MEMANFAATKAN
KARYA SASTRA
SEBAGAI
SARANA PENDIDIKAN KARAKTER
Oleh Tajuddin Noor
Ganie, M. Pd
Hingga
saat ini pendidikan masih diyakini sebagai sarana yang mumpuni untuk
membangun kepribadian dan kecerdasan anak bangsa di tanah air kita.
Segala sesuatu yang bersentuhan dengan kepentingan pendidikan anak
bangsa ini senantiasa dicermati, dibangun, dan dikembangkan dengan
tujuan agar dapat menghasilkan generasi penerus bangsa yang
berkarakter prima sekaligus juga cerdas secara intelektual.
Pada
kurun waktu 5 tahun terakhir ini muncul gagasan untuk lebih
menggalakkan lagi pendidikan karakter di semua tingkatan pendidikan
mulai dari tingkat sekolah dasar hingga tingkat perguruan tinggi
(sarjana strata 1). Gagasan ini mencuat ke permukaan dengan begitu
kuatnya karena dipicu oleh kekhawatiran banyak pihak yang melihat
bahwa proses pendidikan formal yang berlangsung di semua tingkatan
persekolahan dan perguruan tinggi di tanah air kita selama ini pada
umumnya cuma melahirkan anak bangsa yang cerdas secara intelektual
saja, tetapi tidak bermental tangguh, dan berperilaku tidak sesuai
dengan tujuan pendidikan yang mulia.
Perilaku
yang tidak sesuai dengan tujuan mulia pendidikan itu antara lain
tergambar dari semakin banyaknya pelaku korupsi di tanah air kita
yang jika ditelisik dengan seksama tidak lain adalah para pejabat
aparatur negara yang berlatar belakang pendidikan tinggi alumni
PTN/PTS ternama di tanah air kita. Fakta ini baru saja diungkapkan
dengan telak oleh Bapak Marzuki Ali Ketua DPRRI. Para pihak yang
merasa terusik dengan tudingan keras itu langsung bereaksi dengan
keras pula.
Tindakan
anarkis yang kerap terjadi di jalan-jalan di berbagai kota besar,
kota sedang, kota kecil, atau bahkan di kota-kota sangat kecil di
pelosok-pelosok negeri, seperti tawuran pelajar atau demonstrasi yang
pada mulanya berlangsung damai kemudian berubah menjadi kerusuhan
social berbau SARA, yang semakin kerap terjadi, merupakan petunjuk
nyata bahwa ada yang tidak beres dengan karakter anak bangsa di tanah
air kita.
Situasinya
menjadi semakin runyam, karena aparatur negara yang bertugas
memelihara stabilitas keamanan di tanah air kita cenderung
menyederhanakan persoalan yang sangat serius ini dengan cara berkelit
dan dengan entengnya menuding para provokator sebagai biang kerok
atau kambing hitamnya. Mereka tidak pernah tertarik untuk mengurai
apalagi membabat habis akar permasalahan yang menjadi pemicu
latennya, akibatnya kasus anarkis semacam itu selalu berulang dan
terus berulang dari rezim ke rezim.
Fakta
lain adalah semakin maraknya kasus KTD (kehamilan yang tidak
dikehendaki) di tanah air kita. Angka kasusnya tidak
tanggung-tanggung, yakni antara 150-200 ribu kasus per tahun.
Tendensinya tidak pernah menyusut dari tahun ke tahun, tetapi semakin
membengkak. Kasus KTD ini sangat memprihatinkan dan sangat
menggiriskan hati karena pelakunya bukanlah pasangan suami/isteri
yang gagal ber-KB (keluarga berencana), tetapi adalah pasangan
muda-mudi yang sebagian besar di antaranya masih berstatus sebagai
pelajar atau mahasiswa. Mereka inilah yang tanpa rasa bersalah
melakukan hubungan badan di luar nikah, perbuatan asusila ini mereka
lakukan karena karakter mental mereka yang lemah.
