Selasa, 22 Mei 2012

MENGUAK DIKSI YANG DAHSYAD DALAM PUISI ARIFFIN NOOR HASBY BERJUDUL KOTA YANG BERSIUL

Oleh Tajuddin Noor Ganie Dosen Mata Kuliah Kajian Puisi PBSID STKIP PGRI Banjarmasin

Ariffin Noor Hasby (ANH), mulai menulis puisi, dan esei sastra sejak tahun 1980-an. Publikasi puisinya tersebar di berbagai koran/majalah terbitan Banjarmasin, Yogyakarta, Jakarta, Bandar Seri Begawan, dan Jerman. Puisi-puisinya ikut dimuat dalam banyak antologi bersama. Tidak hanya yang terbit di kota-kota besar di Kalsel, seperti Banjarmasin, Banjarbaru, Tanjung, Kotabaru, Marabahan, dan Barabai, tetapi juga yang terbit di Samarinda dan Jakarta.

 Reputasinya sebagai sastrawan nasional sudah diresmikan tidak saja melalui forum-forum penting yang melibatkan dirinya, seperti Cakrawala Sastra Indonesia di TIM Jakarta (2005). Tetapi juga diresmikan melalui pemuatan biografi kesastrawanannya dalam sejumlah buku referensi sastra, seperti Leksikon Susastra Indonesia (Korie Layun Rampan, 2000), Buku Pintar Sastra Indonesia (Pamusuk Eneste, 2001), dan Ensiklopedi Sastra Indonesia (Hasanuddin WS dkk, 2007).

Terus terang, sebagai peminat puisi, saya sejak lama terpikat atau lebih tepatnya terbuai dengan diksi yang diolah ANH. Diksi dalam puisi-puisi ANH sangat unik, antik, istimewa, dan mengejutkan. Dalam hal ini saya sering menyebutnya sebagai diksi yang dahsyad.

Diksi adalah pemilihan kata-kata yang dilakukan oleh penyair dalam puisinya. Karena puisi adalah bentuk karya sastra yang dengan sedikit kata-kata dapat mengungkapkan banyak hal, Diksi menjadi begitu penting dalam proses kreatif penulisan puisi, karena setiap penyair dituntut oleh profesinya itu untuk selalu melakukan pemilihan, pemilahan, dan pengolahan kata-kata dengan secermat mungkin hingga ke taraf yang paling ekstrim.

Pemilihan kata dalam puisi berhubungan erat dengan tuntutan makna dan keselarasan bunyi. Pilihan kata akan mempengaruhi ketepatan makna dan keselarasan bunyi. Pemilihan kata berhubungan erat dengan latar belakang penyair. Semakin luas wawasan estetik penyairnya, maka akan semakin kaya dan berbobot kata-kata yang digunakannya. Kata-kata dalam puisi tidak hanya sekadar kata-kata yang dihafalkan, tetapi sudah mengandung pandangan hidup penyairnya. Penyair yang relegius akan menggunakan kosa kata yang berbeda dengan penyair yang sosialis. Penyair yang berasal dari Yogyakarta akan berbeda pilihan katanya dengan penyair yang berasal dari Tapanuli (Batak). Penyair yang berprofesi sebagai dokter akan berbeda pilihan katanya dengan penyair yang berprofesi sebagai anggota ABRI, guru, pedagang, pegawai negeri sipil, pengacara, pengusaha, polisi, tukang, atau profesi yang lainnya.

Tidak hanya itu, kata-kata dalam puisi juga mencerminkan situasi dan kondisi kejiwaan atau perasaan hati penyairnya ketika melakukan proses kreatif penulisan puisinya dimaksud, seperti bahagia, cemas, gelisah, kalut, khawatir, marah, resah, riang, takut, atau tegang. Penyair harus cermat memilih kata-kata dalam puisinya. Hal ini berkaitan dengan keberadaan bahasa dalam puisi yang kaya akan makna simbolik, bermakna konotatif, asosiatif, dan sugestif. Menurut Ganie (2009), Pradopo (1999:101), menyebut gejala semacam ini sebagai penyimpangan terhadap sistem tata bahasa normatif. Tidak hanya aturan tata bahasa yang disiati penyair, tetapi juga kosa kata baku bahasa Indonesia.

Pemilihan dan penyusunan kata-kata dilakukan oleh penyair dengan cara yang sedemikian rupa itu ditujukan untuk menimbulkan imaginasi estetik yang diinginkannya. Barfield (1952:54) menyebut kata-kata dengan muatan imaginasi estetik itu sebagai diksi puitis (dalam Pradopo, 1999:54). Jadi diksi menurut Pradopo (1999:54) dimaksudkan sebagai usaha penyair untuk mendapatkan kepuitisan atau untuk mendapatkan nilai estetik.

Menurut Ganie (2009), kosa kata yang memenuhi kriteria sebagai kosa kata bernilai estetik adalah kosa kata ambigu yang bermakna asosiatif, konotatif, dan sugestif. Demi mencapai tujuan agar dapat dengan setepat-tepatnya menjelmakan pengalaman jiwanya, maka seorang penyair tidak dapat tidak harus memilih dengan cermat kosa kata yang akan disusunnya ke dalam larik-larik puisi karangannya. Sekalipun pengalaman jiwanya itu bersifat personal, namun pengalaman jjiwa yang personal itu harus diekspresikan secara padat dan intens dengan mempergunakan sarana komunikasi puitis yang selaras dengan konvensi yang berlaku umum.

Pradopo (1999:54) menyarankan agar penyair mempertimbangkan perbedaan arti kata yang sekecil-kecilnya dengan sangat cermat. Bahasa yang dipergunakan penyair bersifat khusus. Penyair mungkin saja mempergunakan bahasa sehari-hari yang diberi makna baru. Dalam hal ini bahasa sehari-hari yang sudah diolah secara kreatif menjadi bahasa individual yang ekpresif (idiosycratic), yakni bahasa yang sudah mengalami pergantian makna, penyimpangan makna, dan sudah memiliki makna baru yang berbeda dengan makna asalnya. Bahasa puisi menjadi sulit dipahami makna muatan (denotatif) dan makna ikutannya (konotatif) karena dalam menulis puisi, seorang penyair tidak menitik-beratkan kepada kepentingan pragmatis fungsionalnya sebagai alat dalam praktik komunikasi yang informatif dan direktif, tetapi lebih menitik-beratkan kepada kepentingan estetisnya sebagai karya sastra yang kaya makna (ambigu).

KOTA YANG BERSIUL

kota yang bersiul di malam hari itu mengingatkanku pada rimba kenangan tanah leluhur yang memikul gemuruh peradaban bayang-bayang rindu yang biru menggenapkan makna perjalananku : sepi yang panjang sementara beribu catatan purba tentang riak budaya, pijar belantara dan misteri manusia seperti terbuka sendirian menantang wajah sejarah yang merah padam o, siapakah yang terjaga dalam barisan kata-kata yang bertulang itu cakrawala tak mengirimkan isyarat kepadaku walau kota senantiansa bersiul malam hari mengalunkan kesetiaan tak bosan-bosan entah mengapa aku tak juga dapat mengerti kapan suara itu tiba atau berangkat dari pintu pendengaran? FISIP Unlam, Agt 1987 (SKH Pelita Jakarta, Minggu, 13 September 1987)

Ditemukan sejumlah diksi yang dahsyad dalam kutipan teks puisi di atas, yakni.

1. kota yang bersiul malam hari, paduan diksi yang lajim untuk kota, antara lain kota kota besar, kota buaya (Surabaya), kota agung (Amuntai), kota idaman (Banjarbaru), kota cantik (Palangka Raya), kota damai, kota indah, dan kota wali (Cirebon). Paduan diksi yang lajim untuk bersiul antara lain bersiul riang, burung bersiul, atau Gunadi bersiul. ANH dalam puisi ini menggunakan paduan diksi kota yang bersiul. Kota dalam paduan diksi ini dipersonifikasikan menjadi manusia atau burung, hanya manusia atau burung saja yang bisa bersiul. Diksi kota yang bersiul merujuk kepada kota yang enak untuk ditinggali, siul merujuk kepada suara-suara yang enak didengar. Orang Indonesia yang paling merdu siulannya adalah Gunadi (saya pernah membeli kasetnya berjudul Gunadi bersiul).

2. (Bunyi siulan yang merdu dimaksud membuat aku lirik menjadi teringat kepada) rimba kenangan (di) tanah leluhur. Paduan diksi yang lajim untuk rimba antara lain rimba belantara, dan rimba raya. Paduan diksi yang lajim untuk kenangan antara lain kenangan indah, dan kenangan lama, ANH dalam puisi ini menggunakan paduan diksi rimba kenangan. Rimba merujuk kepada nomina dalam jumlah banyak (dalam konteks ini banyak ditumbuhi pepohonan aneka jenis). Rimba kenangan artinya banyak kenangan. Diksi kota yang bersiul dalam puisi ANH ini merujuk kepada kota yang penuh kenangan manis bagi aku lirik.

3. yang memikul gemuruh peradaban. Paduan diksi yang lajim untuk memikul antara lain memikul beban, memikul keranda. Paduan diksi yang lajim untuk gemuruh, antara lain bunyi gemuruh, dan gemuruh ombak. Paduan diksi yang lajim untuk peradaban antara lain peradaban manusia. ANH dalam puisi ini menggunakan paduan diksi memikul gemuruh peradaban. Memikul merujuk kepada beban yang harus ditanggung atau masalah yang harus diatasi. Gemuruh merujuk kepada segala sesuatu yang tidak menyenangkan (mengganggu pendengaran). Peradaban merujuk kepada segala seesuatu yang kompleks. Ini berarti diksi kota yang bersiul dalam puisi ANH ini merujuk kepada kota yang harus memikul beban yang sulit ditanggung yakni beban yang kompleks.

