KAJIAN STRATA NORMA
PUISI SITI AISYAH BERJUDUL
MENYISIR JEJAK LELAKI BELUKAR
Oleh Tajuddin Noor Ganie, M. Pd
Siti
Aisyah (SA), merupakan pendatang baru di jagat sastra Indonesia di Kalsel. Ia baru
dikenal sebagai penulis puisi sejak tahun 2012. Sepanjang yang penulis ketahui
namanya baru dikenal setelah ia berhasil mengukir prestasi sebagai Pemenang II katagori
peserta umum dalam Lomba Menulis Puisi Aruh Sastra Kalsel IX Banjarmasin 2012 (www.wisata banjarmasin.com,
Sabtu, 25 Agustus 2012).
Pada
kesempatan ini penulis mengulas puisi SA berjudul Menyisir Jejak Lelaki Belukar (selanjutnya ditulis MJLB). Dengan
puisi inilah ia berhasil mengukir prestasinya sebagaimana yang telah disebutkan
di atas. Ulasan dilakukan dengan pendekatan strata norma menurut teori Roman
Ingarden.
Berikut
penulis kutipkan puisi dimaksud.
MENYISIR
JEJAK LELAKI BELUKAR
I
ia
yang mewarisi tabiat melati
sebenarnya hanya ingin
berbagi wangi
tapi, tangan-tangan kasar
berdaki
semena-mena melemparnya ke
belukar penuh duri
II.
berpuluh musim telah ia
akrabi belantara
demi bakti pada negeri Ibnu
Hajar pun rela
tinggalkan Ambutun dan
kehangatan keluarga
tak peduli lapar atau malaria
mendera
pada lebat hutan Meratus
Angli berkhidmad
merancang strategi menyabung
nyali
entah berapa tubuh musuh
sudah ia tebah
karena tak sudi bumi Antasari
digaruk penjajah
dialah lelaki berdarah pijar
dengan sekujur tubuh
bertameng rajah
desing peluru hanyalah angin
lalu
dan komandan Hassan Basry
tahu pasti itu
tapi, ketika udara baru
mengurak mekar
betapa sesak rongga dada Ibnu
Hajar
segulung tanya menggasing
dalam benak
“kenapa pejuang banua mesti
tercampak
sementara KNIL bekas antek
Belanda
justru menyemat pangkat dan
lencana”
atas nama rakyat yang tertindas
ia bilas kecewa dengan dentum
senjata
di liang paramasan mereka
bermarkas
menebar onar di tiap
kesempatan terbuka
tentara bentukan pusat pun
dibuat keblenger
tak berkutik meringkus Ibnu
Hajar
maka, setelah lelah mencoba
segala taktik
diutuslah Hassan Basry dan
Idham Khalid
atas nasihat dan bujuk kedua
tetuha banua
Ibnu Hajar pun bersedia
berdamai
iming-iming pendidikan
militer di tanah jawa
jadi bagian pemanis janji
tapi setiba di Jakarta ia
ternyata dijebloskan ke bui
vonis mati tak bisa ditawar-tawar
lagi
bahkan sampai detik ini
jasad dan kuburnya diliput
kabut misteri
III
sejarah belepotan dusta sarat
oleh muslihat
tergoreslah sudah noda jelaga
di jidat
predikat gembong garumbulan
pun terlanjur melekat
menguntit langkah-langkah
sepanjang riwayat
Banjarmasin, 3 Agustus 2012
Catatan
Ambutun = kampong kelahiran Ibnu Hajar
Angli= nama kecil si tokoh legendaris (Ibnu Hajar, pen)
Paramasan = sekarang masuk wilayah Kabupaten Banjar, berbatasan
dengan Kabupaten Tanah Bumbu,
Garumbulan = bahasa Banjar, artinya gerombolan pemberontak
Lapis Bunyi
Lapis bunyi merujuk kepada hasil olah kata yang
dilakukan penyair. Kosa-kata yang dipilih untuk menghasilkan lapis bunyi adalah
kosa-kata yang sesuai dengan pola persajakan yang sudah ada dalam tradisi penulisan
puisi modern di tanah air kita, yakni a/a/a/a, a/a/b/b, a/b/a/b, dan a/b/b/a.