Fakta-fakta
yang memiriskan dan menggiriskan hati ini harus segera dieliminir
dengan berbagai cara yang mungkin dilakukan, salah satu di antaranya
adalah dengan menggalakkan kembali pendidikan karakter (budi pekerti)
terhadap segenap anak bangsa. Konsep pendidikan karakter ini menurut
Azeet (2011:12) sesungguhnya sudah ada sejak tahun 2003, dalam hal
ini sudah dituangkan dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional (selanjutnya ditulis UU 20/2003 tentang
SPN). Disebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi sebagai
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa
yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Pendidikan
karakter kepada anak didik di sekolah atau kepada para mahasiswa di
perguruan tinggi dilakukan melalui bahan ajar atau bahan kuliah yang
diresmikan dalam kurikulum. Salah satu bahan ajar atau bahan kuliah
dimaksud adalah karya sastra berbentuk puisi, cerpen, novel, dan
naskah drama. Potensi karya sastra sebagai sarana pendidikan karakter
sudah diketahui sejak lama. Istilah sastra sendiri merujuk kepada
fungsinya sebagai sarana pengajaran, yakni sas artinya alat dan tra
artinya mengajar, Jadi sastra pada galibnya adalah sarana untuk
mengajar manusia.
Berkaitan
dengan kepentingan menjalankan fungsinya sebagai actor pendidikan
karakter ini maka para sastrawan akan langsung mendapat hujatan
public jika di dalam karya sastranya dimuati dengan hal-hal yang
tidak senonoh seperti pornografi misalnya. Sehubungan dengan itu kita
semua hendaknya mendukung usaha-usaha yang dilakukan oleh pihak
sekolah untuk membersihkan perpustakaan sekolah dari bahan bacaan
berupa karya sastra yang isinya berpotensi merusak karakter anak
bangsa.
Hasil
investigasi yang dilakukan oleh para wartawan menunjukkan bahwa dari
sekian banyak buku-buku sastra yang dipasok ke perpustakaan sekolah
ditemukan adanya buku-buku sastra yang diselipi dengan narasi-narasi
atau dialog-dialog yang berkonotasi pornografi. Menghadapi kasus ini
pihak pemerintah mengambil jalan mudah, yakni menarik buku-buku
sastra bermuatan pornografi dimaksud. Padahal, para pihak yang
bertanggung jawab atas lolosnya buku-buku sastra yang tidak senonoh
itu ke wilayah dalam sekolah dimaksud mestinya diproses secara hukum,
karena mereka telah memboroskan uang negara dalam jumlah milyaran
rupiah (dalam bentuk proyek pengadaan buku) untuk menerbitkan
buku-buku sastra yang tidak layak pakai. Termasuk dalam kasus ini
adalah buku bacaan yang disisipi dengan gambar fisik Nabi Muhammad
Saw.
Merujuk
kepada UU 20/2003 tentang SPN, maka kualitas pribadi yang akan
dibentuk melalui system pendidikan nasional adalah anak bangsa dengan
kualitas pribadi sebagai berikut.
- Beriman
dan bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa
- Berakhlak mulia
- Sehat
- Berilmu
- Cakap
- Kreatif
- Mandiri
- Demokratis, dan
- Bertanggung jawab
Ini
berarti karya sastra yang dapat dijadikan sebagai sarana pembentukan
karakter anak bangsa adalah karya sastra yang dapat membentuk
karakter anak bangsa dengan kualitas pribadi sebagaimana yang
dipaparkan di atas.
Pendidikan
karakter yang ditanamkan secara tersurat dan tersirat dalam karya
sastra meliputi 4 katagori, yakni.
- Pendidikan
karakter yang berkaitan dengan Tuhan Yang Maha Esa, meliputi (1)
berkeyakinan (2) bersikap, (3) berkata-kata, dan (4) berperilaku,
sesuai dengan ajaran agama yang dianut
- Pendidikan karakter yang berkaitan dengan diri sendiri, meliputi : (1) kejujuran, (2) bertanggung jawab, (3) rasa percaya diri, (4) disiplin, (5) bekerja keras, (6) mandiri, (7) rasa ingin tahu, (8) berjiwa wirausaha, dan (9) bergaya hidup sehat.