4. bayang-bayang rindu yang biru. Paduan diksi yang lajim untuk bayang-bayang antara lain bayang-bayang tubuhmu. Paduan diksi yang lajim untuk rindu antara lain sangat rindu, rindu dendam, atau rindu sekali. Paduan diksi yang lajim untuk biru antara lain film biru, langit biru, atau laut biru. ANH dalam puisi ini menggunakan paduan diksi bayang-bayang rindu yang biru. Diksi bayang-bayang merujuk kepada segala sesuatu yang diangan-angankan, sedangkan diksi rindu yang biru merujuk kepada hal-hal yang berkonotasi keindahan (bermakna kesuksesan).

5. menggenapkan makna perjalananku. Paduan diksi yang lajim untuk menggenapkan antara lain menggenapkan jumlah. Paduan diksi yang lajim untuk makna antara lain makna hidup, atau makna kata. Paduan diksi yang lajim untuk perjalanan antara lain perjalanan hidup, perjalanan jauh, atau perjalanan ke akhirat. ANH dalam puisi ini menggunakan paduan diksi menggenapkan perjalananku, diksi ini merujuk kepada fungsi bayang-bayang rindu yang biru sebagai sarana yang membuat perjalanan hidupnya menjadi lebih berarti.

6. sepi yang panjang. Paduan diksi yang lajim untuk sepi antara lain sangat sepi, atau sepi sekali. Paduan diksi yang lajim untuk panjang antara lain panjang sekali, atau sangat panjang. ANH dalam puisi ini menggunakan paduan diksi sepi yang panjang, diksi ini merujuk kepada situasi dan kondisi yang tidak menyenangkan yang berlangsung dalam waktu lama.

7. sementara beribu catatan purba/tentang riak budaya, pijar belantara/dan misteri manusia seperti terbuka sendirian. Paduan diksi yang lajim untuk catatan antara lain catatan harian. Paduan diksi yang lajim untuk purba antara lain hewan purba, manusia purba, atau masa purba. ANH dalam puisi ini menggunakan paduan diksi sementara beribu catatan purba yang merujuk kepada peristiwa bersejarah yang saling tumpang tindih satu sama lainnya itu (yakni riak budaya, pijar belantara, dan misteri manusia) sekarang ini tidak lagi bersifat rahasia karena telah terungkap dengan sendirinya.

8. menantang wajah sejarah yang merah padam. Paduan diksi yang lajim untuk sejarah antara lain sejarah daerah, sejarah dunia, sejarah hidup, atau sejarah nasional. Paduan diksi merah padam sudah lajim digunakan, yang tidak lajim adalah paduan diksi wajah sejarah yang merah padam sebagaimana yang digunakan oleh ANH dalam puisi ini. Paduan diksi ini merujuk kepada masa lalu yang tidak menyenangkan, masa lalu yang penuh dengan konflik berdarah.

9. o, siapakah yang terjaga/dalam barisan kata-kata yang bertulang itu. Paduan diksi yang lajim untuk barisan antara lain barisan pemadam kebakaran, atau barisan tentara. Paduan diksi yang lajim untuk bertulang antara lain lidah tak bertulang. ANH dalam puisi ini menggunakan paduan diksi barisan kata-kata bertulang. Paduan diksi ini merujuk kepada hukum tertulis (kata-kata) yang dipatuhi orang, karena ada kekuatan (aparatur penegak hukum) yang dapat memaksa semua orang untuk mematuhinya (tulang).

10. cakrawala tak mengirimkan isyarat kepadaku/Walau kota senantiansa bersiul malam hari/mengalunkan kesetiaan tak bosan-bosan. Paduan diksi yang lajim untuk cakrawala antara lain cakrawala biru, atau cakrawala pandang. Paduan diksi isyarat yang lajim antara lain isyarat alam. ANH dalam puisi ini menggunakan paduan diksi cakrawala tak mengirimkan isyarat padaku. Cakrawala dipersonifikasikan sebagai manusia, hanya manusia yang lajim mengirimkan isyarat (peringatan). Tidak ada orang yang mengirimkan isyarat (peringatan) kepada aku lirik. Suatu hal yang sulit dipahami aku lirik karena fakta yang ada menunjukkan bahwa kota tak pernah alpa mengirimkan isyarat-isyaratnya dalam bentuk siulan (walau kota senantiansa bersiul malam hari). Siulan dimaksud tak mungkin dialpakannya karena siulan dalam konteks puisi ini merupakan tanda kesetiaan yang harus selalu dijaga (mengalunkan kesetiaan tak bosan-bosan).

11. entah mengapa aku tak juga dapat mengerti/kapan suara itu tiba atau berangkat/dari pintu pendengaran?. Paduan diksi yang lajim untuk suara antara lain suara bising, suara gaduh, suara merdu, atau suara sember. Paduan diksi yang lajim untuk pintu adalah daun pintu, pintu belakang, pintu depan, pintu gerbang, pintu hati, atau pintu tengah. ANH dalam puisi ini menggunakan paduan diksi suara tiba, artinya suara menjelma, (suara) berangkat, artinya suara hilang. Paduan diksi pintu pendengaran merujuk kepada telinga. Suara yang dimaksud dalam konteks puisi ini adalah suara yang menyenangkan (siulan kota) untuk didengarkan. Aku lirik mencemaskan datangnya saat-saat dimana suara dimaksud (entah kapan akan) hilang dari pendengarannya (berangkat dari pintu pendengaran).

Masih banyak puisi-puisi ANH yang lain yang juga mengangkat tema perkotaan sebagaimana halnya puisi Kota yang Bersiul. Jumlah tidak kurang dari 15 judul, yakni Aku Dengan Engkau Berkata, Bahasa Kota, Deru Kota, Ekstase Kota, Episode Kota Tua, Irama Kota, Irama Matahari, Kabar, Kesaksian, Kota Sungai, Lanskap Kota, Membaca Pikiran Kota, Sajak Pejalan Kaki, Sajak tentang Kota, dan Tentang Hujan.

Semua puisi dimaksud juga sarat dimuati dengan diksi-diksi yang dahsyad khas ANH. Insya Allah dalam waktu dekat ANH akan meluncurkan antologi puisinya berjudul Kota yang Bersiul. Didalamnya akan dimuat puisi-puisi terbaik ANH yang ditulisnya sepanjang tahun 1980-2010.

Senin, 30 April 2012

CINTA DI TEPI GEUMHO

Judul Buku : Cinta di Tepi Geumho
Pengarang : Mahmud Jauhari Ali
Penerbit : Penerbit Araska Yogyakarta
Tebal Buku : 143+V halaman Tahun : 2012