Kajian yang dilakukan untuk mendeskripsikan pola-pola
formulaic persajakan dalam sebuah puisi disebut kajian bahasa bersajak berirama
atau kajian lapis bunyi. Bahasa bersajak berirama identik dengan gaya bahasa
perulangan (repitisi), karena unsure pembentuk bahasa bersajak berirama tidak
lain adalah gaya bahasa perulangan (repitisi).
Pola persajakan yang diterapkan SA dalam puisinya MJLB
merujuk kepada pola-pola sebagai berikut.
1.
Bait 1, a/a/a/a (melati/wangi/berdaki/duri)
2.
Bait 2, a/a/a/a (belantara/rela/keluarga/mendera)
3.
Bait 3, a/b/c/c (berkhidmat/nyali/tebah/penjajah)
4.
Bait 4, a/b/c/c (pijar/rajah/lalu/itu)
5.
Bait 5, a/a/b/b/c/c
(mekar/Hajar/benak/tercampak/ Belanda/lencana)
6.
Bait 6, a/b/a/b (tertindas/senjata/bermarkas/terbuka)
7.
Bait 7, a/a/b/c (keblenger/Hajar/taktik/Khalid)
8.
Bait 8, a/b/a/c (banua/berdamai/Jawa/janji)
9.
Bait 9, a/a/a/a (bui/lagi/ini/misteri)
10. Bait 10. a/a/a/a (muslihat/jidat/melekat/riwayat)
Secara
teoretis pola-pola persajakan yang demikian itu akan otomatis menghasilkan
lapis bunyi yang disebut sajak vocal (asonansi) dan sajak konsonan (aspiran,
kakaponi, dan liquida). Lapis bunyi asonansi pada puisi MJLB ditemukan dalam Bait
1, Bait 2, Bait 4 (lalu/itu), Bait 5 (Belanda/lencana), Bait 6
(senjata/terbuka), Bait 8, dan Bait 9.
Lapis
liquida ditemukan pada Bait 2 (mekar/Hajar), dan Bait 7 (keblenger/Hajar). Lapis
bunyi aspiran ditemukan pada Bait 3 (konsonan h), dan Bait 6 (konsonan s). Lapis
bunyi kakafoni ditemukan pada Bait 5 (konsonan k), dan Bait 10 (konsonan t).
Lapis Arti
Lapis arti merujuk kepada satuan arti yang
terbentuk baik karena pilihan kata-katanya (diksi), maupun karena susunan teks
visual kata-katanya (tipografi). Menurut Effendi (1969:3), analisis lapis arti
yang dilakukan untuk menjelaskan gaya bahasa sebuah puisi disebut analisis
stilistis.
Ada
2 gejala yang dikaji dalam lapis arti puisi, yakni susunan teks visual
kata-katannya (tipografi), dan pilihan
kata-katanya (diksi). Tipografi puisi MJLB sangat rapi, terdiri dari 10 bait.
Hanya Bait 5 yang menampung 6 baris puisi, sedangkan bait yang lainnya
sama-sama menampung 4 baris.4 baris puisi
Pilihan
kata (diksi) identik dengan struktur formal linguistik puisi (Semi, 1993:121). Setiap
kata mempunyai makna leksikal (makna kamus) yang melekat semula jadi padanya.
Makna leksikal yang dilekatkan pada setiap kata adalah makna yang disepakati
secara arbiter (mana suka) oleh para pemakai bahasa. Kesepakatan itu kemudian
dilegal-formalkan dengan cara memasukannya ke dalam kamus yang diakui negara.
Oleh
para penyair yang kreatif, kosa kata tunggal yang mandiri itu dimajemukkan
dengan cara digabungkan dengan kosa kata tunggal lainnya, atau dengan kosa kata
majemuk yang disukainya. Hasil kimiawi akibat penggabungan kosa kata itu adalah
terciptanya makna kata yang baru sebagai pengganti makna kata yang lama. Makna
baru dimaksud ada yang disebut makna muatan dan ada pula yang disebut makna
ikutan.
Makna
muatan identik dengan makna eksplisit (langsung dapat dimengerti tanpa
penafsiran sama sekali). Gabungan kata dengan makna eksplisit ini disebut
sebagai deretan kata nyata. Sedangkan makna ikutan identik dengan makna
implicit (tidak langsung dapat dimengerti maknanya, sehingga pemaknaan
terhadapnya harus dilakukan melalui penafsiran subjektif yang beragam,
tergantung kompetensi orang yang menafsirkannnya). Gabungan kata dengan makna
implicit ini dapat dibedakan menjadi 2, yakni kata-kata berkonotasi citraan
(citra gerak, citra penciuman, citra pendengaran, citra penglihatan, citra
pencecapan, dan citra perabanan) dan kata-kata berkonotasi kiasan (gaya bahasa
perbandingan, pertentangan, dan pertautan).
