimba antara lain rimba belantara, dan rimba raya. Paduan diksi yang lajim untuk kenangan antara lain kenangan indah, dan kenangan lama, ANH dalam puisi ini menggunakan paduan diksi rimba kenangan. Rimba merujuk kepada nomina dalam jumlah banyak (dalam konteks ini banyak ditumbuhi pepohonan aneka jenis). Rimba kenangan artinya banyak kenangan. Diksi kota yang bersiul dalam puisi ANH ini merujuk kepada kota yang penuh kenangan manis bagi aku lirik.

3. yang memikul gemuruh peradaban. Paduan diksi yang lajim untuk memikul antara lain memikul beban, memikul keranda. Paduan diksi yang lajim untuk gemuruh, antara lain bunyi gemuruh, dan gemuruh ombak. Paduan diksi yang lajim untuk peradaban antara lain peradaban manusia. ANH dalam puisi ini menggunakan paduan diksi memikul gemuruh peradaban. Memikul merujuk kepada beban yang harus ditanggung atau masalah yang harus diatasi. Gemuruh merujuk kepada segala sesuatu yang tidak menyenangkan (mengganggu pendengaran). Peradaban merujuk kepada segala seesuatu yang kompleks. Ini berarti diksi kota yang bersiul dalam puisi ANH ini merujuk kepada kota yang harus memikul beban yang sulit ditanggung yakni beban yang kompleks.

4. bayang-bayang rindu yang biru. Paduan diksi yang lajim untuk bayang-bayang antara lain bayang-bayang tubuhmu. Paduan diksi yang lajim untuk rindu antara lain sangat rindu, rindu dendam, atau rindu sekali. Paduan diksi yang lajim untuk biru antara lain film biru, langit biru, atau laut biru. ANH dalam puisi ini menggunakan paduan diksi bayang-bayang rindu yang biru. Diksi bayang-bayang merujuk kepada segala sesuatu yang diangan-angankan, sedangkan diksi rindu yang biru merujuk kepada hal-hal yang berkonotasi keindahan (bermakna kesuksesan).

5. menggenapkan makna perjalananku. Paduan diksi yang lajim untuk menggenapkan antara lain menggenapkan jumlah. Paduan diksi yang lajim untuk makna antara lain makna hidup, atau makna kata. Paduan diksi yang lajim untuk perjalanan antara lain perjalanan hidup, perjalanan jauh, atau perjalanan ke akhirat. ANH dalam puisi ini menggunakan paduan diksi menggenapkan perjalananku, diksi ini merujuk kepada fungsi bayang-bayang rindu yang biru sebagai sarana yang membuat perjalanan hidupnya menjadi lebih berarti.

6. sepi yang panjang. Paduan diksi yang lajim untuk sepi antara lain sangat sepi, atau sepi sekali. Paduan diksi yang lajim untuk panjang antara lain panjang sekali, atau sangat panjang. ANH dalam puisi ini menggunakan paduan diksi sepi yang panjang, diksi ini merujuk kepada situasi dan kondisi yang tidak menyenangkan yang berlangsung dalam waktu lama.

7. sementara beribu catatan purba/tentang riak budaya, pijar belantara/dan misteri manusia seperti terbuka sendirian. Paduan diksi yang lajim untuk catatan antara lain catatan harian. Paduan diksi yang lajim untuk purba antara lain hewan purba, manusia purba, atau masa purba. ANH dalam puisi ini menggunakan paduan diksi sementara beribu catatan purba yang merujuk kepada peristiwa bersejarah yang saling tumpang tindih satu sama lainnya itu (yakni riak budaya, pijar belantara, dan misteri manusia) sekarang ini tidak lagi bersifat rahasia karena telah terungkap dengan sendirinya.