Citra bangsa Korea Selatan sebagai salah satu bangsa yang unggul di dunia telah semakin mantap mengkristal. Lihatlah bagaimana orang-orang di segenap penjuru dunia begitu tergila-gila dengan Korea Pop. Para bintang film dan penyanyi Korea Selatan telah menjadi idola baru yang membuat para muda-mudi menjadi histeris setiap kali menyambut kedatangan mereka di bandar udara atau ketika menyaksikan mereka beraksi di panggung-panggung yang glamor. Mobil-mobil terbaru produksi Korea Selatan semakin hari semakin merajalela memadati segenap jalan raya dan jalan tol di manca negara termasuk di Amerika Serikat. Ilmu bela diri Korea Selatan, yakni Taekwondo, telah dipelajari orang di mana-mana. Kampus-kampus terkemuka di belahan dunia seolah-olah berlomba menyediakan tempat dan fasilitas pendukung lainnya untuk menampung buku-buku berbahasa Korea atau berbahasa Inggeris yang mengupas tentang keunggulan bangsa Korea Selatan. Semuanya menjadi semakin mantap lagi ketika 2 orang putra terbaik bangsa Korea Selatan berhasil menduduki tampuk kepemimpinan sebagai Sekjen PBB (Ban Ki Mon) dan Direktur Bank Dunia (Jim Yong Kim, warga Negara Amerika Serikat keturunan Korea Selatan) mengalahkan calon dari Indonesia yang sempat santer disebut-sebut Sri Muljani Indrawati. Fenomena semacam itu ternyata juga menggejala dengan sangat kuatnya (signifikan) di kalangan para penulis karya sastra populer di tanah air kita. Ratusan atau bahkan ribuan novel popular bertema Korea Selatan telah ditulis dan diterbitkan orang di tanah air kita. Semakin lama tren ini bukannya semakin menyurut sebaliknya malah semakin menanjak. Boming novel populer bertema Korea Selatan ini rupa-rupanya telah menggugah energi kreatif sastrawan Kalsel Mahmud Jauhari Ali (MJA), tanpa gembar-gembor ia telah berhasil menyelesaikan novelnya berjudul Cinta di tepi Geumho (CdtG). Beruntung, Penerbit Araska Yogyakarta kemudian bersedia menerbitkannya dan menyebar-luaskannya ke seluruh Indonesia, termasuk ke kota Banjarmasin (novel ini antara lain dipajang di Toko Buku Gramedia Veteran Banjarmasin dan Gramedia Duta Mall Banjarmasin). Sungguh, ini prestasi anak banua yang patut dirayakan. Novel CdtG bercerita tentang kisah cinta antara Son Chae Hyang (SCH) dan Muhammad Kim Jun So (MKJS). SCH adalah seorang gadis muslimat berkebangsaan Korea Selatan. Wajahnya cantik, secantik bintang filem Song Hye Kyo. Tuntutan tugasnya sebagai peneliti muda di bidang bahasa membuatnya harus datang ke desa Kuripan, Barito Kuala, Kalsel. Sementara itu JS adalah seorang jejaka berusia 24 tahun, ia seorang blasteran, ayahnya seorang peneliti berasal dari Korea Selatan dan ibunya orang Dayak Ngaju. Wajahnya tampan, lebih tampan dibandingkan dengan bintang film Won Bin Sebelum bertemu dengan SCH, MKJS sudah dua kali mengunjungi Korea Selatan untuk bertemu dengan kakek, nenek, paman, bibi, dan saudara sepupunya yang tinggal di Daego. Ia adalah seorang atlet Taekwondo yang pernah mengukir prestasi membanggakan sebagai peraih medali emas di Olimpiade 2008.. Piala kemenangan MKJS sebagai atlet Taekwondo berprestasi tingkat dunia itu masih disimpan di ruang guru Madrasah Aliyah Kuripan. Gara-gara piala itulah SCH tertarik untuk bertemu MKJS. Selain melakukan penelitian, SCH juga berkenan menjadi guru bahasa Inggeris di Madrasah Aliyah Kuripan (di madrasah inilah MKJS dulu menuntut ilmu). Setelah bertemu keduanya lalu saling jatuh cinta. Ketika bertemu SCH, MJKS sedang ada masalah dengan kedua kakinya, dua tahun yang lalu ia mengalami kecelakaan fatal, sepeda motornya tanpa sengaja masuk kedalam kubangan besar di tengah jalan desa yang dilaluinya, akibatnya sudah dua tahun ia harus mengurung diri di rumah karena kakinya tak bisa digunakan untuk berjalan. Kemana-mana ia harus menggunakan kursi roda. Namun, kecelakaan itu rupanya membawa hikmah tersendiri baginya karena ia bisa menggunakan seluruh waktunya untuk menyelesaikan penulisan bukunya berjudul Taekwondo dan Kebudayaan Korea di Kalimantan Selatan (ditulis dengan huruf hanguel dan dalam bahasa Korea Selatan). Buku dimaksud kemudian diterbitkan oleh Penerbit Woongjin.com di Seoul. Pihak penerbit sangat antusias dengan buku karangan MJKS ini karena orang Korea Selatan juga gemar membaca buku-buku yang berisi cerita tentang sambutan hangat yang diberikan oleh khalayak ramai di mancanegara atas kebudayaan Korea Selatan. Sama seperti halnya dengan bangsa Indonesia, bangsa Korea Selatan rupanya juga memiliki sisi-sisi narsis kolektif yang manusiawi. Hehehe. Setelah menyelesaikan penelitiannya, SCH pulang kembali ke Korea Selatan, tepatnya ke Jangho. Baik SCH maupun MJKS saling memendam rindu. Tapi apa daya, mereka terpisah jarak yang begitu jauh. SCH mencoba membuka kontak dengan MJKS melalui komentar-komentarnya di bawah tulisan-tulisan MJKS yang ada di blog. MJKS juga mencoba menghubungi SCH melalui nomor ponselnya, tapi tak pernah ada jawaban. Tidak berselang lama MJKS diundang ke Korea Selatan, bukunya ternyata laris manis Ia diundang untuk memberikan ceramah di berbagai kampus terkemuka di Korea Selatan. Sangat disayangkan meskipun sudah berada di Korea Selatan, MJKS tak kunjung bisa menghubungi SCH, padahal ia ingin sekali bertemu dengan SCH. Pada saat hatinya tengah galau begitu, MJKS berkenalan dengan Shi Yu Jeon (SYJ) yang tidak lain adalah sepupunya sendiri. SYJ berwajah cantik dan berprofesi sebagai seorang dokter spesialis tulang. Sejak hari pertama kedatangannya di di Korea Selatan MJKS dirawat dan dilatih oleh SYJ. Berkat perawatan dan latihan yang diberikan SYJ, ada kemajuan dengan kaki MJKS, ia sudah mulai bisa berjalan. Diam-diam SYJ ternyata mencintai MJKS. Pertanyaannya sekarang, apakah hubungan cinta MJKS dengan SCH akan putus di tengah jalan, dan apakah SYJ berhasil menempati ruang dalam di hati MJKS sebagai pengganti SCH? Jika anda penasaran akan lebiuh baik jika anda membaca sendiri novel karya anak banua ini (Tajuddin Noor Ganie, M. Pd). Berita 2 CINTA DI TEPI GEUMHO Judul Buku : Cinta di Tepi Geumho Pengarang : Mahmud Jauhari Ali Penerbit : Penerbit Araska Yogyakarta Tebal Buku : 143+V halaman Tahun : 2012 Citra bangsa Korea Selatan sebagai salah satu bangsa yang unggul di dunia telah semakin mantap mengkristal. Lihatlah bagaimana orang-orang di segenap penjuru dunia begitu tergila-gila dengan Korea Pop. Para bintang film dan penyanyi Korea Selatan telah menjadi idola baru yang membuat para muda-mudi menjadi histeris setiap kali menyambut kedatangan mereka di bandar udara atau ketika menyaksikan mereka beraksi di panggung-panggung yang glamor. Mobil-mobil terbaru produksi Korea Selatan semakin hari semakin merajalela memadati segenap jalan raya dan jalan tol di manca negara termasuk di Amerika Serikat. Ilmu bela diri Korea Selatan, yakni Taekwondo, telah dipelajari orang di mana-mana. Kampus-kampus terkemuka di belahan dunia seolah-olah berlomba menyediakan tempat dan fasilitas pendukung lainnya untuk menampung buku-buku berbahasa Korea atau berbahasa Inggeris yang mengupas tentang keunggulan bangsa Korea Selatan. Semuanya menjadi semakin mantap lagi ketika 2 orang putra terbaik bangsa Korea