Lapis
arti puisi MJLB di atas dijalin penyairnya (SA) dengan memanfaatkan kosa kata bahasa
Indonesia yang bersifat denotatis dan konotatis sesuai dengan kepentingan
pemaknaan (lapis satuan arti) yang diinginkannya (makna muatan dan makna
ikutan). Di dalam puisi ini juga ditemukan nama tempat (Ambutun, Paramasan),
nama kecil (Angli), dan stigma dalam bahasa Banjar (garumbulan). Namun
pemakaian nama dan stigma local itu sama sekali tidak membuat puisi ini sulit
dimengerti oleh mereka yang tidak melek bahasa Banjar.
Setidak-tidaknya
9 paduan kata unik yang digunakan SA untuk menciptakan makna ikutan, yakni lelaki
belukar, tabiat melati, berbagi wangi, tangan-tangan kasar berdaki, berdarah
pijar, bertameng rajah, menebar onar, pemanis janji, dan noda jelaga di jidat.
Lelaki belukar merujuk kepada Ibnu Hajar sebagai seorang lelaki yang
banyak menghabiskan masa-masa hidupnya dengan bergerilya di semak-semak belukar.
Selama hidupnya, Ibnu Hajar memang banyak menghabiskan masa-masa hidupnya
sebagai seorang gerilayawan yang berjuang di dalam hutan. Tidak hanya di zaman
revolusi fisik 1945-1949 (ketika mendampingi Hassan Basry), tetapi juga di alam
kemerdekaan ketika ia memimpin perlawanan bersenjata terhadap pemerintah pusat
(1950-1963).
Melati
adalah bunga yang harum baunya. Paduan kata tabiat melati artinya orang yang berperilaku terpuji (harum
namanya). Tabiat melati dalam puisi ini merujuk kepada sikap pribadi Ibnu Hajar
yang protagonistis, yakni seorang yang terkenal baik hati, ikhlas dalam
berjuang, dan orang yang layak dihormati karena mental kepahlawanannya yang
tiada terperikan.
Paduan
diksi berbagi wangi masih ada hubungannya
dengan bunga melati. Penyair menggunakan paduan diksi ini sebagai sarana estetik
untuk menggambarkan sikap pribadi Ibnu Hajar yang tak mau menonjol secara
individual (pribadi) saja. Ia ingin semua teman seperjuangannya dalam perang
kemerdekaan dahulu juga memperoleh kehormatan yang setara dengannya. Tidak
didemobilisasi dengan dalih tidak memenuhi syarat kebugaran dan kemampuan
professional untuk melanjutkan kariernya tentara di zaman Indonesia merdeka.
Tangan-tangan kasar berdaki merujuk kepada tabiat buruk para tokoh antogonis (pemerintah
pusat), yakni para pembuat kebijakan politik demobilasi terhadap para pejuang
republic. Mereka yang tidak lolos tes kebugaran harus menerima nasib buruk
dikembalikan ke masyarakat. Hanya mereka yang lolos tes kebugaran saja yang
diterima dan diberi kesempatan melanjutkan kariernya sebagai anggota TNI yang
definitif.
Berdarah pijar merujuk kepada tabiat Ibnu Hajar sebagai seorang
pejuang kemerdekaan yang gagah berani, tak kenal takut melawan musuh-musuhnya
yang lebih terlatih secara kemiliteran dan lebih canggih persenjataannya. Musuh
yang harus dihadapi Ibnu Hajar dan kawan-kawannnya ketika itu adalah para
anggota pasukan militer KNIL. Mereka jauh professional, karena sebelum
diterjunkan ke medan perang di seluruh kepulauan nusantara, mereka terlebih
dahulu menjalani pelatihan kemiliteran berstandar internasional.