8. menantang wajah sejarah yang merah padam. Paduan diksi yang lajim untuk sejarah antara lain sejarah daerah, sejarah dunia, sejarah hidup, atau sejarah nasional. Paduan diksi merah padam sudah lajim digunakan, yang tidak lajim adalah paduan diksi wajah sejarah yang merah padam sebagaimana yang digunakan oleh ANH dalam puisi ini. Paduan diksi ini merujuk kepada masa lalu yang tidak menyenangkan, masa lalu yang penuh dengan konflik berdarah.

9. o, siapakah yang terjaga/dalam barisan kata-kata yang bertulang itu. Paduan diksi yang lajim untuk barisan antara lain barisan pemadam kebakaran, atau barisan tentara. Paduan diksi yang lajim untuk bertulang antara lain lidah tak bertulang. ANH dalam puisi ini menggunakan paduan diksi barisan kata-kata bertulang. Paduan diksi ini merujuk kepada hukum tertulis (kata-kata) yang dipatuhi orang, karena ada kekuatan (aparatur penegak hukum) yang dapat memaksa semua orang untuk mematuhinya (tulang).

10. cakrawala tak mengirimkan isyarat kepadaku/Walau kota senantiansa bersiul malam hari/mengalunkan kesetiaan tak bosan-bosan. Paduan diksi yang lajim untuk cakrawala antara lain cakrawala biru, atau cakrawala pandang. Paduan diksi isyarat yang lajim antara lain isyarat alam. ANH dalam puisi ini menggunakan paduan diksi cakrawala tak mengirimkan isyarat padaku. Cakrawala dipersonifikasikan sebagai manusia, hanya manusia yang lajim mengirimkan isyarat (peringatan). Tidak ada orang yang mengirimkan isyarat (peringatan) kepada aku lirik. Suatu hal yang sulit dipahami aku lirik karena fakta yang ada menunjukkan bahwa kota tak pernah alpa mengirimkan isyarat-isyaratnya dalam bentuk siulan (walau kota senantiansa bersiul malam hari). Siulan dimaksud tak mungkin dialpakannya karena siulan dalam konteks puisi ini merupakan tanda kesetiaan yang harus selalu dijaga (mengalunkan kesetiaan tak bosan-bosan).

11. entah mengapa aku tak juga dapat mengerti/kapan suara itu tiba atau berangkat/dari pintu pendengaran?. Paduan diksi yang lajim untuk suara antara lain suara bising, suara gaduh, suara merdu, atau suara sember. Paduan diksi yang lajim untuk pintu adalah daun pintu, pintu belakang, pintu depan, pintu gerbang, pintu hati, atau pintu tengah. ANH dalam puisi ini menggunakan paduan diksi suara tiba, artinya suara menjelma, (suara) berangkat, artinya suara hilang. Paduan diksi pintu pendengaran merujuk kepada telinga. Suara yang dimaksud dalam konteks puisi ini adalah suara yang menyenangkan (siulan kota) untuk didengarkan. Aku lirik mencemaskan datangnya saat-saat dimana suara dimaksud (entah kapan akan) hilang dari pendengarannya (berangkat dari pintu pendengaran).

Masih banyak puisi-puisi ANH yang lain yang juga mengangkat tema perkotaan sebagaimana halnya puisi Kota yang Bersiul. Jumlah tidak kurang dari 15 judul, yakni Aku Dengan Engkau Berkata, Bahasa Kota, Deru Kota, Ekstase Kota, Episode Kota Tua, Irama Kota, Irama Matahari, Kabar, Kesaksian, Kota Sungai, Lanskap Kota, Membaca Pikiran Kota, Sajak Pejalan Kaki, Sajak tentang Kota, dan Tentang Hujan.

Semua puisi dimaksud juga sarat dimuati dengan diksi-diksi yang dahsyad khas ANH. Insya Allah dalam waktu dekat ANH akan meluncurkan antologi puisinya berjudul Kota yang Bersiul. Didalamnya akan dimuat puisi-puisi terbaik ANH yang ditulisnya sepanjang tahun 1980-2010.