KAJIAN STRATA NORMA
PUISI REZQIE MUHAMMAD AL FAJAR
BERJUDUL NYANYIAN BUMI PAIKAT
Oleh Tajuddin Noor Ganie, M. Pd
Rezqie
Muhammad Al Fajar (RMAF), mahasiswa PGSD FKIP Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin.
Lahir di Barabai, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalsel, 5 Juni 1994. Ia merupakan
pendatang baru di jagat sastra Indonesia di Kalsel. Publikasi puisinya antara
lain di SKH Banjarmasin Post dan SKH Media Kalimantan. Selain menulis puisi ia
juga aktif sebagai pembaca puisi berprestasi. Posisi kesastrawanannya menjadi
semakin mantap saja ketika ia baru-baru ini berhasil mengukir prestasi sebagai
Pemenang III katagori peserta umum dalam Lomba Menulis Puisi Aruh Sastra Kalsel
IX Banjarmasin 2012 (www.wisata
banjarmasin.com, Sabtu, 25 Agustus 2012).
Pada
kesempatan ini penulis mengulas puisi RMAF berrjudul Nyanyian Bumi Paikat (selanjutnya ditulis NBP). Dengan puisi inilah
ia berhasil mengukir prestasinya sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Ulasan
dilakukan dengan pendekatan strata norma menurut teori Roman Ingarden.
Berikut
penulis kutipkan puisi dimaksud.
NYANYIAN
BUMI PAIKAT
(Sajak
rindu untuk benuaku
dalam
tangisan anak bukit)
sebagaimana
mayang dan kambat ditarikan
lumut pergi tak berbekas di
luruhan daun purun
melupakan balai tempat menganyam lampit masa lalu
betapa miris merasakan
hamparan sasirangan terbakar
dari muara lanting melepas jukung ke hulu sungai
di setiap garis petuah sungai
Martapura ke Lok Baintan
mengayun kayuh menuju pasar
terapung dengan seikat harap
turis-turis merekam jejak saka dan konser balian
sedangkan irama japin dan kanjar tak terdengar lagi
mengiringi baksa kambang dan radap rahayu
di mana tempat penziarahan
anak cucu nanti
bila kita tak tahu bau asap
kemenyannya
ke mana kita menanam tonggak
kayu ulin
bila kita tak tahu tanah
kubur datu kita
bagaimana kita bisa mengenal
riwayat ladang kita
bila kita tak tahu wajah para penatah banua
indah nian nyanyian bumi paikat bergelantungan di langit seribu
sungai
deretan duri membalur pada
hutan purba
pada ombak yang diam
semasa kita bapukung dalam belai kasih kuitan
kau babat hutan tanpa sadar
bertopeng imitasi
dan berkhianat pada nisan
leluhur
celakalah pencuri jantung
bumi paikat
membiarkan teriakan anak
bukit menyahan kindai dunia
sebelum mentari tenggelam
dalam pakucuran kedurhakaan
berhentilah memburu manis
kesturi di biduk rampa
pada semua kenyataan yang
sudah dimengerti
aku merindu nyanyian bumi paikat di belantara huma banuaku
Banjarmasin, 27 Juli 2012
Lapis Bunyi
Lapis bunyi merujuk kepada hasil olah kata yang
dilakukan penyair. Lajimnya kosa-kata yang dipilih untuk menghasilkan lapis
bunyi adalah kosa-kata yang sesuai dengan pola persajakan yang sudah ada dalam
tradisi penulisan puisi modern di tanah air kita, yakni a/a/a/a, a/a/b/b,
a/b/a/b, dan a/b/b/a.
Namun, lapis bunyi dalam puisi NBP tidak diolah RMAF dengan
cara seperti itu. Lapis bunyi dalam puisinya ini diolahnya dengan cara
meletakkan kosa-kata dengan huruf awal yang sama atau huruf akhir yang sama
pada baris yang sama. Lapis bunyi yang dihasilkan dengan cara seperti ini lajim
disebut aliterasi.
Aliterasi adalah (1) ulangan bunyi konsonan yang
terdapat pada awal kata untuk mencapai efek keindahan bunyi. Istilah lain rima
konsonan, purwakati, runtun konsonan, contoh bukan beta bijak berperi dalam
puisi Rustam Effendi (Zaidan dkk, 1994:26, dan Hasanuddin WS dkk, 2004:42), dan
(2) ulangan bunyi vocal atau konsonan di awal kata, di tengah kata, atau di
akhir kata, baik yang berurutan maupun yang berselang-seling pada baris puisi yang
sama (vertical) (Ganie, 2012).