Bertameng rajah merujuk kepada tubuh Ibnu Hajar yang sudah diberi
tameng berupa tulisan berhuruf dan berbahasa Arab, sehingga diyakini tubuhnya
kebal dari segala tebasan atau tusukan senjata tajam, bahkan tak dapat ditembus
peluru musuh. Tameng rajah dibuat dengan cara menuliskan ayat-ayat suci al
Qur’an atau doa-doa keselamatan diri. Sarana untuk menuliskannya cuma jari
telunjuk dan zat cair yang digunakan bukan tinta, kesumba, atau zat pewarna
lainnya, tapi cuma air putih belaka. Hanya saja, orang yang menuliskannya bukanlah
orang sembarangan, tapi adalah para ulama yang sangat saleh.
Menebar onar, merujuk kepada perbuatan buruk. Ketika menjadi juri
dalam lomba menulis puisi Aruh Sastra Kalsel IX Banjarmasin 2012, penulis
sempat mengkritisi penggunaan kata-kata menebar onar ini. Penulis berpendapat
kata-kata ini kurang tepat digunakan dalam kaitannya dengan tendensi
menempatkan Ibnu Hajar pada posisi sebagai tokoh protagonis dalam puisi ini.
Struktur lapis satuan arti yang sudah berhasil dibangun penyair dengan apiknya pada
baris-baris sebelumnya langsung berantakan dibuatnya. Menebar onar lebih tepat
digunakan untuk tokoh antagonis. Penulis mengusulkan kata-kata menebarkan
perlawanan sebagai ganti kata-kata menebar onar.
Pemanis janji merujuk kepada janji palsu. Pelaku pengucap dan
pengingkar janji ini adalah tokoh antogonis yang dalam konteks puisi ini adalah
pemerintah pusat. Mula-mula Ibnu Hajar dijanjikan akan diberi pengampunan atas
tindakannya mengobarkan perlawanan bersenjata (diberi amnesty), statusnya
sebagai anggota TNI akan dipulihkan, dan ia akan disekolahkan ke akademi
militer di pulau Jawa. Orang yang diutus untuk menyampaikan janji pemerintah
pusat itu adalah Hassan Basry dan Idham Khalid. Ibnu Hajar bersedia memenuhi
permintaan pemerintah pusat itu, ia bersedia menghentikan perlawanan
bersenjata, dan keluar dari tempatnya bergerilya. Tapi janji tinggal janji,
jangankan ditepati malah justru dingkari. Ibnu Hajar dibawa ke Jakarta, diadili
di mahkamah militer luar biasa, divonis hukuman mati, dan akhirnya dieksekusi.
Noda jelaga di jidat merujuk kepada stigma yang dilekatkan oleh pemerintah
pusat kepada Ibnu Hajar, yakni sebagai pelaku pemberontakan terhadap pemerintah
yang sah. Stigma itu terus melekat hingga sekarang ini, sehingga jasa baiknya
sebagai pejuang kemerdekaan di masa revolusi fiksi dahulu hilang tanpa bekas.
Lapis
Satuan Arti
Lapis
satuan arti merujuk kepada tema puisi (sense) dan amanat puisi (intension).
Tema merujuk kepada arti atau pokok pikiran yang dikandung dalam puisi. Amanat
merujuk kepada tujuan yang ingin disampaikan penyair kepada pembaca melalui
puisinya.
Setiap
puisi sudah pasti mengandung suatu pokok persoalan (subject matter) yang hendak
dikemukakan penyairnya. Setiap puisi pasti diciptakan dengan tujuan tertentu
(Situmorang, 1983:12, 16). Tapi, tidak semua puisi dapat diketahui tema dan
amanatnya dengan mudah, karena para penyair sendiri pada umumnya sengaja
menyembunyikan tema dan tujuan puisinya di balik kosa-kata yang kaya makna
(ambiguitas).
Tema
dan amanat sebuah puisi dirumuskan berdasarkan hasil analisis atas makna muatan
dan makna ikutan yang terkandung di dalam keseluruhan satuan sintaksis yang ada
di dalam puisi itu sendiri. Menurut Effendi (1969:3), analisis lapis satuan
arti yang dilakukan untuk merumuskan sebuah tema puisi disebut analisis
tematis.
Istilah
tema berasal dari bahasa Latin yang berarti tempat meletakkan suatu perangkat.