Selatan berhasil menduduki tampuk kepemimpinan sebagai Sekjen PBB (Ban Ki Mon) dan Direktur Bank Dunia (Jim Yong Kim, warga Negara Amerika Serikat keturunan Korea Selatan) mengalahkan calon dari Indonesia yang sempat santer disebut-sebut Sri Muljani Indrawati. Fenomena semacam itu ternyata juga menggejala dengan sangat kuatnya (signifikan) di kalangan para penulis karya sastra populer di tanah air kita. Ratusan atau bahkan ribuan novel popular bertema Korea Selatan telah ditulis dan diterbitkan orang di tanah air kita. Semakin lama tren ini bukannya semakin menyurut sebaliknya malah semakin menanjak. Boming novel populer bertema Korea Selatan ini rupa-rupanya telah menggugah energi kreatif sastrawan Kalsel Mahmud Jauhari Ali (MJA), tanpa gembar-gembor ia telah berhasil menyelesaikan novelnya berjudul Cinta di tepi Geumho (CdtG). Beruntung, Penerbit Araska Yogyakarta kemudian bersedia menerbitkannya dan menyebar-luaskannya ke seluruh Indonesia. Saya lihat buku ini dipajang di Toko Buku Gramedia Veteran Banjar dan Gramedia Duta Mall Banjarmasin. Sungguh, ini prestasi anak banua yang patut dirayakan. Novel CdtG bercerita tentang kisah cinta antara Son Chae Hyang (SCH) dan Muhammad Kim Jun So (MKJS). SCH adalah seorang gadis muslimat berkebangsaan Korea Selatan. Wajahnya cantik, secantik bintang filem Song Hye Kyo. Tuntutan tugasnya sebagai peneliti muda di bidang bahasa membuatnya harus datang ke desa Kuripan, Barito Kuala, Kalsel. Sementara itu JS adalah seorang jejaka berusia 24 tahun, ia seorang blasteran, ayahnya seorang peneliti berasal dari Korea Selatan dan ibunya orang Dayak Ngaju. Wajahnya tampan, lebih tampan dibandingkan dengan bintang film Won Bin Sebelum bertemu dengan SCH, MKJS sudah dua kali mengunjungi Korea Selatan untuk bertemu dengan kakek, nenek, paman, bibi, dan saudara sepupunya yang tinggal di Daego. Ia adalah seorang atlet Taekwondo yang pernah mengukir prestasi membanggakan sebagai peraih medali emas di Olimpiade 2008.. Piala kemenangan MKJS sebagai atlet Taekwondo berprestasi tingkat dunia itu masih disimpan di ruang guru Madrasah Aliyah Kuripan. Gara-gara piala itulah SCH tertarik untuk bertemu MKJS. Selain melakukan penelitian, SCH juga berkenan menjadi guru bahasa Inggeris di Madrasah Aliyah Kuripan (di madrasah inilah MKJS dulu menuntut ilmu). Setelah bertemu keduanya lalu saling jatuh cinta. Ketika bertemu SCH, MJKS sedang ada masalah dengan kedua kakinya, dua tahun yang lalu ia mengalami kecelakaan fatal, sepeda motornya tanpa sengaja masuk kedalam kubangan besar di tengah jalan desa yang dilaluinya, akibatnya sudah dua tahun ia harus mengurung diri di rumah karena kakinya tak bisa digunakan untuk berjalan. Kemana-mana ia harus menggunakan kursi roda. Namun, kecelakaan itu rupanya membawa hikmah tersendiri baginya karena ia bisa menggunakan seluruh waktunya untuk menyelesaikan penulisan bukunya berjudul Taekwondo dan Kebudayaan Korea di Kalimantan Selatan (ditulis dengan huruf hanguel dan dalam bahasa Korea Selatan). Buku dimaksud kemudian diterbitkan oleh Penerbit Woongjin.com di Seoul. Pihak penerbit sangat antusias dengan buku karangan MJKS ini karena orang Korea Selatan juga gemar membaca buku-buku yang berisi cerita tentang sambutan hangat yang diberikan oleh khalayak ramai di mancanegara atas kebudayaan Korea Selatan. Sama seperti halnya dengan bangsa Indonesia, bangsa Korea Selatan rupanya juga memiliki sisi-sisi narsis kolektif yang manusiawi. Hehehe. Setelah menyelesaikan penelitiannya, SCH pulang kembali ke Korea Selatan, tepatnya ke Jangho. Baik SCH maupun MJKS saling memendam rindu. Tapi apa daya, mereka terpisah jarak yang begitu jauh. SCH mencoba membuka kontak dengan MJKS melalui komentar-komentarnya di bawah tulisan-tulisan MJKS yang ada di blog. MJKS juga mencoba menghubungi SCH melalui nomor ponselnya, tapi tak pernah ada jawaban. Belakangan baru diketahui bahwa ponsel SCH telah hilang ketika ia melakukan penelitian di desa Kuripan dulu. Tidak berselang lama MJKS diundang ke Korea Selatan, bukunya ternyata laris manis Ia diundang untuk memberikan ceramah di berbagai kampus terkemuka di Korea Selatan. Di Korea Selatan MJKS bertemu dengan Shi Yu Jeon (SYJ) yang tidak lain adalah sepupunya sendiri. SYJ berwajah cantik dan berprofesi sebagai seorang dokter spesialis tulang. Sejak hari pertama kedatangannya di di Korea Selatan MJKS dirawat dan dilatih oleh SYJ. Berkat perawatan dan latihan yang diberikan SYJ, ada kemajuan dengan kaki MJKS, oa sudah mulai bisa berjalan. Ketika berada di Seoul, MJKS menerima pesan dari Kepala Madrasah Aliyah Kuripan bahwa ada seseorang menemukan ponsel milik SCH. MJKS meminta pak kepala madrasah untuk mengirimkan semua nomor kontak yang ada di dalam ponsel SCH. Berkat nomor kontak itulah MJKS berhasil mengontak SCH. Ternyata SJH juga sedang berada di Seoul. Mereka akhirnya bertemu di Universitas Nasional Seoul. Tapi, tak berselang lama terjadi konflik antara SCH dan SYJ. SCH yang dibakar cemburu lantas meninggalkan pertemuan dengan sikap tak bersahabat, MJKS berulang kali menghubunginya, tapi tak pernah dibalasnya. Lama baru SCH mau membalas sms yang dikirimkan MJKS. Tapi, konflik belum berakhir, SYJ secara sepihak mengklaim bahwa dirinya telah dijodohkan dengan MJKS oleh orang tua mereka masing-masing. Hal ini disampaikan langsung oleh SYJ yang datang menemui SCH di tempat kerjanya. SYJ meminta agar SCH menjauhi MJKS. SCH pingsan mendengarnya dan harus dirawat beberapa hari di rumah sakit. SMKS merasa heran dengan sikap SCH yang tak mau membalas kontaknya, Namun, dalam suatu kesempatan berbalas sms dengan SCH, MJKS mengetahui bahwa SYJ telah mengklaim dirinya sebagai tunangan MJKS, itulah sebabnya mengapa SCH bersikap mengambil jarak dengannya. Belakangan MJKS berhasil memaksa SYJ mengakui perbuatannya dan meminta maaf kepada MJKS. MJKS bersedia memaafkan dengan syarat SYJ mau mengantarkannya menemui SCH di kantornya. Tapi, SCH menolak kedatangan mereka. Demi menebus kesalahannya SYJ berusaha untuk menemui SCH, gagal bertemu di kantor, SYJ menemui SCH di rumah orang tuanya di desa Jangho. SYJ mengakui kebohongan klaimnya tempo hari, SCH memaafkannya. Keduanya lalu saling berangkulan sebagaimana layaknya dua sahabat. Cerita berakhir bahagia, MJKS menikahi SCH, kakinya pulih seperti sedia kala, dan ia diterimna mengajar sebagai dosen bahasa Indonesia di Universitas Yonsei.Pernikahan MJKS dan SCH dilangsungkan di tepi Sungai Geumho sebagaimana yang selama ini diimpikan oleh MJKS. Selain alurnya, CdtG juga menarik karena didalamnya pengarang begitu banyak menggambarkan keindahan tempat-tempat di Korea Selatan, permakaian bahasa Korea Selatan yang digunakan para tokoh cerita ketika mereka berdialog satu sama lain sangat menghidupkan suasana cerita. Konfliknya dijalin dengan sangat cermat. Konon, dalam waktu dekat novel MJA yang lain akan segera diluncurkan oleh penerbit yang sama. Berita ini menyiratkan bahwa novel MJA yang tengah diresensi ini telah menuai sukses besar secara financial sehingga penerbitnya tanpa ragu menerbitkan novel MJA berikutnya. Salam sukses buat MJA (Tajuddin Noor Ganie, M.Pd).