Berkut ini adalah lapis bunyi aliterasi yang ditemukan
dalam puisi RMAF berjudul NBP (1) lumut pergi tak berbekas di luruhan daun purun, (2) betapa miris merasakan
hamparan sasirangan terbakar, (3)
sedangkan irama japin dan kanjar.tak terdengar lagi, (4) bila kita
tak tahu bau asap kemenyannya, (5) ke mana kita menanam tonggak kayu ulin, (6) bila kita tak tahu tanah kubur
datu kita, (7) bagaimana kita bisa mengenal riwayat ladang kita, (8) bila kita
tak tahu wajah para penatah banua.
Selanjutnya, (9) indah nian nyanyian bumi paikat
bergelantungan di langit seribu sungai, (10) deretan duri membalur pada hutan
purba/pada ombak yang diam, (11) semasa kita bapukung dalam belai kasih kuitan,
(12) membiarkan teriakan anak bukit menyahan kindai dunia, (13) sebelum mentari
tenggelam dalam pakucuran kedurhakaan,
(14) berhentilah memburu manis kesturi di biduk rampa, (15) pada semua kenyataan yang sudah dimengerti, dan (16)
aku merindu bumi paikat di belantara
huma banuaku.
Keberadaan lapis bunyi aliterasi sebanyak 16 buah itu
menjadikan puisi NBP ini menjadi puisi yang ritmis dan melodius ketika
dibacakan di depan public.
Lapis Arti
Lapis arti merujuk kepada satuan arti yang
terbentuk baik karena susunan teks visual kata-katanya (tipografi), maupun
karena pilihan kata-katanya (diksi), Tipografi puisi NBP terdiri dari 6 bait. Bait I-II : 5 baris
(Kuin), Bait III : 6 baris (Sektet), bait IV : 11 baris, dan Bait V : 1 baris.
Pilihan
kata (diksi) identik dengan struktur formal linguistik puisi (Semi, 1993:121). Setiap
kata mempunyai makna leksikal (makna kamus) yang melekat semula jadi padanya.
Makna leksikal yang dilekatkan pada setiap kata adalah makna yang disepakati
secara arbiter (mana suka) oleh para pemakai bahasa. Kesepakatan itu kemudian
dilegal-formalkan dengan cara memasukannya ke dalam kamus yang diakui negara.
Oleh
para penyair yang kreatif, kosa kata tunggal yang mandiri itu dimajemukkan
dengan cara digabungkan dengan kosa kata tunggal lainnya, atau dengan kosa kata
majemuk yang disukainya. Hasil kimiawi akibat penggabungan kosa kata itu adalah
terciptanya makna kata yang baru sebagai pengganti makna kata yang lama. Makna
baru dimaksud ada yang disebut makna muatan dan ada pula yang disebut makna
ikutan.
Makna
muatan identik dengan makna eksplisit (langsung dapat dimengerti tanpa
penafsiran sama sekali). Gabungan kata dengan makna eksplisit ini disebut
sebagai deretan kata nyata. Sedangkan makna ikutan identik dengan makna
implicit (tidak langsung dapat dimengerti maknanya, sehingga pemaknaan
terhadapnya harus dilakukan melalui penafsiran subjektif yang beragam,
tergantung kompetensi orang yang menafsirkannnya). Gabungan kata dengan makna
implicit ini dapat dibedakan menjadi 2, yakni kata-kata berkonotasi citraan
(citra gerak, citra penciuman, citra pendengaran, citra penglihatan, citra
pencecapan, dan citra perabanan) dan kata-kata berkonotasi kiasan (gaya bahasa
perbandingan, pertentangan, dan pertautan).
Lapis
arti puisi NBP di atas dijalin penyairnya (RMAF) dengan memanfaatkan kosa kata bahasa
Indonesia dan bahasa Banjar yang bersifat denotatis dan konotatis sesuai dengan
kepentingan pemaknaan yang diinginkannya (makna muatan dan makna ikutan). Paparan
lapis arti yang diciptakan penyair dengan memanfaatkan sarana bahasa Indonesia
dibatasi pada paduan kata yang berkonotasi implicit saja. Sementara untuk lapis
arti yang diciptakan penyair dengan memanfaatkan bahasa Banjar akan dijelaskan
semuanya, baik menyangkut arti katanya yang eksplisit, maupun arti katanya yang
implicit.