Disebut demikian karena tema adalah ide yang mendasari penciptaan suatu karya
sastra (Aminuddin, 1995:91). Jenis-jenis tema dalam puisi setidak-tidak ada 9,
yakni (1) Cinta kasih antara sesama manusia, (2) Cinta tanah air, (3) Keadilan social,
(4) Kemanusiaan, (5) Kepahlawanan, (6) Kerakyatan, (7) Ketuhanan, (8) Pendidikan
budi pekerti, dan (9) tema-tema lainnya
Lapis
satuan arti puisi MJLB tidak bisa dipahami dengan mudah oleh para penafsir yang
tidak mengetahui apa, siapa, dan bagaimana sosok pribadi Ibnu Hajar. Tema Ibnu
Hajar bukanlah tema yang familiar bagi sebagian besar warga negara Republik
Indonesia. Tidak terkecuali bagi warga daerah Kalsel, hanya sebagian kecil
kecil saja orang-orang yang tinggal di daerah Kalsel yang mengetahui apa,
siapa, dan bagaimana sosok pribadi Ibnu Hajar.
Profil
Ibnu Hajar biasanya dimuat di berbagai koran terbitan Banjarmasin menjelang
diperingatinya Hari Proklamasi Gubernur Tentara ALRI Divisi IV Pertahanan
Kalimantan pada setiap 17 Mei. Format publikasi profilnya pun cuma berskala kecil,
karena publikasi profil yang berskala besar selalu diberikan kepada Brigjen H.
Hassan Basry selaku tokoh utama dalam momentum memperingati hari bersejarah tingkat
local di Kalsel ini. Buku yang relative cukup banyak memaparkan tentang apa,
siapa, dan bagaimana Ibnu Hajar, setahu penulis Cuma buku karangan C van Dijk
berjudul Darul Islam Sebuah Pemberontakan (Pustaka Utama Grafiti Jakarta,
1983).
Lapis
satuan arti puisi MJLB merujuk kepada kepahlawanan Ibnu Hajar sebagai pejuang kemerdekaan
yang sangat berjasa. Namun, jasa kepahlawanannya tidak dicatat sebagaimana
mestinya dalam tinta emas sejarah local memperjuangkan tetap tegaknya
kemerdekaan Republik Indonesia di Kalsel, sebaliknya yang dicatat dalam Sejarah
Nasional Republik Indonesia adalah aksi perlawanan bersenjata yang dilakukannya
terhadap pemerintah republic Indonesia.
Berikut
ini adalah teks paraphrase puisi MJLB yang sengaja disajikan di sini supaya
para pembaca dapat lebih memahami lapis satuan artinya.
I
Ia
(sejatinya adalah sosok pribadi) yang mewarisi tabiat melati. (Melati adalah
bunga yang harum baunya). (Ini berarti, Ibnu Hajar adalah sosok pribadiyang
berperilaku terpuji. Harum namanya sebagai sosok pribadi yang terkenal baik
hati, ikhlas dalam berjuang, dan orang yang layak dihormati karena mental
kepahlawanannya yang tiada terperikan).
Sebenarnya (tak banyak yang diinginkannya).
(Ia) hanya (meng)ingin(kan) (dapat) berbagi wangi (dapat berbagi keharuman nama
bersama). Tapi, tangan-tangan kasar berdaki (pemerintah pusat), (telah berbuat)
semena-mena (terhadapnya). (Ibnu Hanjar yang kecewa) (kemudian memilih sikap) melempar(kan)
(diri)nya ke belukar penuh duri. (Di sana ia kobarkan perlawanan bersenjata
untuk menuntut keadilan bagi kawan-kawannya seperjuangan yang didemobilisasi
dari dinas ketentaraan karena tidak lolos tes kebugaran fisik).
II.
(Telah)
berpuluh musim (lamanya ia berjuang menegakkan proklamasi kemerdekaan republic
Indonesia di Kalse). Telah (berpuluh musim) ia akrabi belantara (sebagai tempat
gerilya melawan pasukan militer pemerintah colonial Belanda)(KNIL). Demi bakti(nya)
(ke)pada negeri (yang dicintainya) Ibnu Hajar pun rela (me)ninggalkan (tempat
kelahirannya) Ambutun, dan kehangatan (hidup bersama) keluarga(nya) (di kampung
halaman yang indah permai). (Ia) tak peduli (jika untuk pengabdiannya kepada
negerinya tercinta) (ia harus sanggup menahan) lapar (berkepanjangan) (karena
persediaan makanan di tempat perjuangannya yang selalu kurang), (Ia juga tak peduli)
atau (lebih tepatnya tidak takut dengan ancaman penyakit) malaria (yang bakal
datang) mendera (dirinya di tempat perjuangannya).