Senin, 13 Februari 2012

REVIEW BUKU NOVEL SEJARAH TENTANG MASJID SULTAN SURIANSYAH

Judul Buku : Tegaknya Masjid Kami
Genre : Novel Sejarah
Pengarang : Tajuddin Noor Ganie
Penerbit : Tuas Media Kertak Hanyar
Tahun Terbit : 2011
Tebal Buku : 56+xi

Tidak lama setelah mengucapkan sabda pandita ratu bahwa yang berhak menggantikannya kelak bukanlah anaknya Pangeran Temenggung tapi adalah cucunya Pangeran Samudera, Maharaja Sukarama raja di raja Tanah Banjar yang berkuasa di Kerajaan Negara Daha meninggal dunia karena usia tua.
Ketika Maharaja Sukamara meninggal dunia, Pangeran Temengung yang jauh lebih berpengalaman sebagai seorang politikus, dengan mudah berhasil menguasai keadaan. Dalam tempo singkat ia berhasil menguasai komando atas armada perang dan semua sektor vital lainnya yang memungkinkannya dapat berkuasa secara mutlak di Kerajaan Negara Daha.
Pangeran Samudera yang sudah kalah segala-galanya terpaksa menyetujui saran Patih Arya Taranggana untuk pergi meninggalkan Istana Daha secara diam-diam guna menyelamatkan dirinya dari ancaman pembunuhan yang akan dilakukan oleh kaki-tangan Pangeran Temengung.
Pangeran Samudera segera pergi meninggalkan Istana Daha dengan cara mengayuh perahu sendirian. Sejak Pangeran Temenggung berkuasa secara tidak sah di Kerajaan Negara Daha, maka Pangeran Samudera terpaksa hidup dengan cara menyamarkan diri sebagai seorang nelayan sungai bernama Samidri di daerah Muara Banjar. Daerah Muara Banjar ketika itu diperintah oleh Patih Masih.
Pangeran Samudera sengaja pergi ke daerah Muara Banjar karena menurut informasi intelijen, Patih Masih adalah seorang kepala daerah yang tetap setia kepada sabda pandita ratu Maharaja Sukamara.
Dalam suatu kesempatan ia berkenalan dengan Patih Masih. Begitu mengetahui bahwa Samidri tidak lain adalah Pangeran Samudera, maka Patih Masih kemudian menobatkannya sebagai raja di raja Tanah Banjar, yakni sebagai tandingan Pangeran Temenggung.
Begitu mengetahui bahwa Pangeran Samudera sudah dinobatkan sebagai raja tandingan di Muara Banjar, maka Pangeran Temenggung segera mengirimkan armada perangnya untuk menggempur Muara Banjar yang dijadikan sebagai pusat pemerintahan oleh Pangeran Samudera.
Begitulah, perang saudara antara pasukan perang yang setia kepada Pangeran Temenggung melawan pasukan yang setia kepada Pangeran Samudera segera pecah dan berlangsung dalam suasana panas sehingga banyak menimbulkan korban di kedua belah pihak.
Atas saran Patih Masih, Pangeran Samudera kemudian meminta bantuan pasukan perang kepada Sultan Terenggono raja di raja di tanah Jawa. Sultan Terenggono bersedia memberikan bantuan pasukan perang dengan syarat Pangeran Samudera bersedia memeluk agama Islam jika kelak berhasil mengalahkan Pangeran Temenggung dalam perang saudara itu.
Syarat itu diajukan berkaitan dengan status Sultan Terenggono yang ketika itu adalah raja yang berkuasa di Kerajaan Demak, yakni Kerajaan Islam yang baru saja berhasil menggusur kekuasaan Kerajaan Majapahit atas Tanah Jawa dan sekitarnya.
Pangeran Samudera menyetujui syarat itu, Sultan Terenggono segera mengirimkan pasukan perangnya di bawah komando Khatib Dayan, seorang panglima perang yang selain dikenal tangguh sebagai juru perang juga dikenal tangguh sebagai seorang juru dakwah.
Selain dibantu oleh pasukan perang dari luar negeri, Pangeran Samudera juga dibantu oleh para tokoh sakti mandraguna yang berasal dari Tanah Banjar sendiri, seperti : Patih Masih, Patih Muhur, Patih Mahit, Patih Balit, Panimba Sagara, Pambalah Batung, Garuntung Manau, Garuntung Waluh, Aria Malangkan, dan Awi Tadung (tentang apa dan siapa Awi Tadung diceritakan secara khusus dalam cerita bersambung ini).
Takdir ternyata memang berpihak kepada Pangeran Samudera, ia berhasil mengalahkan Pangeran Temenggung. Pada mulanya Pangeran Temenggung dijatuhi hukuman mati, tetapi hukumannya kemudian diubah menjadi hukuman pengasingan. Pangeran Samudera sendiri kemudian memproklamasikan berdirinya Kerajaan Banjar, sebuah kerajaan yang roda pemerintahannya dijalankan berdasarkan syariat Islam.
Memang, sesuai dengan janjinya kepada Sultan Terenggono, Pangeran Samudera segera memeluk agama Islam dan menjadikan agama Islam sebagai agama resmi di Kerajaan Banjar. Sejak itu Pangeran Samudera resmi mempergunakan nama Sultan Suriansyah.
Beberapa bulan setelah Kerajaan Banjar didirikan, Khatib Dayan menyarankan agar Sultan Suriansyah mendirikan sebuah masjid di pusat kota Muara Banjar. Saran itu disambut baik oleh Sultan Suriansyah.
Sultan Suriansyah kemudian menyelenggarakan sayembara pencarian empat batang kayu ulin yang akan dijadikan sebagai tiang guru masjid. Agar orang tergiur untuk mengikutinya, maka hadiah yang dijanjikan dalam sayembara itu sengaja ditetapkan dalam bentuk uang yang jumlahnya sangat besar.
Peserta sayembara yang pertama pertama terdiri dari dua orang bersaudara kembar, yakni Sutakil dan Sutakul, warga desa Mantuil. Kedunya pergi mencari kayu ulin dimaksud ke Pulau Kaget, sebuah pulau yang terletak di muara Sungai Barito yang terkenal angker karena pulau ini konon dijaga oleh sepasang jin kapir bernama Maskabal dan Maskabil.
Di Pulau Kaget ini mereka berhasil menemukan dan menebang dua batang kayu ulin yang memenuhi syarat untuk dijadikan sebagai tiang guru masjid. Tapi, keduanya terpaksa menerima nasib buruk, tubuh keduanya berubah wujud menjadi dua ekor naga setelah mereka memakan potongan bekas tebangan pohon ulin yang bila dibakar akan mengeluarkan bau daging dan ketika dimakan rasanya juga enak seperti daging bakar.
Ternyata potongan bekas tebangan pohon ulin yang mereka makan dimaksud tidak lain adalah perangkap maut yang sengaja dipasang oleh pasangan jin kapir Maskabal dan Maskabil yang menjadi penunggu Pulau Kaget.
Setelah berubah wujud menjadi dua ekor naga, Sutakil dan Sutakul lantas saling menyalahkan satu sama lain, selanjutnya keduanya lalu saling berkelahi. Akibat perkelahian itu, maka Sungai Barito pun bergelora, gelombang besar yang ditimbulkannya memporak-porandakan pemukiman penduduk yang tinggal di tepi kiri dan kanan Sungai Barito.
Mereka baru berhenti berkelahi setelah dilerai oleh Panimba Sagara, Pambalah Batung, Garuntung Manau, dan Garuntung Waluh (Menteri Empat di Kerajaan Banjar) yang datang ke tempat kejadian perkara atas perintah langsung dari Sultan Suriansyah.
Setelah mengetahui duduk persoalan yang sebenarnya, Panimba Sagara bersedia memulihkan wujud Sutakil dan Sutakul. Syaratnya, pemulihan wujud dimaksud baru dilakukan setelah naga jelmaan Sutakil dan Sutakul berhasil menggiring rakit bambu berisi muatan dua batang kayu ulin tebangannya hingga sampai ke lokasi pembangunan masjid.
Selain itu hadiah uang yang nantinya akan mereka terima dari Sultan Suriansyah juga harus dibagi dua. Satu bagian untuk mereka berdua, dan satu bagian lainnya diberikan kepada warga desa sebagai pengganti bangunan rumahnya yang hancur porak-poranda terkena gelombang besar Sungai Barito yang bergelora akibat perkelahian mereka berdua.
Sutakil dan Sutakul bersedia menerima syarat itu karena memang tidak ada pilihan lain. Wujud Sutakil dan Sutakul segera dipulihkan kembali setelah rakit bambu berisi muatan dua batang kayu ulin dimaksud tiba di tempat yang dituju, dan setelah Panimba Sagara berhasil menaklukan jin kapir Maskabal dan Maskabil.
Peserta sayembara yang ke-dua terdiri dari tiga orang bersaudara, yakni : Lamitak, Lamitik, dan lamituk, warga Kampung Taniran. Ketiganya pergi mencari kayu ulin dimaksud ke hutan di kaki Gunung Maratus yang terkenal angker karena banyak dihuni siluman macan.
Di kaki Gunung Maratus ini mereka berhasil menemukan dan menebang dua batang kayu ulin yang memenuhi syarat untuk dijadikan sebagai tiang guru masjid. Tapi, keberhasilan itu harus dibayar mahal dengan hilangnya nyawa Lamitik dan Lamituk di tangan macan siluman bernama Saguisik dan Saguisik yang sengaja mengubah wujudnya menjadi dua orang wanita cantik yang sangat menggoda birahi.
Hanya Lamitak saja yang selamat, karena ia memang bersikap lebih waspada dibandingkan dengan dua orang saudaranya. Lamitak tidak bersedia memakan kue ketan yang disuguhkan oleh Saguisak, wanita ke-satu yang juga adalah jelmaan dari seekor macan siluman sebagaimana halnya wanita ke-dua Saguisik dan wanita ke-tiga Saguisuk yang berhasil memperdaya Lamitik dan Lamituk.
Lamitak kemudian diselamatkan oleh ayahnya yang sengaja datang bersama-sama dengan sejumlah penduduk Kampung Taniran lainnya ke tempat di mana Lamitak bersaudara mencari pohon kayu ulin di kaki Gunung Maratus.
Tidak hanya itu, ayah Lamitak juga berhasil membalaskan dendamnya atas kematian dua orang anaknya. Ia berhasil membunuh tiga macan siluman itu dengan kekuatan magis yang mengalir dari mulutnya yang komat-kamit membaca mantera pemusnah macan siluman.
Ayah Lamitak ini pula yang dengan bantuan tenaga yang diberikan oleh warga sekampungnya berhasil membawa pulang dua batang kayu ulin hasil tebangan anak-anaknya.
Setelah Lamitak sembuh dari sakitnya, dua batang kayu ulin itu pun mereka muat ke dalam dua buah rakit bambu yang sengaja dibuat untuk membawanya melalui jalur sungai dari Kampung Taniran menuju kota Muara Banjar.
Sesampainya di kota Muara Banjar dua batang kayu ulin itu diserahkan oleh Lamitak kepada panitia pembangunan masjid, dan sesuai dengan janjinya maka Sultan Suriansyah pun memberi Lamitak hadiah uang dalam jumlah yang sangat besar.
Tapi, meskipun empat batang kayu ulin untuk tiang gurunya sudah berhasil diperoleh. Namun, pembangunan masjid dimaksud tidak bisa langsung dimulainya. Menteri Empat Kerajaan Banjar yang terkenal sebagai empat punggawa yang sakti mandraguna, yakni Panimba Sagara, Pambalah Batung, Garuntung Manau dan Garuntung Waluh tiba-tiba menghilang dari tempat kediaman resmi mereka masing-masing.
Pemancangan tiang guru masjid terpaksa ditunda, karena tanpa bantuan ilmu kedigjayaan yang dimiliki oleh mereka berempat maka mustahil tiang guru masjid dimaksud akan dapat dipancangkan dengan mudah sebagaimana mestinya.
Selidik punya selidik, ternyata Menteri Empat Kerajaan Banjar itu sengaja pergi secara bersama-sama meninggalkan tempat kediaman resmi mereka masing-masing karena mereka tidak puas dengan keputusan Sultan Suriansyah memeluk agama Islam dan menjadikan agama Islam sebagai agama resmi di Kerajaan Banjar.
Hal ini mengingat keputusan Sultan Suriansyah itu dengan sendirinya telah menggusur status terhormat agama nenek moyang mereka. Selama ini agama nenek moyang yang mereka anut selalu dijadikan sebagai agama resmi dari semua kerajaan yang pernah ada di Tanah Banjar. Baik pada masa pemerintahan dinasti Kerajaan Negara Dipa, maupun pada masa pemerintahan dinasti Kerajaan Negara Daha.
“Pada mulanya kita bertempur untuk menegakkan sabda pandita ratu junjungan kita mendiang Maharaja Sukarama. Ironisnya, setelah sabda pandita ratu mendiang Maharaja Sukarama berhasil kita tegakkan, kita justru kehilangan kesempatan mempertahankan agama kita sebagai agama resmi kerajaan.” ujar Panimba Sagara.
Panimba Sagara dan kawan-kawannya sesama Menteri Empat yang menjadi anggota dalam musyawarah pucuk pimpinan di Kerajaan Banjar dengan terus terang mengatakan bahwa mereka telah merasa sia-sia berjuang menegakkan sabda pandita ratu Maharaja Sukarama. Bahkan, lebih dari pada itu mereka berempat merasa telah berbuat dosa yang sangat besar karena telah memberi peluang kepada agama Islam untuk menempati status sebagai agama resmi kerajaan (status yang selama ini ditempati oleh agama nenek moyang mereka).
Setelah melalui pendekatan dari hati ke hati yang dilakukan sendiri oleh Sultan Suriansyah, kemelut politik di Kerajaan Banjar itupun akhirnya berhasil diselesaikan dengan happy ending. Panimba Sagara dan kawan-kawannya bersedia memenuhi panggilan pulang yang disampaikan secara langsung oleh Sultan Suriansyah sendiri. Tidak hanya itu, meskipun tetap memeluk agama nenek moyangnya, mereka berempat bersedia menyumbangkan tenaga sakti yang mereka miliki untuk memancangkan tiang guru masjid yang dibangun oleh Sultan Suriansyah.
Namun, meskipun keempat tiang guru masjid telah berhasil dipancangkan sebagaimana yang direncanakan. Ternyata masih ada masalah yang harus segera diselesaikan. Semua tiang guru masjid yang telah berhasil dipancangkan itu pada suatu malam telah roboh semua tanpa diketahui sebab musababnya.
Selidik punya selidik ternyata semuanya itu adalah akibat ulah buaya siluman berwarna hitam yang sengaja disuruh oleh Pangeran Temenggung untuk merobohkan tiang guru masjid dimaksud.
Rupanya, Pangeran Temenggung yang ketika itu tengah menjalani kehidupan sebagai orang yang dikalahkan di daerah pengasingannya, masih menaruh dendam kepada Sultan Suriansyah, sehingga ia selalu berusaha untuk mengganggu keamanan dan ketertiban di Kerajaan Banjar.
Buaya siluman berwarna hitam itu berhasil dibunuh oleh Ning Kurungan seekor buaya siluman berwarna kuning yang bersahabat baik dengan Panimba Sagara. Setelah buaya siluman berwarna hitam berhasil dibunuh oleh buaya siluman berwarna kuning, maka pembangunan masjid di pusat kota Muara Banjar itu bisa dilakukan tanpa hambatan sama sekali. Hingga dalam tempo singkat pembangunan masjid dimaksud bisa diselesaikan sebagaimana mestinya.
Belakangan baru diketahui bahwa Pangeran Temenggung tidak hanya menjadi aktor intelektual dalam kasus perusakan tiang guru masjid oleh buaya siluman berwarna hitam ini saja. Tapi juga menjadi aktor intelektual yang dulu menyuruh jin kapir Maskabal dan Maskabil dalam kasus Pulau kaget yang membuat Sutakil dan Sutakul sempat berubah wujud menjadi dua ekor naga. Tidak hanya itu, Pangeran Temenggung ini pula yang menjadi aktor intelektual yang menyuruh macan siluman Saguisak, Saguisik dan Saguisuk dalam kasus pembunuhan Lamitik dan Lamituk di kaki Gunung Maratus
Memang, buaya siluman berwarna hitam, jin kapir Maskabal dan Maskabil, berikut tiga macan betina Saguisak, Saguisik dan Saguisuk, semuanya itu ternyata adalah orang-orang yang bekerja demi dan untuk atau atas suruhan Pangeran Temenggung.