Paduan
kata yang perlu dipaparkan lapis artinya dalam puisi NBP ini ada 11 buah, yakni
(1) tempat penziarahan anak cucu, (2) bau asap kemenyannya, (3) tanah kubur
datu kita, (4) riwayat ladang kita, (5) deretan duri membalur pada hutan purba,
(6) ombak yang diam, (7) bertopeng imitasi, (8) nisan leluhur, (9) pencuri
jantung, (10) mentari tenggelam, dan (11) manis kesturi.
(1)
Penziarahan anak
cucu, tempat yang biasa dikunjungi oleh anak-anak suku Dayak Meratus (penyair
menggunakan istilah Bukit, penulis sengaja menggantinya dengan istilah Dayak
Meratus karena istilah ini lebih disukai mereka, pen) biasanya berupa makam
leluhur, balai adat, rumah pusaka tempat berkumpul pada hari-hari besar
tertentu, dan bisa pula berupa kampung halaman. Difungsikan sebagai tempat
untuk mengenang kembali jasa-jasa baik para leluhur yang menjadi cikal-bakal
mereka. Tempat penziarahan semacam ini berkaitan dengan identitas asal-usul
genetic suku bangsa.
(2)
Bau asap
kemenyan, merujuk kepada identitas yang berkaitan dengan asal-usul genetic suku
Dayak Meratus yang bersifat mistis.
(3)
Tanah kubur datu
kita, merujuk kepada tempat yang dihormati, tempat yang setiap tahunnya harus
diziarahi sebagai bukti penghormatan kepada roh nenek moyang, yakni para leluhur
yang menjadi cikal-bakal mereka sebagai suku Dayak Meratus. Tanah kubur dalam
konteks puisi ini merupakan salah satu identitas yang berkaitan asal-usul genetic
suku Dayak Meratus .
(4)
Riwayat ladang
kita, merujuk kepada identitas asal-usul atau hak domestic yang berkaitan
dengan kampung halaman suku Dayak Meratus. Ladang kita merupakan salah satu
identitas yang berkaitan dengan asal-usul kampung halaman suku Dayak Meratus.
(5)
Deretan duri
membalur pada hutan purba, merujuk kepada lingkungan alam domestic suku Dayak
Meratus yang masih asri di masa lalu, yakni ketika hutan-hutan masih lebat dan
masih penuh dengan onak dan duri karena memang belum banyak dirambah orang.
(6)
Ombak yang diam,
merujuk kepada suasana kampung halaman suku Dayak Meratus yang aman tenteram
jauh dari ancaman mara bahaya.
(7)
Bertopeng
imitasi, merujuk kepada tokoh antogonis yang tidak disukai orang, yakni
orang-orang munafik yang bermuka dua, atau orang-orang yang bertabiat
pengkhianat.
(8)
Nisan leluhur,
merujuk kepada tempat yang dihormati, tempat yang setiap tahun harus diziarahi
sebagai bukti penghormatan kepada roh para leluhur yang menjadi cikal-bakal
mereka sebagai suku bangsa. Nisan leluhur merupakan salah satu identitas suku Dayak
Meratus yang berkaitan dengan asal-usul genetic mereka.
(9)
Pencuri jantung,
merujuk kepada penjahat yang sangat berbahaya, dalam konteks puisi ini adalah
para pelaku pembabatan hutan secara liar (illegal logging).
(10) Mentari tenggelam, merujuk kepada batas waktu yang
ditolerenasi. Pelanggaran terhadap batas waktu yang ditolerensi ini mengandung
risiko akan dijatuhi hukuman sesuai dengan tingkat kesalahannya.
(11) Manis kesturi, merujuk kepada segala sesuatu yang
membuat orang lain yang sebenarnya tidak berhak menjadi tergiur untuk ikut mengambil
bagian yang bukan haknya.
Khusus
untuk kosa-kata bahasa Banjar yang dimanfaatkan dalam puisi ini ada sebanyak 25
buah kata, yakni.
(1) Paikat = rotan, symbol kekayaaan alam
yang terdapat di dalam hutan yang dimiliki secara kolektif sebagai tanah ulayat
oleh suku Dayak Meratus di Kalsel
(2) Kambat sejenis tanaman daun yang
biasanya terdapat atau ditanam di sekitar pemakaman atau di atas pekuburan,
biasa digunakan sebagai pelengkap upacara adat dalam tradisi ritual di kalangan
suku Dayak Meratus, seperti upacara adat
bamandi-mandi. Sama halnya dengan paikat,
kambat juga merupakan symbol kekayaan
alam yang terdapat di dalam hutan yang tumbuh di tanah ulayat milik bersama
suku Dayak Meratus
(3) Purun, sejenis rumput yang hidup di
padang rawa-rawa, bahan utama untuk membuat barang-barang kerajinan tangan,
seperti bakul atau tikar. Sama halnya dengan paikat, purun juga
merupakan symbol kekayaan alam yang terdapat di dalam hutan yang tumbuh di
tanah ulayat milik bersama suku Dayak Meratus. Tidak hanya itu keterampilan
menganyam purun menjadi bakul atau
tikar merupakan salah satu bukti pencapaian prestasi suku Dayak Meratus dan
suku Banjar di bidang produksi komoditas kerajinan tangan.