- Pendidikan
karakter yang berkaitan dengan sesama manusia, meliputi (1) membela
hak dan memenuhi kewajiban diri sendiri, (2) menghormati hak dan
kewajiban orang lain, (3) berguna bagi orang lain, (4) berkata-kata
dan berperilaku santun terhadap orang lain, dan (5) patuh dan taat
pada aturan social.
- Pendidikan
karakter yang berkaitan dengan lingkungan meliputi (1) peduli
social, (2) peduli lingkungan, (3) menghargai nilai-nilai
kebangsaan, dan (4) berpikir nasionalis.
Pertanyaannya
sekarang adalah sudah adakah sastrawan Indonesia yang menulis puisi,
cerpen, novel, dan naskah drama yang dapat dimanfaatkan sebagai
sarana pendidikan karakter? Jawabnya : sudah banyak sekali. Salah
satu di antaranya adalah Andrea Hirata (AH) dengan tetralogi Laskar
Pelangi (LP).
Menurut
kesaksian Asrori S. Karni (2008:1-2), novel LP telah menginspirasi
banyak orang untuk berderma. Ceritanya, setelah membaca LP, belasan
orang pengusaha keturunan Tionghoa yang merantau ke Jakarta tergerak
hatinya untuk pulang kampung bersama. Selama ini mereka terlalu asyik
menikmati kesuksesan di tanah rantau sehingga sudah puluhan tahun tak
pernah pulang kampung ke Belitong.
Mereka
pulang kampung bersama dengan cara berkonvoi menaiki sembilan buah
mobil yang berjalan beriringan dari Tanjung Pandan (Belitong Barat)
ke kampung Gantung (Belitong Timur). Tidak hanya sekadar pulang
kampung untuk melampiaskan rindu dendam dengan mengenang nostalgia
lama masa kecil dan remaja, tetapi juga datang dengan tujuan untuk
menyerahkan derma patungan mereka kepada Lintang. Lintang adalah
anggota LP yang paling genius, namun nasibnya paling malang, karena
sekolahnya terputus di tengah jalan setelah ayahnya meninggal dunia.
Bagi
para pengusaha Tionghoa, LP telah membangkitkan kembali karakter
mereka sebagai anak bangsa yang peduli social (termasuk dalam lingkup
pendidikan karakter yang berkaitan dengan lingkungan). Sehubungan
dengan contoh kasus di atas, LP dapat dimanfaatkan sebagai sarana
untuk menanamkan pendidikan karakter berakhlak mulia menurut rujukan
UU 20/2003 tentang SPN.
Masih
menurut kesaksian Asrori S. Karni (2008:2), di Bandung, isakan tangis
beberapa kali terdengar dari kamar Nico, mahasiswa pecandu narkoba
yang dikenal keras kepala. Orang tuanya penasaran, setelah diintip,
Nico ternyata sedang membaca buku Laskar Pelangi. Kepada orang
tuanya, Kosasih dan Winarti, Nico mendadak menyatakan tekadnya untuk
menyelesaikan rehab ketergantungan obat. Padahal, rehab itu
berkali-kali gagal. Sampai orang tuanya putus asa.
Nico
juga mau mengerjakan skripsinya, yang sudah setahun ditinggalkan.
Laskar Pelangi membangkitkan semangat belajar. “Nico bilang, ia
merasa malu pada perjuangan ibu guru di buku itu, dan malu pada
Lintang, anak miskin yang terpaksa berhenti sekolah karena ayahnya
meninggal dan kekurangan biaya,” tulis Winarti pada program Kick
Andy. “Nico menjadi anak baik karena sebuah novel. Novel itu adalah
Laskar Pelangi.”