SEKILAS INFO : NOVEL SAYA BERJUDUL TERBITNYA MASJID KAMI DITERBITKAN OLEH TUAS MEDIA KERTAK HANYAR

Saya ucapkan terima kasih kepada Saudara Mahmud Jauhari Ali (MJA), pemilik Tuas Media Kertak Hanyar, yang telah berkenan menerbitkan novel saya berjudul Tegaknya Masjid Kami (TMK).
TMK merupakan novel saya yang pertama, tahun 2004, novel ini telah dimuat secara bersambung di sebuah koran terbitan Banjarmasin. Sambutan pembaca atas pemuatan TMK ketika itu sangatlah menggembirakan.
Sambutan hangat juga diberikan oleh komunitas sastrawan Kalsel, 22 Februari 2004, novel TMK telah dibahas secara khusus dalam sebuah forum diskusi yang sengaja digelar untuk itu.
Selanjutnya, berkenaan dengan peringatan 483 tahun Kota Banjarmasin (24 September 2010), Puskajimastra Kalsel Banjarmasin berkenan menerbitkannya dalam bentuk buku. TMK Cetakan I telah habis terjual dan telah pula dijadikan sebagai sumber data penulisan skripsi oleh sejumlah mahasiswa PBSID STKIP PGRI Banjarmasin.
TMK bercerita tentang perjuangan Sultan Suriansyah ketika mendirikan Kerajaan Banjar pada tahun 1520-1526. Kerajaan Banjar baru bisa didirikan setelah Sultan Suriansyah berhasil tampil sebagai pemenang dalam perang saudara melawan pamannya Pangeran Temenggung yang ketika itu menjadi raja secara tidak sah di Kerajaan Negara Daha.
Kerajaan Banjar adalah kerajaan pertama di Pulau Kalimantan yang menjadikan ajaran Islam sebagai ideologi negara menggantikan ajaran nenek moyang yang selama ini menjadi ideologi Kerajaan Negara Daha.
Masjid merupakan simbol yang paling utama dari sebuah kerajaan Islam. Namun, meskipun berstatus sebagai raja yang berkuasa penuh di seantero wilayah kerajaannya, Sultan Suriansyah harus berjuang keras untuk mendirikan masjid pertama di kota Banjarmasin.
Tantangan tidak hanya datang dari para pihak yang selama ini menjadi musuh laten negaranya, tetapi juga datang dari lingkaran dalam istana (ring 1). Persoalan menjadi sangat serius karena para pihak yang menentangnya kali ini adalah para petinggi militer Kerajaan Banjar yang masih tetap kukuh menganut agama nenek moyang mereka.
Intrik-intrik politik tingkat tinggi inilah yang antara lain saya ceritakan dalam TMK. Cerita lain yang juga mendominasi adalah cerita tentang kesulitan-kesulitan yang dialami oleh para peserta sayembara pencarian 4 batang tiang ulin untuk sokoguru masjid. Setiap peserta diceritakan mengalami peristiwa dahsyad di tempat-tempat di mana mereka menebang pohon ulin dimaksud.

Hormat saya,
Tajuddin Noor Ganie, N.Pd.
Jalan Mayjen Soetoyo, Gang Sepakat
RT 9 Nomor 30, Banjarmasin, 70119
Telepon 08195188521

TUAS MEDIA KERTAK HANYAR TERBITKAN NOVEL TAJUDDIN NOOR GANIE BERJUDUL TEGAKNYA MASJID KAMI

Mahmud Jauhari Ali (MJA), pemilik Tuas Media Kertak Hanyar mengatakan bahwa pihaknya sejak 13 Februari 2012 ybl mulai menyebar-luaskan novel karangan Tajuddin Noor Ganie (TNG) berjudul Tegaknya Masjid Kami (TMK).
Novel Tegaknya Masjid Kami (TMK) karangan Tajuddin Noor Ganie (TNG) sebelumnya (2004) sudah dimuat sebagai cerita bersambung di sebuah surat kabar terbitan Banjarmasin pada tahun 2004 yl.
Sambutan pembaca atas pemuatan cerita bersambung TMK ketika itu sangatlah menggembirakan. Tidak hanya itu, para sastrawan Kalsel juga menyambutnya dengan antusias. Pada tanggal 22 Februari 2004, novel TMK dibahas secara khusus dalam sebuah forum diskusi yang sengaja digelar untuk itu.
TMK untuk kali yang pertama diterbitkan oleh Puskjaimastra Kalsel Banjarmasin berkenaan dengan peringatan 483 tahun Kota Banjarmasin (24 September 2010 ybl). Cetakan I TMK telah habis terjual dan telah pula dijadikan sebagai sumber data penulisan skripsi oleh sejumlah mahasiswa PBSID STKIP PGRI Banjarmasin.
“Kami tertarik menerbitkannya kembali karena TMK menurut kami merupakan novel yang sangat mengesankan. Isinya bercerita tentang historiografi masjid Sultan Suriansyah yang terletak di bilangan Jalan Pangeran, Kuin Utara, Banjarmasin,” ujar Mahmud Jauhari Ali dalam release yang dikrimkannya ke koran ini.
TMK bercerita tentang perjuangan Sultan Suriansyah ketika mendirikan Kerajaan Banjar pada tahun 1520-1526. Kerajaan Banjar baru bisa didirikan setelah Sultan Suriansyah berhasil tampil sebagai pemenang dalam perang saudara melawan pamannya Pangeran Temenggung yang ketika itu menjadi rajan secara tidak sah di Kerajaan Negara Daha.
Kerajaan Banjar adalah kerajaan pertama di Pulau Kalimantan yang menjadikan ajaran Islam sebagai ideologi negara menggantikan ajaran nenek moyang yang selama ini menjadi ideologi Kerajaan Negara Daha.
Masjid merupakan simbol yang paling utama dari sebuah kerajaan Islam. Namun, meskipun berstatus sebagai raja yang berkuasa penuh di seantero wilayah kerajaannya, Sultan Suriansyah harus berjuang keras untuk mendirikan masjid pertama di kota Banjarmasin.
Tantangan tidak hanya datang dari para pihak yang selama ini menjadi musuh laten negaranya, tetapi juga datang dari lingkaran dalam istana (ring 1). Persoalan menjadi sangat serius karena para pihak yang menentangnya kali ini adalah para petinggi militer Kerajaan Banjar yang masih tetap kukuh menganut agama nenek moyang mereka.
Intrik-intrik politik tingkat tinggi inilah yang antara lain diceritakan oleh TNG dalam TMK. Cerita lain yang juga mendominasi adalah cerita tentang kesulitan-kesulitan yang dialami oleh para peserta sayembara pencarian 4 batang tiang ulin untuk sokoguru masjid. Setiap peserta diceritakan mengalami peristiwa dahsyad di tempat-tempat di mana mereka menebang pohon ulin dimaksud.

Kamis, 05 Januari 2012

KALEIDOSKOP SASTRA KALSEL 2011

Disusun kembali dari kutipan-kutipan berita koran oleh Tajuddin Noor Ganie

SENIN, 7 FEBRUARI 2011
Novel Sandi Firly berjudul Rumah Debu hari ini didiskusikan di Warung Seni Minggu Raya Banjarbaru.

SELASA, 15 FEBRUARI 2011
SKH Media Kalimantan, mulai membuka rubrik Puisi Hari Ini. Rubrik ini dibuka setiap hari untuk memuat puisi-puisi kiriman pembaca atau kutipan dari buku puisi yang sudah terbit. Rubrik ini diasuh oleh Sandi Firli.

MINGGU, 6 MARET 2011
Taman Olah Sastra Indonesia (TOSI) Banjarbaru hari ini diresmikan pendiriannya. TOSI berlokasi di kawasan Pondok Empat, Loktabat Utara, Banjarbaru. Acara peresmian dihadiri oleh Ogi Fajar Nuzuli Ketua Dewan Kesenian Kota Banjarbaru. TOSI didirikan dan dimiliki oleh Ali Syamsuddin Arsi.

MINGGU, 10 APRIL 2011
Mulai hari ini di Kotabaru diselenggarakan Lomba Baca Puisi Memperingati 52 Tahun Eko Suryadi WS dan 35 Tahun Kepenyairannya. Pada kesempatan ini diluncurkan Memoar Eko Suryadi WS yang dieditori oleh Sainul Hermawan dan Mochamad Gozali.

JUM’AT, 15 APRIL 2011
Forum Pena Pesantren (FPP) Al Fallah Banjarbaru, hari ini menggelar workshop penulisan kreatif cerpen dan puisi. Menampilkan dua orang pembicara, yakni Harie Insani Putra dan Sandi Firly. Pada kesempatan ini juga diluncurkan antologi puisi bersama Tembok Suci.