(4) Balai, rumah adat, biasanya digunakan
sebagai tempat menggelar musyawarah adat oleh suku Dayak Meratus. Balai merupakan salah satu kearifan
budaya local suku Dayak Meratus. Selain sebagai tempat musyarawarah adat, balai juga difungsikan sebagai tempat untuk
membina karakter anak-anak suku Dayak Meratus. Di tempat inilah karakter mereka
digembleng secara dini sebelum memasuki usia remaja.
(5)
Lampit, tikar yang
dibuat dari bilah-bilah rotan yang dianyam jadi satu, merupakan salah satu
bukti pencapaian prestasi suku Dayak Meratus dan suku Banjar di bidang produksi
komoditas kerajinan tangan.
(6)
Sasirangan, nama sejenis
kain khas hasil karya kerajinan tangan orang Banjar di Kalsel, salah satu bukti
pencapaian prestasi suku Banjar di bidang produksi komoditas kerajinan tangan.
(7)
Lanting = rakit bambu,
sarana transportasi air yang multiguna di kalangan suku Dayak Meratus, dibuat
dari puluhan batang bambu yang dirakit jadi satu dengan tali rotan. Digunakan
sebagai sarana transpotasi air untuk mengarungi sungai Amandit dari Loksado
menuju ke kota Kandangan. Sesampainya di kota Kandangan rakit bambu itu dijual
kepada para penadahnya, uang hasil penjulannya digunakan untuk membeli segala
keperluan hidup. Termasuk salah satu kearifan budaya budaya local yang
menunjukkan bukti pencapaian prestasi suku Dayak Meratus.
(8)
Jukung =
perahu yang dibuat dari kayu gelondongan yang digali (bahasa Banjar ditabuk), atau
dibuat dari kayu kepingan yang dirakit dengan teknik-teknik pertukangan. Jukung
digunakan sebagai sarana transportasi sungai, termasuk salah satu kearifan
budaya local yang berkaitan dengan pencapaian prestasi suku Banjar di bidang produksi
komoditas hasil kerja pertukangan.
(9)
Lok Baintan = nama tempat di
Kabupaten Banjar, Kalsel, terkenal sebagai salah satu lokasi pasar terapung
yang alami dan banyak dikunjungi oleh turis local, luar daerah Kalsel, dan
mancanegara
(10)
Saka = anak sungai,
kanal air, terusan. Salah satu kearifan budaya local suku Banjar di bidang tata
kelola air sawah dan system lalu lintas di persungaian.
(11)
Balian, orang yang
bertindak selalu pemimpin upacara adat di kalangan orang Dayak Meratus di
Kalsel. Salah satu kearifan budaya local yang berkaitan dengan system religi
asli orang Dayak Meratus di Kalsel.
(12)
Japin, nama tarian
orang Banjar untuk keperluan hiburan. salah satu identitas suku Banjar di
bidang seni budaya
(13)
Kanjar, nama
tarian sacral orang Dayak Meratus yang ditarikan pada setiap upacara adat.
Salah satu identitas suku Dayak Meratus di bidang religi dan seni budaya.
(14)
Baksa kambang, nama tarian
orang Banjar yang ditarikan pada saat menerima tamu terhormat, salah satu
identitas suku Banjar di bidang seni budaya.
(15)
Radap rahayu, nama tarian
orang Banjar yang ditarikan pada saat menerima tamu terhormat. Salah satu
identitas suku Banjar di bidang seni budaya,
(16)
Kayu
ulin = kayu besi, salah satu jenis
kayu endemic yang terkenal kuat dan tahan lama. Biasanya diolah menjadi balok
berbagai ukuran, dan atap sirap.
(17)
Datu = nenek moyang,
para leluhur yang dihormati sebagai cikal bakal keberadaan suku Banjar dan
Dayak Meratus di Kalsel.
(18)
Penatah banua, para pendiri
tempat pemukiman, semacam founding father.