Pada
(masa revolusi fisik dahulu), (Ibnu Hajar dan kawan-kawan berjuang dan bertahan
di balik) (kerimbunan dan ke)lebat(an) hutan (alami di pegunungan) Meratus. (Di
sinilah, Ibnu Hajar alias) Angli (giat) berkhidmad. (Di sana, di balik
kelebatan pepohonan itu, ia) merancang strategi (agar menang dalam adu) menyabung nyali (melawan KNIL, pasukan
pemerintah colonial Belanda)
Entah
(sudah) berapa (ratus) tubuh musuh (yang) sudah (terkapar bersimbah darah) (karena
berhasil) ia tebah (dalam pertempuran yang tak kenal sudah). (Ibnu Hajar
berbuat begitu) karena tak sudi bumi (warisan Pangeran) Antasari (ini) digaruk (habis
kekayaannya alamnya oleh) penjajah (Belanda).
(Ibnu
Hajar), dialah lelaki (gagah berani yang) berdarah pijar. (Tak diragukan lagi,
Ibnu Hajar adalah seorang pejuang kemerdekaan yang gagah berani, tak kenal
takut melawan musuh-musuhnya yang lebih terlatih secara kemiliteran dan lebih
canggih persenjataannya. Musuh yang harus dihadapi Ibnu Hajar dan
kawan-kawannnya ketika itu adalah para anggota pasukan militer KNIL. Mereka
jauh professional, karena sebelum diterjunkan ke medan perang di seluruh
kepulauan nusantara, mereka terlebih dahulu menjalani pelatihan kemiliteran berstandar
internasional).
Dengan
sekujur tubuh bertameng rajah, (maka tubuh Ibnu Hajar dan kawan-kawan
seperjuangannya menjadi kebal tak dapat ditembus peluru musuh. Tameng rajah Ibnu
Hajar dan para pejuang lainnya dibuat dengan cara menuliskan ayat-ayat suci al
Qur’an atau doa-doa keselamatan diri. Sarana untuk menuliskannya cuma jari
telunjuk dan zat cair yang digunakan bukan tinta, kesumba, atau zat pewarna
lainnya, tapi cuma air putih belaka. Hanya saja, orang yang menuliskannya
bukanlah orang sembarangan, tapi adalah para ulama yang sangat saleh).
(Begitulah), desing peluru (yang dating menderu-deru dari segala penjuru,
baginya tak lebih) hanyalah (seperti) angin lalu (yang datang silih berganti
dari segenap penjuru). Dan (mengenai
kesaktian Ibnu Hajar yang demikian itu) komandan Hassan Basry tahu (dengan) pasti
(hal) itu.”
Tapi,
(apa yang terjadi) ketika udara (merdeka) baru mengurak mekar (di seluruh
persada nusantara). (Terjadilah ketidak-adilan itu). (Pemerintah pusat dan para
petinggi tentara yang juga berada di pusat, mulai menata organisasi tentara.
Tidak semua pejuang bersenjata yang telah berjasa memerdekakan tanah airnya
tercinta dari penjajahan pemerintah colonial Belanda, dapat diterima bekerja
sebagai tentara Republik Indonesia. Mereka yang tak lolos tes kebugaran harus
rela menerima nasib buruk dikembalikan ke masyarakat atau didemobilisasi).
Betapa
sesak rongga dada Ibnu Hajar (melihat kenyataan buruk itu). Segulung tanya (terus-menerus)
menggasing (di) dalam benak(nya) (yang sensitive). (Ia lantas bertanya:) “Kenapa
pejuang banua mesti tercampak?”. (Ibnu Hajar
sangat marah ketika mengetahui bahwa kawan-kawan seperjuangannya yang
didemobilasi itu) (pejuang banua) (dihinakan sedemikian rupa dengan stigma
sebagai orang-orang yang tidak memenuhi syarat-syarat kebugaran untuk
melanjutkan kariernya sebagai tentara professional di zaman Indonesia merdeka.
Ironisnya pihak yang menghina mereka itu tidak lain adalah para mantan anggota
militer KNIL yang dulu menjadi musuh mereka di berbagai medan pertempuran).
(Sementara
itu, mantan anggota militer) KNIL
(tentara), bekas (antek-)antek Belanda (yang mereka perangi dahulu, kini di
zaman Indonesia merdeka) justru menyemat pangkat dan lencana? (Sehingga, dengan
pangkat dan lencana itu pula, mereka kemudian tampil sebagai atasan mereka di
kesatuan tentara yang dibentuk pemerintah republik Indonesia.