Kasus
tobatnya Nico setelah membaca LP merupakan petunjuk bahwa LP telah
terbukti dapat dimanfaatkan sebagai sarana pendidikan karakter bagi
anak bangsa. Dalam hal ini sebagai sarana untuk menanamkan semangat
untuk kembali hidup sehat (pendidikan karakter yang berkaitan dengan
diri sendiri, yakni bergaya hidup sehat) dan kembali mau menuntut
ilmu (pendidikan karakter yang juga berkaitan dengan diri sendiri,
yakni bekerja keras).
Di
Cirebon, guru honorer SD Negeri Pamijahan, bernama Maisaroh, tak
peduli lagi besar gaji atau peluangnya diangkat jadi pegawai negeri.
Setelah membaca Laskar Pelangi, ia makin bersemangat memotivasi
murid-muridnya yang sebagian besar anak buruh pengayam rotan. Soal
rezeki, ia serahkan kepada pada keadilan Tuhan. Semangat Maisaroh
tercambuk oleh dedikasi Bu Muslimah, yang gaji dan fasilitasnya jauh
lebih memprihatinkan, namun bisa memompa semangat muridnya, hingga
ada yang mampu meraih gelar master di Eropa. Kebahagian tertinggi
Maisaroh ini kini adalah bagaimana muridnya tidak lagi putus sekolah,
selepas SD, masih mau melanjutkan ke jenjang SMP (Karni, 2008:2-3).
Bagi
Maisaroh, LP telah membangkitkan karakternya sebagai guru yang
berakhlak mulia dan berguna bagi orang lain. Maisaroh bersedia hidup
pas-pasan dengan gaji yang kecil demi menjaga semangat anak didiknya
agar tetap mau sekolah meskipun hidup berada di bawah tekanan
kemiskinan yang begitu ekstrim menderanya (pendidikan karakter yang
berkaitan dengan Tuhan Yang Maha Esa, yakni bekeyakinan sesuai dengan
ajaran agama yang dianutnya, dan pendidikan karakter yang berkaitan
dengan sesama manusia, yakni berguna bagi orang lain).
Sementara
itu, di tempat lain, sejumlah pemuda yang selalu resah mengutuk nasib
tiba-tiba mendapat kekuatan batin baru untuk bangkit dari mental
cengeng. Kalangan marginal, yang selama ini tidak diperhitungkan,
sehingga minder dan inferior, mendapat suntikan kepercayaan diri baru
yang menyalak-nyalak. Orang tua jadi punya cara menuturi
anak-anaknya. Pasangan muda-mudi jadi punya bahasa untuk
mengungkapkan cinta. Bahkan, gubernur, bupati, walikota, jadi punya
inovasi baru untuk memompa stamina warga yang lesu. Itulah situasi
yang oleh sejumlah orang dinamakan fenomena Laskar Pelangi. Tetralogi
karya Andrea Hirata ini telah mengalami multi level marketing spirit.
Semangat pantang menyerah telah bergulir efektif dari mulut ke mulut.
Tengah terjadi interaksi diam-diam membentuk etos public yang kuat
(Karni, 2008:7-8).
Fakta
yang dipaparkan di atas menunjukkan bahwa LP telah menjadi pemicu
terbentuknya kembali karakter mental mandiri yang selama ini hilang
entah ke mana di dalam rimba psikologis mereka (pendidikan karakter
yang berkaitan dengan diri sendiri, yakni mandiri dan percaya diri.
Mira
Lesmana (dalam Karni, 2008:155-156) memberi kesaksian bahwa “Laskar
Pelangi adalah potret genuine orang Indonesia yang pantang menyerah.
Laskar Pelangi adalah cerita tentang kaum underdog, orang yang tidak
dipertimbangkan, mereka yang hidupnya dikotak-kotakkan, dan dianggap
tidak mampu. Tapi, spirit mereka luar biasa membuat kita merindukan
kembali orang Indonesia. Inilah orang Indonesia. Spirit bangsa ini
harus dibangun kembali.”
Bagi
Mira Lesmana, karakter tahan banting, ulet, pantang menyerah, dan
penuh semangat itulah sifat asli orang Indonesia, yang diwariskan
nenek moyang nusantara. “Itulah orang Indonesia yang sesungguhnya.