SABTU, 16 APRIL 2011
Novel Sandi Firly berjudul Rumah Debu hari ini didiskusikan di Aula STKIP PGRI Banjarmasin. Menampilkan pembicara Dr. Aprinus Salam dari Universitas Gadjahmada Yogyakarta. Diskusi dipandu oleh moderator Sainul Hermawan.
Pada hari yang sama di tempat yang sama juga diluncurkan dan didiskusikan buku karangan Jamal T. Suryanata berjudul Tragika Sang Pencinta. Diskusi dipandu oleh Tajuddin Noor Ganie selaku moderator.
H. Yusni Antemas (Anggraini Antemas) hari ini menerima Anugerah Borneo Award (ABA) dari Yayasan Menuju Dunia Gemilang (Mendulang) Banjarmasin. Acara penerimaan ABA ini berlangsung di Gedung Sultan Suriansyah Banjarmasin. ABA diserahkan oleh Wakil Gubernur Kalsel, Drs. H. Rudy Resnawan, MM.

MINGGU, 17 APRIL 2011
Antologi Gumam karangan Ali Syamsuddin Arsi berjudul Bungkam Mata Gergaji hari ini diluncurkan di TOSI Banjarbaru.

KAMIS, 28 APRIL 2011
Hari ini di Taman Budaya Kalsel Banjarmasin diselenggarakan acara Mengenang Hari Wafatnya Penyair Chairil Anwar. Selain dihadiri oleh para sastrawan Kalsel, acara ini juga dihadiri oleh Wakil Walikota Banjarmasin Irwan Ansari dan Ketua PWI Kalsel Fathurrahman.

SABTU, 14 MEI 2011
Hari ini bertempat di Aula Pustarda Banjarbaru diselenggarakan workshop penulisan kreatif fiksi. Menampilkan 4 pembicara, yakni Aliansyah Jumbawuya, Harie Insani Putra, Randu Alamsyah, dan Sandi Firly.

MINGGU, 20 MEI 2011
Sanggar Sastra Satu Satu Banjarbaru hari ini meluncurkan antologi puisi bersama berjudul Pendulang, Hutan Pinus, dan Hujan. Didalamnya dimuat sejumlah puisi karangan Ahmad Fahrawi alm dan M. Rifani Djamhari alm. Peluncuran dilakukan di TOSI Banjarbaru.

JUM’AT, 1 JULI 2011
Pusat Pengkajian Masalah Sastra (Puskajimastra) Kalsel Banjarmasin mulai hari ini menyebar-luaskan buku karangan Tajuddin Noor Ganie berjudul Teori Menulis Cerpen, Teori Menulis Puisi, Praktek Menulis Cerpen, dan Praktek Menulis Puisi.
Semua buku di atas ditulis sebagai refleksi atas penguasaan teori menulis dan pengalaman praktek penulisnya sebagai penulis cerpen dan puisi sejak tahun 1980-an.
Pada mulanya buku ini disiapkan penulisnya sebagai bahan kuliah penulisan kreatif sastra bagi mahasiswa Semester III PBSID STKIP PGRI Banjarmasin yang diampu penulisnya sejak tahun 2000 yang lalu.

RABU, 13 JULI 2011
Sebelas orang sastrawan Kalsel hari ini di Samarinda berkesempatan hadir dalam acara Dialog Borneo Kalimantan, yakni (1) Ali Syamsuddin Arsi, (2) Arsyad Indradi, (3) Hajriansyah, (4) Iberamsyah Amandit, (5) Iberamsyah Barbary, (6) Fahmi Wahid, (7) Mahmud Jauhari Ali, (8) Sandi Firly, (9) Syarifuddin R, (10) Tarman Effendi Tarsyad, dan (11) Zulfaisal Putra.
Pada malam pembukaan acara Dialog Borneo Kalimantan diluncurkan 3 judul antologi karya sastra, 2 judul di antaranya ikut memuat karya sastra karangan sastrawan Kalsel, yakni Kalimantan dalam Puisi Indonesia (KdPI) dan Kalimantan dalam Prosa Indonesia (KdPI) (keduanya dieditori oleh Korrie Layun Rampan).
Di bidang puisi, tercatat 30 orang sastrawan Kalsel yang puisi-puisinya berhasil lolos seleksi editor dan ikut dimuat didalam antologi puisi KdPI ini, yakni (1) AA Ajang (Marabahan), (2) Abdul Karim Amar (Kertak Hanyar, Kabupaten Banjar), (3) Ahmad Fahrawi (alm, Martapura), (4) Ali Syamsuddin Arsi (Banjarbaru), (5) Arief Rahman Heriansyah (Amuntai), (6) Ariffin Noor Hasby (Banjarbaru), (7) Arsyad Indradi (Banjarbaru), (8) Aspihan N. Hidin (Marabahan), (9) Burhanuddin Soebely (Kandangan), (10) Eko Suryadi WS (Kotabaru), (11) Erika Adriani (Barabai), (12) Eza Thabry Husano (alm, Banjarbaru), (13) Hajriansyah (Banjarmasin), (14) Ibramsyah Amandit (Tamban, Barito Kuala), (15) Iwan Yusi (Kandangan), (16) Jaka Mustika (Marabahan), (17) Jamal T. Suryanata (Pelaihari), (18) Kayla Untara (Kandangan), (19) Mahmud Jauhari Ali (Kertak Hanyar, Kabupaten Banjar), (20) Maman S. Tawie (Banjarmasin), (21) M. Fadjroel Rachman (Jakarta), (22) M. Nachdiansyah Abdi (Banjarbaru), (23) Micky Hidayat (Banjarmasin), (24) Nurdin Yahya (Banjarmasin), (25) Rock Syamsuri Sabri (Marabahan), (26) Syarkian Noor Hadi (Marabahan), (27) Tajuddin Noor Ganie (Banjarmasin), (28) Tarman Effendi Tarsyad (Banjarmasin), (29) Zufaisal Putera (Banjarmasin), dan (30) Zurriyati Rosyidah (Banjarbaru).
Sementara itu di bidang prosa, tercatat 16 orang sastrawan Kalsel yang prosa-prosanya berhasil lolos seleksi editor dan ikut dimuat didalam antologi prosa KdPI ini, yakni (1) Aliansyah Jumbawuya (Banjarbaru), (2) Ali Syamsuddin Arsi (Banjarbaru), (3) Artum Artha (alm, Banjarmasin, (4) A. Setia Budhi (Banjarbaru), (5) Burhanuddin Soebely (Kandangan), (6) D. Zauhidhie (alm, Kandangan), (7) Hajriansyah (Banjarmasin), (8) Iwan Yusi (Kandangan), (9) Jamal T. Suryanata (Pelaihari), (10) Kayla Untara (Kandangan), (11) Micky Hidayat (Banjarmasin), (12) Nailya Nikmah JKF (Banjarmasin), (13) Sandi Firly (Banjarbaru), (14) Sri Nor Muliati (Banjarmasin), (15) Tajuddin Noor Ganie (Banjarmasin), dan (16) YS Agus Suseno (Banjarmasin).
Dari dua buku yang sama dan dari buku Korrie Layun Rampan yang lain, yakni Kalimantan Timur dalam sastra Indonesia (dua jilid) diperoleh informasi bahwa dari 149 sastrawan Kaltim yang menjadi pengisi 3 judul buku dimaksud, 5 orang diantaranya lahir di Kalsel, yakni Syarifah Maryam Barakbah (Kotabaru, 1926), Hamdy AK (Kotabaru, 1942), Hamsi Hamzah (Banjarmasin, 7 Juli 1965), Khairiyyatuzahro (Banjarmasin, 3 Agustus 1981), dan Faridamiaty (Kandangan, 6 Oktober 1989).

JUM’AT, 15 JULI 2011
Jamal T. Suryanata dan Tajuddin Noor Ganie, hari ini di Samarinda, tampil sebagai pembicara dalam acara Dialog Borneo Kalimantan.
Pada kesempatan itu, Jamal T. Suryanata membentangkan makalahnya berjudul Kebanggaan Sastra sebagai Kebanggaan Daerah : Sumber Penciptaan dan Inovasi Penciptaan.
Sementara itu, Tajuddin Noor Ganie membentangkan makalahnya berjudul Kedudukan Sastra Banjar Modern di tengah-tengah Sastra Indonesia (ditulis bersama Drs. H. Rustam Effendi, M.Pd, Ph. D).
Haji Eza Thabry Husano (ETH) hari ini wafat di kota Banjarbaru dalam usia 75 tahun. Pada hari yang sama ETH dimakamkan di Pemakaman Umum Guntung Lua Banjarbaru.


SABTU, 16 JULI 2011
AA Ajang, Abdurahman El Husaini, dan Arsyad Indradi, hari ini ikut hadir dan berpartisipasi dalam acara Pertemuan Penyair Nusantara V (PPN V) di Palembang.
Berkenaan dengan cara PPN V ini diluncurkan antologi puisi bersama Akulah Musi (AM) yang dieditori bersama oleh Ahmadun Yosi Herfanda, Anwar Putra Bayu dan Isbedy Stiawan ZS.
Sastrawan Kalsel yang puisi-puisinya lolos dalam seleksi ketat yang dilakukan oleh 3 editor dan ikut dimuat dalam antologi puisi AM ini tercatat 9 orang, yakni (1) AA Ajang (Marabahan), (2) Abdurrahman El-Husaini (Martapura), (3) Ali Syamsuddin Arsi (Banjarbaru), (4) Arief Rahman Heriansyah (Amuntai), (5) Arsyad Indradi (Banjarbaru), (6) Eza Thabry Husano (alm, Banjarbaru), (7) Jamal T. Suryanata, (8) Mahmud Jauhari Ali, dan (9) Sandi Firly (Banjarbaru).



SABTU, 30 JULI 2011
Novel Rico Hasyim berjudul Minggu Raya hari ini diluncurkan di Pujasera Minggu Raya Banjarbaru.

MINGGU, 7 AGUSTU 2011
Mulai hari ini Penerbit Sahabat Kandangan mulai menyebar-luaskan cetakan II novel karangan AF Ramadhani berjudul Kebijakan Cinta.