(Padahal,
dengan posisinya sebagai anggota militer KNIL, mereka dulu adalah para
pengkhianat bangsa merintangi segenap usaha anak bangsa untuk memerdekakan tanah
air ini). (Tapi, begitu tanah air berhasil dimerdekakan, ironisnya justru
merekalah yang mendapatkan pangkat tinggi dan lencana kehormatan di kesatuan
tentara. Mereka mestinya harus dihukum mati karena pengkhianatan mereka di masa
lalu, bukan malah diberi kehormatan berupa pangkat dan jabatan)..
(Begitulah,
dengan dalih demi profesionalisme tentara, para mantan anggota militer KNIL itu
dapat dengan mudah menempati posisi-posisi strategis dalam struktur organisasi
ketentaraan di negara yang dulu mereka tentang kemerdekaan. Mereka jelas
bukanlah pendiri negara ini, namun justru merekalah yang mengambil keuntungan
dari terbentuknya negara ini).
(Nasib
buruk justru dialami oleh para pejuang republic sejati) (pejuang banua) (yang
ikut andil memerdekakan tanah airnya, tapi begitu tanah airnya merdeka, mereka
justru tak diberi kesempatan untuk melanjutkan pengabdiannya sebagai tentara
yang depinitif. Mereka tersingkir karena tak memenuhi syarat kebugaran sebagai
anggota tentara, sehingga terpaksa menerima nasib buruk didemobilisasi).
(Mestinya,
sebagai balasan atas jasa-jasa mereka yang telah berjuang memerdekakan tanah
airnya, maka pemerintah republik yang baru terbentuk ketika itu harus
mengakomodasikan keinginan mereka untuk melanjutkan pengabdiannya sebagai
prajurit di masa Indonesia merdeka. Semuanya, tanpa kecuali, harus diterima
sebagai prajurit TNI yang definitive. Jika mereka terkena demobilisasi karena
factor kebugaran tubuh, maka mereka tetap diberi gaji, yakni sebagai pensiunan
tentara) (veteran). (Besaran gajinya disesuaikan dengan pangkat yang
disandangnya di masa revolusi fisik dahulu).
(Didorong
oleh rasa kecewa dan rasa setia kawan dengan nasib buruk kawan-kawannya
seperjuangan yang didemobilisasi dengan cara yang sangat menghina). (Ibnu Hajar)
atas nama rakyat (Indonesia) yang tertindas (mengobarkan perlawanan bersenjata
terhadap pemerintah pusat). Ia (ingin) (mem)bilas (rasa) kecewa dengan dentum(an)
senjata. (Ia ajak kawan-kawan seperjuangan yang sepaham dengannya berkumpul
mematri kekuatan bersenjata) di liang paramasan. (Di sinilah) mereka ber(juang)
(membangun) markas. (Mereka) menebar(kan) (ke)onar(an) di (se)tiap kesempatan (yang
ada dan) terbuka.
(Ibnu
Hajar dan anak buahnya sangat menguasai lika-liku alam dan topgrafi daerah
Kalsel, karena di sinilah mereka dahulu berjuang melawan pemerintah colonial
Belanda). (Sementara itu) tentara bentukan (pemerintah) pusat (yang dikirim
untuk menumpas gerakan perlawanan yang dikobarkan Ibnu Hajar, tidak menguasai
medan tempur di Kalsel). (Akibatnya mereka) pun dibuat keblenger (oleh pasukan
perlawanan yang dikomandoi oleh Ibnu Hajar).
(Mereka)
tak berkutik (dan selalu gagal) meringkus Ibnu Hajar. Maka, setelah lelah
mencoba segala taktik. (Pemerintah pusat lalu mengubah taktiknya). (Demi tujuan
menangkap Ibnu Hajar maka dibuatlah perangkap diplomasi yang sama sekali tidak
elegan karena dilakukan dengan menghalalkan tipu muslihat). Diutuslah Hassan
Basry dan Idham Khalid (untuk membujuk Ibnu Hajar agar bersedia menghentikan
perlawanannya terhadap pemerintah pusat dan petinggi tentara yang juga berada
di pusat).