Tidak gampang menyerah, walaupun dikotak-kotakkan oleh nasib, tapi
maju terus,” katanya dalam diskusi buku di Istora Senayan Jakarta,
awal Juli 2008 (Karni, 2008:156-157).
Mengikuti
pandangan Mira Lesmana di atas, LP merupakan karya sastra yang tak
pelak lagi memenuhi criteria sebagai karya sastra yang dapat
dimanfaatkan sebagai sarana pendidikan karakter bagi segenap anak
bangsa di segala tingkatan. Dalam hal ini dapat dimanfaatkan untuk
memupuk sikap mental yang unggul yakni pantang menyerah menghadapi
situasi social yang tidak menguntungkan (tidak kondusif atau tanpa
posisi tawar yang memadai). Pendidikan karakter ini sejalan dengan
tujuan pendidikan nasional yang mulia, yakni menanamkan sikap mandiri
(pendidikan karakter yang berkaitan dengan diri sendiri, yakni rasa
percaya diri, nekerja keras, dan mandiri).
Selanjutnya,
Karni (2008:157) menuliskan bahwa di antara sumbangan fenomenal
tetralogi LP adalah membangkitkan passion bangsa ini yang original,
yang masih hidup sebagai pegangan dalam masyarakat pedalaman,
termasuk di Belitong Timur tahun 1970-an, yang masih alami, belum
banyak ternoda anasir buruk luar.
Fighting
spirit adalah salah satu inspirasi (pendidikan karakter, TNG) yang
diangkat sebagai tema dalam novel Laskar Pelangi. Spirit untuk
survive yang bergelora di kalangan anak-anak underdog, anak-anak yang
tidak diperhitungkan (Karni, 2008:180). Inti pendidikan menurut
Andrea Hirata, bukan sekadar kemudahan sarana pendukung, tetapi juga
tercapainya pembentukan karakter (Karni, 2008:196).
LP
merupakan contoh karya sastra yang dapat dimanfaatkan sebagai sarana
pendidikan karakter segenap anak bangsa di berbagai tingkatan.
Melalui LP, Andrea Hirata mengajarkan kepada segenap anak bangsa
bahwa kita harus bijak menyikapi stereo tipe yang buruk. Kita tidak
boleh menerima begitu saja kesan umum negative tentang diri dan
komunitas kita yang dilekatkan bertahun-tahun entah oleh siapa. Kita
tidak boleh pasrah dan larut dalam arus utama yang tidak kontruktif.
Semua itu bisa diubah jadi lebih baik, asal ada kemauan yang kuat
(Karni, 2008:173).
Senafas
dengan itu, dalam kaitannya dengan usaha kita bersama untuk
menggalakkan kembali pendidikan karakter segenap anak bangsa, kita
tidak boleh menyerah apalagi putus asa. Usaha yang kita lakukan
sekarang ini insya Allah akan dituai hasilnya pada 10-20 tahun yang
akan datang. Jika kita tidak berbuat apa-apa sekarang ini, maka dapat
dipastikan karakter segenap anak bangsa kita akan tetap bobrok, dan
butuh waktu lama untuk merehabilitasinya.
BAHAN RUJUKAN
Azzet,
Akhmad Muhaimin, 2011. Urgensi
Pendidikan Karakter di Indonesia.
Jogjakarta : Penerbit Ar Ruzz Media.
Karni,
Asrori S.2008. Laskar
Pelangi : The Phenomenon.
Jakarta : Penerbit Hikmah (PT Mizan Publika)
Tulisan ini berasal dari makalah untuk Seminar Sastra di Kampus Uniska, Sabtu, 16 Juni 2012
BalasHapusSiapa saja, jika berminat boleh dimuat ulang ke dalam surat kabar, majalah, buletin, atau blog. Syaratnya cuma meminta izin di Pos Komentar ini.
pak terimakasih sudah jadi referensi tugas essay saya
BalasHapus