(19) Bapukung, cara orang Banjar menidurkan anak
berusia bawah lima tahun dengan cara mendudukannya di dalam ayunan yang diikat
di bagian bawah dagunya,
(20) Kuitan = orang tua, (21) Manyahan = memanggul, (22) Kindai
= lumbung padi, (23) Pakucuran, sejenis bejana, tempat untuk menampung kucuran
air bekas menginang. (24) Rampa =
rumah kecil di tengah belukar atau sawah, dan (25) Banuaku = kampung halamanku.
Keberadaan kosa-kata bahasa Banjar sebanyak 25 buah
itu menjadikan para pembaca yang tidak fasih berbahasa Banjar akan mengalami
kesulitan, minimal mengalami ketersendatan, dalam memahami makna muatan dan
makna ikutan puisi NBP ini.
Namun, pemakaian kosa-kata bahasa Banjar dimaksud
tampaknya sulit dihindari oleh penyairnya (RMAF). Hal ini berkaitan dengan
warna local Banjar yang ingin dibangunnya. Warna local Banjar yang kental
termasuk salah satu keistimewaan puisi ini. Tapi bisa juga merupakan faktor
yang melemahkan dalam konteks membangun komunikasi dengan para pembaca yang
berasal dari luar lingkungan komunitas orang Banjar (atau luar Kalsel).
Lapis
Satuan Arti
Lapis
satuan arti merujuk kepada tema puisi (sense) dan amanat puisi (intension). Istilah
tema berasal dari bahasa Latin yang berarti tempat meletakkan suatu perangkat.
Disebut demikian karena tema adalah ide yang mendasari penciptaan suatu karya
sastra (Aminuddin, 1995:91).
Tema
merujuk kepada arti atau pokok pikiran yang dikandung dalam puisi. Amanat
merujuk kepada tujuan yang ingin disampaikan penyair kepada pembaca melalui
puisinya. Setiap puisi sudah pasti mengandung tema sebagai pokok persoalan
(subject matter) yang diungkapkan penyairnya. Setiap puisi pasti diciptakan
dengan amanat tertentu karena tidak ada penyair yang menulis puisi tanpa tujuan
sama sekali (Situmorang, 1983:12, 16).
Tapi,
tidak semua puisi dapat diketahui tema dan amanatnya dengan mudah, karena tidak
semua penyair mau mengungkapkannya dengan gamblang. Bahkan, para penyair pada
umumnya bersengaja menyembunyikan tema dan amanat puisinya di balik kosa-kata
yang kaya makna (ambiguitas). Tidak jarang tema dan amanat puisi baru diketahui
setelah dilakukan penafsiran yang mendalam atas makna muatan dan makna ikutan
puisi itu sendiri.
NBP
merupakan puisi berjenis eligi, karena didalamnya banyak sekali ditemukan
ungkapan-ungkapan yang bernada sedih. Konotasi kesedihan sudah mulai terasa
pada subjudulnya, yakni sajak rindu untuk benuaku dalam tangisan anak Bukit.
Menurut
Zaidan dkk (1994:67), eligi adalah sajak atau lagu yang mengungkapkan rasa duka
atau keluh kesah karena sedih, rindu, atau murung. Subjeknya bermacam-macam,
antara lain kematian, perang, dan cinta. Eligi juga ditulis pada batu nisan
sebagai puisi kenangan. Sejak abad ke 16 istilah eligi mengalami penyempitan makna, yakni hanya
merujuk kepada puisi duka untuk seseorang atau ratapan untuk
peristiwa-peristiwa tragis. Istilah lain sajak ratap.
Eligi
menurut Rani (1996:83 dan 280) adalah sajak duka nestapa. Puisi yang mengandung
ratapan atau ungkapan duka cita. Isi sajak ini selalu mengungkapkan sesuatu
yang bersifat mendayu-dayu, mengharu biru, dan menyayat hati. Menurut
Hasanuddin WS dkk (2007:245), istilah eligi berasal dari bahasa Inggeris elegy
dan bahasa Perancis elegie.
Elegi
pada awalnya adalah sajak pada zaman klasik di Yunani dan Latin. Biasanya
isinya adalah keluhan dan ratapan yang ditujukan kepada seorang kekasih. Dalam
sastra Eropa Barat pada umumnya kata elegi dipergunakan bagi setiap syair lirik
yang merenungkan mengenai aspek-aspek tragis dalam hidup manusia, bertepatan
dengan meninggalnya seorang kekasih atau peristiwa yang menyedihkan. Saat ini
istilah elegi digunakan untuk sajak atau lagu yang mengungkapkan rasa duka atau
keluh kesah karena sedih, rindu, atau murung, terutama karena kematian
seseorang.