(Nah),
atas nasihat dan bujuk(an) kedua tetuha banua (yang sangat dihormatinya itu) Ibnu
Hajar pun bersedia berdamai. (Ibnu Hajar rupa-rupanya tergiur dengan) iming-iming
(kesempatan melanjutkan) pendidikan militer di tanah Jawa. (Itulah iming-iming
yang) jadi bagian pemanis janji (perdamaian itu). (Konon, menurut ceritanya
Ibnu Hajar ketika itu disambut dengan hangat dalam suasana yang sangat
membesarkan hatinya). (Selepas penyambutan yang hangat itu, Ibnu Hajar dibawa
ke Jakarta)
Tapi
setiba(nya) di Jakarta (tahulah Ibnu Hajar bahwa ia telah masuk perangkap). (Terbukti,
sesampainya di Jakarta) ia ternyata (tidak didaftarkan sebagai calon taruna di
sebuah lembaga pendidikan militer sebagaimana yang dijanjikan pemerintah),
(tapi justru) dijebloskan ke (dalam) bui. (Bahkan, tidak berselang lama
kemudian, Ibnu Hajar dihadapkan ke sidang mahkamah militer luar biasa di
Jakarta). (Hakim yang mengadilinya menjatuhkan) vonis mati (untuk Ibnu Hajar).
(Vonis mati itu) tak bisa ditawar-tawar(nya) lagi. (Setelah itu, segalanya
tentang Ibnu Hajar sudah tidak dapat dilacak lagi). Bahkan sampai detik ini
(tidak diketahui bagaimana nasib) jasad(nya) dan (di mana jasadnya itu
dimakamkan). (Tidak ada seorang pun yang mengetahuinya di mana lokasi
makamnya). (Hingga kini) kuburnya (masih tetap) diliput kabut misteri.
III
Sejarah
(yang) belepotan (dengan) dusta (dan) sarat (dengan atau) oleh muslihat (yang
begitu keji itu), (telah menjadikan Ibnu Hajar sebagai korbannya yang paling
teraniaya). (Sejarah hidupnya sebagai orang yang kalah, membuatnya tak mampu
membela diri). (Sejak, ia dieksekusi atas nama hukum militer, maka sejak itu
pula) tergoreslah sudah (stigma) noda jelaga (sebagai pelaku makar). (Stigma
itu sudah melekat begitu kuatnya) di jidat (Ibnu Hajar). (Suka tidak suka, mau
tidak mau) predikat (sebagai) gembong garumbulan (itu) pun (sudah) terlanjur
melekat (begitu erat). (Sehingga, selalu) menguntit (di setiap) langkah-langkah
(di) sepanjang riwayat (hidupnya).
Lapis
Dunia
Lapis
dunia merujuk kepada perasaan (feling), dan nada (tone). Perasaan (feeling)
merujuk kepada sikap penyair terhadap tema atau pokok pikiran yang
dikemukakannya. Nada (tone) merujuk kepada sikap penyair terhadap pembaca
puisinya. Pada lapis dunia inilah penyair memaparkan informasi implisit
menyangkut pelaku, latar, objek yang dikemukakan, dan dunia pengarang. Lapis
dunia tidak lain adalah realitas yang dilihat dari sudut pandang tertentu.
Lapis
dunia puisi MJLB menggambarkan sikap pribadi penyairnya yang menaruh simpati
kepada Ibnu Hajar. Penyair berharap para pembaca puisinya juga mengambil sikap
seperti dirinya yakni menaruh simpati kepada nasib buruk Ibnu Hajar.
Lapis
Metafisis
Lapis
metafisis merujuk kepada pengalaman imajiner (imagery), yakni segala sesuatu
yang menjadi bahan kontemplasi (renungan), seperti : sesuatu yang suci, sublim,
tragis, mengerikan, dan menakutkan. Menurut Pradopo (1999:15) tidak semua puisi
memiliki lapis metafisis.
Lapis
metafisis puisi MJLB merujuk kepada pengalaman imajiner penyair yang merasakan
bagaimana buruknya negara memperlakukan seorang Ibnu Hajar. Mengingat jasanya
yang begitu besar terhadap negara ini, maka negara mestinya merehabilitasi nama
baiknya sesuai dengan janji yang dulu diucapkan oleh para utusan yang dulu
ditugasi oleh pemerintah pusat untuk membujuk Ibnu Hajar agar menghentikan
perlawanannya.
---------------------------------------------------------------------