Berdasarkan
paparan di atas, Ganie (2009) berpendapat bahwa puisi berjenis eligi adalah
puisi yang berisi ungkapan duka cita. Sehubungan dengan itu maka diksi yang
dipilih penyair untuk membuat puisi berjenis eligi adalah kosa kata yang
bernuansa duka cita, kelabu, kelam, kelu, muram durja, nelangsa, nestapa, pilu,
dan sedih.
Ada 2
sumber kesedihan yang diungkapkan penyair dalam puisi berjenis eligi ini, yakni
rusaknya lingkungan hidup dan punahnya sejumlah kearifan budaya local. Penulis
berpendapat itulah tema utama yang diusung RMAF dalam puisinya berjudul NBP ini.
Lingkungan
hidup yang rusak itu digambarkan penyair berlokasi di kampung halaman orang
Bukit. Lingkungan hidup yang tadinya asri berubah menjadi rusak, dan kearifan
budaya local yang tadinya beragam mulai kehilangan fungsinya sebagai identitas
suku bangsa yang membanggakan suku Dayak Meratus dan suku Banjar di Kalsel.
Tokoh
antogonis yang dituding penyair sebagai oknum pelaku pengrusakan lingkungan hidup
dimaksud adalah kau lirik, orang yang dikecamnya sebagai oknum yang telah melakukan
pengkhianatan terhadap segenap petuah suci warisan para leluhur mereka. Oknum
itu adalah orang yang membabat hutan dengan jurus mabuk dan jurus innocent (kau
babat hutan tanpa sadar bertopeng imitasi).
Ungkapan
sedih yang berisi ratapan atas kerusakan lingkungan hidup antara lain tergambar
secara implicit dalam kutipan teks baris-baris puisi di bawah ini (1) lumut
pergi tak berbekas di luruhan daun purun, (2) kau babat hutan tanpa sadar
bertopeng imitasi, (3) dan berkhianat pada nisan leluhur, (4) celakalah pencuri
jantung bumi paikat, (5) membiarkan teriakan anak Bukit menyahan kindai dunia,
(6) sebelum mentari tenggelam dalam pakucuran kedurhakaan, dan (7) berhentilah
memburu manis kesturi di biduk rampa.
Sedangkan
ungkapan sedih yang berisi ratapan atas punahnya sejumlah kearifan budaya local
suku Banjar dan suku Dayak Meratus tergambar secara implicit dalam kutipan teks
di bawah ini (1) melupakan balai tempat menganyam lampit masa lalu, (2) betapa
miris merasakan hamparan sasirangan terbakar, (3) sedangkan irama japin dan
kanjar tak terdengar lagi mengiringi baksa kambang dan radap rahayu, (4) di
mana tempat penziarahan anak cucu nanti/bila kita tak tahu bau asap
kemenyannya, (5) ke mana kita menanam tonggak ulin/bila kita tak tahu tanah
kubur datu kita, (6) bagaimana kita bisa mengenal riwayat ladang kita/bila kita
tak tahu wajah para penatah banua.
Berikut
ini adalah teks paraphrase puisi NBP menurut versi penulis yang subjektif.
Tidak tertutup kemungkinan teks parapharase puisi ini sangat jauh berbeda
dengan versi asli yang digagas atau diinginkan oleh penyairnya (RMAF).
Sebagaimana
(halnya dengan) mayang dan kambat (yang)
ditarikan (orang), (seperti itulah) lumut (sungai) pergi (entah ke mana).
(Kepergiannya) tak berbekas (sama sekali). (Hilang lenyap begitu saja). (Sudah
dicari) di luruhan daun purun, (namun
hasilnya nihil). (Seperti itulah gambaran
tabiat anak-anak suku Dayak Meratus yang pergi begitu saja meninggalkan kampung
halaman menuju tanah rantau yang mereka suka).
(Mereka
hilang, lenyap begitu saja), (pergi merantau entah ke mana). (Mereka sepertinya
telah) melupakan balai tempat (mereka
dulu mulai belajar) menganyam lampit (di)
masa lalu. Balai merujuk kepada
tempat, masa lalu merujuk kepada masa kanak-kanak, dan menganyam lampit merujuk kepada kegiatan pembinaan
mental dan spiritual (pembinaan karakter).
Aspek
mental dan spiritual semua anak Dayak Meratus sejatinya dibina sejak dini di
balai-balai yang ada di kampung halaman mereka masing-masing. Setelah itu
barulah mereka dibolehkan pergi merantau ke berbagai tempat di luar kampung
halaman mereka untuk melanjutkan sekolah atau untuk mencari pekerjaan yang
layak.
(Sungguh)
betapa miris (hati ini melihat dan) merasakan (betapa) hamparan sasirangan (sudah jarang sekali kita lihat).
(Budaya local membuat kain sasirangan sudah
mulai dilupakan orang). (sehingga kain sasirangan
yang adiluhung itu sudah mulai langka), (bahkan dikhawatirkan akhirnya akan
punah tak bersisa sama sekali seperti layaknya kain buruk yang) terbakar (atau
bahkan sengaja dibakar oleh para pemiliknya).
Dari
(arah) muara (mereka melepas) lanting
(atau) melepas jukung (tergantung
pada apa yang mereka punya). (Setelah itu lanting dan jukung dikayuh melaju) ke (arah) hulu sungai. Muara merujuk
kepada tempat-tempat urban yang menjadi tempat tujuan para perantau. Hulu
sungai merupakan tempat tinggal idaman semua orang.
Semua
orang harus kembali memelihara lingkungan hidup. Semua orang harus kembali
menghidupkan kearifan budaya local yang adiluhung. Kembali menanam pinang untuk
memperoleh mayangnya, kembali menamam kambat. Kembali menjadikan sungai-sungai
sebagai tempat memilirkan lanting, tempat mengayuh perahu, habitat lumut, dan biota air lainnya seperti sedia
kala).
(Para
perantau suku Dayak Meratus harus kembali menjadikan padang rawa-rawa sebagai
habitat purun, dan biota rawa lainnya. Kembali menghidupkan balai sebagai
tempat bermusyawarah dan membina karakter anak cucu secara dini. Kembali
menganyam lampit, dan kembali membuat kain sasirangan. Tidak boleh ada lagi seorang
pun anak-anak Dayak Meratus yang berani melanggar) garis (batas larangan yang
tercantum dalam) petuah (nenek moyang mereka).
(Dalam
perjalanan dari) sungai Martapura (menuju) ke Lok Baintan, (terlihat para
pedagang buah-buahan dan sayur-sayuran) (saling berlomba) mengayun(kan) kayuh(nya),
(kayuh demi kayuh membuat perahu mereka meluncur deras mengikuti arus sungai) menuju
(ke) pasar terapung. (Sementara itu di dalam hati mereka terselip) seikat harap
(semoga Allah Swt memberi berkah atas segala usaha mereka dalam mencari nafkah).
(Di
sungai yang sama juga terlihat) turis-turis (nusantara berbaur jadi satu dengan
turis-turis mancanegara), (mereka mencoba) merekam (jejak-)jejak saka (yang sudah begitu dangkal airnya), dan (juga merekam) konser balian (yang masih tersisa di sana). Sedangkan
(di sana-sini) irama japin dan kanjar (sudah nyaris) tak terdengar lagi
mengiringi (tarian) baksa kambang dan
(tarian) radap rahayu
(Melalui
puisi ini izinkan aku bertanya) di mana tempat penziarahan anak cucu nanti, bila
kita (sebagai anak cucu) tak tahu (dari mana) bau asap kemenyannya (berasal?). Asap
kemenyan merujuk kepada asal-usul semua budaya local yang diwariskan oleh para
leluhur, dan tempat penziarahan merujuk kepada tempat untuk menunjukkan rasa
hormat anak cucu kepada para leluhurnya. Jadi, marilah kita pulang kembali ke
kampung halaman untuk mencari tahu asal-usul jati diri kita (bau asap kemenyan).
Supaya kita nantinya menjadi mudah untuk menziarahinya.
(Lalu),
ke mana (pula) kita (sebagai anak cucu harus mencari lokasi yang semestinya
untuk) menanam tonggak kayu ulin(?) (Sungguh,
kita tak akan bisa melakukan penanaman tonggak ulin itu) bila kita (sebagai
anak cucu) tak tahu (di mana) tanah (tempat) kubur datu kita. (Selanjutnya) bagaimana
(mungkin) kita bisa mengenal riwayat ladang kita, bila kita (sebagai anak cucu)
tak tahu wajah para penatah banua (kita).
Tonggak kayu ulin, tanah kubur datu, ladang, dan penatah banua merujuk kepada
identitas local anak-anak suku Dayak Meratus.
Indah
nian (kudengar) nyanyian (puja-puji bagi) bumi (leluhur kami). (Ketika itu)
paikat (masih) bergelantungan (dalam jumlah banyak) di (seantero) langit
(negeri) seribu sungai. Deretan duri (paikat ketika itu masih) membalur (dan
menjulur) pada (segenap pohon yang tumbuh di) hutan purba (yang masih terjaga
keasriannya). Bait IV puisi NBP ini berisi gambaran tentang lingkungan hidup
yang ideal menurut persepsi penyair (RMAF)
(Kepermaian
bumi paikat juga tergambar) pada ombak laut yang (selalu tenang dan) diam (tak
pernah berbuat ulah terhadap anak-anak suku Dayak Meratus) yang berlayar
mengarunginya atau mencari nafkah di atasnya). (Masa-masa indah itu terjadi)
semasa kita (masih tidur) bapukung (di ayunan), (selagi kita masih berada)
dalam (buaian) belas kasih kuitan (ayah dan ibu kita).
(Masa-masa
indah di kampung halaman anak-anak suku Dayak Meratus itu mulai terusik ketika)
kau babat hutan (larangan) tanpa sadar. (Kami terkecoh oleh ulahmu, wahai
manusia) bertopeng imitasi. Dan (kini tanpa ragu kami mengecammu sebagai orang
yang telah) berkhianat (ke)pada nisan leluhur..
Celakalah
(kau), pencuri jantung bumi paikat. (Celakalah, kau yang) membiarkan teriakan
(kami) anak(-anak suku) Bukit (yang
kelelahan) menyahan (beban berat) kindai
dunia.
(Awas, jangan
salahkan kami, jika kami membuat perhitungan denganmu). (Awas), sebelum mentari
tenggelam (ke) dalam pakucuran kedurhakaan (kau harus berhenti melakukan
pembabatan hutan di tanah leluhur kami). Berhentilah (kalian) memburu manis
kesturi di (wilayah domestic kami, tempat di mana) biduk (kami meluncur
mengikuti arus sungai dari hilir ke muara atau sebaliknya melawan arus dari
muara ke hilir). (Berhentilah, kalian menjarah kekayaan alam tanah leluhur kami
yang tampak di atas tanah atau yang tersembunyi di dalam tanah di samping kiri
dan kanan tempat di mana kami membangun) rampa. (Tanah, air, udara, dan segala kekayaan alam
lainnya yang ada di sekeliling tempat kami) berdiri (semuanya, tanpa kecuali, adalah
milik kami anak-anak suku Dayak Meratus) (Sungguh aku dan kau sudah saling sepakat)
pada semua kenyataan yang sudah (saling) dimengerti.
(Sungguh),
aku (sangat) merindu)kan) (tampilnya anak-anak suku Dayak Meratus yang fasih) (me)nyanyi(k)an
lagu berjudul Nyanyian Bumi Paikat di belantara huma banuaku (ini).
Lapis
Dunia
Lapis
dunia merujuk kepada perasaan (feling), dan nada (tone). Perasaan (feeling)
merujuk kepada sikap penyair terhadap tema atau pokok pikiran yang
dikemukakannya. Nada (tone) merujuk kepada sikap penyair terhadap pembaca
puisinya. Pada lapis dunia inilah penyair memaparkan informasi implisit
menyangkut pelaku, latar, objek yang dikemukakan, dan dunia pengarang. Lapis
dunia tidak lain adalah realitas yang dilihat dari sudut pandang tertentu.
Lapis
dunia puisi NBP menggambarkan sikap pribadi penyairnya yang merasa prihatin
dengan semakin rusaknya lingkungan hidup di kampung halaman suku Dayak Meratus,
dan semakin banyaknya kearifan budaya local suku Dayak Meratus dan suku Banjar
di Kalsel yang terancam kepunahan. Penyair berharap para pembaca puisinya juga
mengambil sikap seperti dirinya yakni ikut prihatin dan berusaha ikut serta
dalam gerakan revitalisasi lingkungan hidup dan kearifan budaya local suku
Dayak Meratus dan suku Banjar di Kalsel.
Lapis
Metafisis
Lapis
metafisis merujuk kepada pengalaman imajiner (imagery), yakni segala sesuatu
yang menjadi bahan kontemplasi (renungan), seperti : sesuatu yang suci, sublim,
tragis, mengerikan, dan menakutkan. Menurut Pradopo (1999:15) tidak semua puisi
memiliki lapis metafisis.
Lapis
metafisis puisi NBP merujuk kepada pengalaman imajiner penyair yang merasa
prihatin dengan semakin parahnya kerusakan lingkungan hidup di kampung halaman
suku Dayak Meratus dan semakin banyaknya kearifan budaya local suku Dayak
Meratus dan suku Banjar di Kalsel yang terancam kepunahan.
---------------------------------------------------------------------
Tidak ada komentar:
Posting Komentar