JUM’AT, 19 AGUSTUS 2011
Hari ini bertempat di Minggu Raya Banjarbaru diselenggarakan acara Tadarus Puisi. Pada kesempatan ini khusus dibacakan puisi-puisi karangan 3 penyair Banjarbaru yang sudah meninggal dunia, yakni Yuniar M. Ari alm, M. Syarkawi Mar’ie alm, dan Sri Supeni alm.

SENIN, 22 AGUSTUS 2011
Kelompok Studi Seni Budaya (Kelosesbud) Banjarmasin hari ini berhasil merampungkan pekerjaan mereka menyusun antologi puisi bersama berjudul Para Kekasih.

RABU, 14 SEPTEMBER 2011
Drs. H. Abdul Karim. Ketua Komunitas Sastrawan Indonesia (KSI) Tanah Bumbu, hari ini di Pagatan mengatakan bahwa komunitas yang dipimpinnya itu akan meluncurkan antologi puisi bersama Tragedi Buah Manggis dan antologi puisi pribadi Sungai Kenangan (Abdul Karim). Peluncuran akan dilakukan di Barabai pada kesempatan mereka mengikuti Aruh Sastra Kalsel VIII, 16-19 September 2011.

KAMIS, 15 SEPTEMBER 2011
Mulai hari ini Iberamsyah Barbary (Banjarbaru) mulai menyebar-luaskan dua judul antologi puisi pribadinya, yakni Asmaul Husna Membuka Jalan Menggenggam Cinta (Penerbit Kelompok Studi Sastra Banjarbaru), dan Serumpun Ayat-ayat Tuhan (Penerbit Kelompok Studi sastra Banjarbaru).




JUM’AT, 16 SEPTEMBER 2011
Mulai hari ini di Barabai diselenggarakan Aruh Sastra Kalsel VII. Acara dibuka oleh Sekda Hulu Sungai Tengah, IBG Dharma Putra.
Pada kesempatan ini diumumkan para pemenang lomba menulis karya sastra berbentuk puisi, cerpen, dan cerita rakyat. Selain itu juga diluncurkan 3 judul bunga rampai karya sastra.
Sastrawan Kalsel yang tampil sebagai pemenang 1-6 lomba tulis puisi adalah (1) Erika Adriani (Barabai), (2) Endang Untari (Banjarbaru), (3) Arief Rahman Heriansyah (Amuntai), (4) Aliansyah Jumbawuya (Banjarbaru), (5) Rosiana (Martapura), dan (6) HE Benyamine (Banjarbaru).
Sastrawan Kalsel yang tampil sebagai pemenang 1-6 lomba tulis cerpen adalah (1) Harie Insani Putra (Banjarbaru), (2) Randu Alamsyah (Banjarbaru), (3) Aliansyah Jumbawuya (Banjarbaru), (4) Wahyudi (Banjarbaru), (5) Ahsani Taqwiem (Banjarmasin), dan (6) Rosiana (Martapura).
Semua puisi pemenang lomba di atas (6 judul) dan 30 judul puisi nominasi, plus 6 cerpen pemenang lomba yang sama dikumpulkan jadi satu dalam bunga rampai berjudul Balian Jazirah Anak Ladang.
Selain itu, pada hari yang sama Panitia Aruh Sastra VII juga mengumumkan nama-nama pemenang lomba tulis cerita rakyat, yakni (1) Abu Syarif, (2) Bram Mulsy, (3) M. Rifky, (4) Meldi Muzada Elva, (5) Suandi, dan (6) Arif Rahman Heriansyah. Cerita rakyat pemenang lomba ini dikumpulkan dalam bunga rampai berjudul Batu Tangga Nini Haji di Balai Gunung Kepala Pitu.
Pada kesempatan yang sama juga diluncurkan bunga rampai puisi berjudul Seloka Bisu Batu Benawa (Editor YS Agus Suseno), dan buku Himpunan Tulisan Gagasan Besar Aruh sastra Kalimantan Selatan (Editor Ali Syamsuddin Arsi, Penerbit Kelompok Studi Sastra Banjarbaru).



SABTU, 17 SEPTEMBER 2011
Para sastrawan peserta Aruh Sastra Kalsel VIII di Barabai, hari ini mengunjungi sekolah-sekolah untuk melakukan dialog sastra. Setiap sekolah dikunjungi oleh 5-10 orang sastrawan Kalsel.
Selepas itu, para sastrawan Kalsel mengikuti dialog sastra di Gedung Murakata Barabai. Dialog sastra menampilkan 3 pembicara, yakni Yvonne de Fretes (Jakarta), Drs. H. Rustam Effendi, M.Pd. Phd, dan Dr. Rafiq. Dialog sastra ini dipandu oleh moderator Harie Insani Putra.

MINGGU, 18 SEPTEMBER 2011
Masih dalam rangkaian Aruh Sastra Kalsel VIII, hari ini bertempat di Gedung Murakata Barabai diselenggarakan dialog sastra bertajuk Sastra Islam. Dialog sastra menampilkan 2 pembicara, yakni Ahmad Syubbanuddin Alwi (Cirebon), dan Tajuddin Noor Ganie. Dialog sastra ini dipandu oleh moderator Lilies Martadiana MS.


SABTU, 20 SEPTEMBER 2011
Syarkian Noor Hadie (Marabahan) dan Fahmi Wahid (Barabai) hari ini di Banjarmasin menerima Hadiah Seni Bidang Sastra. Penyerahan hadiah seni dilakukan oleh Wakil Gubernur Kalsel Drs. H. Rudy Resnawan, MM pada kesempatan acara makan sahur bersama di Gedung Mahligai Pancasila Banjarmasin.

SENIN, 3 OKTOBER 2011
Sandi Firly (SF) mulai hari ini berada di Ubud, Bali, untuk mengikuti serangkaian acara Ubud Writer and Readers Festival (UWRF 2011). SF lolos seleksi UWRF dengan novelnya berjudul Rumah Debu.

SELASA, 1 NOVEMBER 2011
Mulai hari ini Taman Budaya Kalsel Banjarmasin mulai menyebar-luaskan buku berjudul Sastra Indonesia Modern di Kalimantan Selatan Sebelum Perang 1930-1945. Buku ini pada mulanya adalah laporan hasil kerja tim penggalian sejarah sastra Indonesia di Kalsel 1930-1945 yang dibentuk oleh Kepala Taman Budaya Kalsel dengan Surat Keputusan Nomor 431.1/0-2/Seni/Disporbudpar/TB/2011 tanggal 10 juni 2011,
Laporan hasil kerja tim penggalian dimaksud ditulis berdasarkan hasil wawancara mereka dengan 2 orang narasumber utama, yakni Maman S. Tawie dan Tajuddin Noor Ganie. Selain itu juga ditulis berdasarkan bahan-bahan tertulis yang mereka peroleh dari kedua narasumber dimaksud.
Didalam buku ini dimuat daftar sastrawan Kalsel yang mulai aktif menulis karya sastra pada kurun waktu 1930-1945. Buku ini tidak hanya memuat daftar nama sastrawan Kalsel 1930-1945, tetapi juga memuat ringkasan biografi kesastrawanan mereka, berikut kutipan teks sejumlah puisi dan cerpen karangan mereka.

KAMIS, 17 NOVEMBER 2011
Antologi karya sastra berjudul Nandurin Karang Awak Cultivate The Land Within hari ini diluncurkan dalam suatu acara khusus yang digelar di Auditorium Taman Budaya Kalsel Banjarmasin. Tampil sebagai narasumber dalam acara ini Kadek Purnami, Wayan Juniartha, dan Sandi Firly. Acara dipandu oleh moderator Jamaluddin T. Suryanata.
Kota Banjarmasin sengaja dipilih sebagai tempat peluncuran buku ini karena salah seorang pengisinya, yakni Sandi Firly berasal dari kota Banjarmasin. Didalamnya ikut dimuat petilan novel Sandi Firly berjudul Rumah Debu. Buku yang diluncurkan ini diterbitkan oleh Panitia Penyelenggara Ubud Writer and Reader Festival 2011 (UWRF). Sandi Firly dengan novelnya berjudul Rumah Debu berhasil lolos seleksi sebagai peserta UWRF 2011.

SENIN, 12 DESEMBER 2011
Rock Syamsuri Sabri (Marabahan) dan Syarifuddin R (Banjarmasin) hari ini di Banjarmasin menerima Anugerah Seni Budaya. Anugerah dimaksud diserahkan langsung oleh Gubernur Kalsel Drs. H. Rudy Arifin, MM dalam suatu acara khusus yang digelar di Gedung Balairung Sari Taman Budaya Kalsel.
SENIN, 13 DESEMBER 2011
STKIP PGRI Banjarmasin hari ini di Banjarmasin mewisuda 1.082 orang sarjana S.1. Acara wisuda berlangsung di Gedung Sultan Suriansyah.
Berdasarkan data yang tercantum dalam Buku Wisuda, dari 372 sarjana S.1 Program Studi PBSID yang diwisuda tahun ini, 26 orang diantaranya tercatat menulis skripsi tentang puisi dan cerpen karangan sastrawan Kalsel.
Berikut ini adalah nama-nama wisudawan/wisudawati PBSID STKIP PGRI Banjarmasin dan judul skripisi yang ditulisnya.
1. Abdul Hakim, Kajian Struktural Terhadap Antologi Puisi Taman Banjarbaru.
2. Ali Azwar, Penggunaan Metafora pada Puisi Micky Hidayat
3. Astuti Wahidah, Kajian Sosiologis Terhadap Novel Rumah Debu Karya Sandi Firly.
4. Danloushie Poetri Dwi Boedi Utami, Kajian Struktural Terhadap Kumpulan Puisi Bulu Tangan Karya Tajuddin Noor Ganie.
5. Dian Eka Puspitasari, Kajian Sosiologi dalam Novel Jazirah Cinta Karya Randu Alamsyah.
6. Dwi Sulistiyati, Analisis Konflik Internal Tokoh Utama dalam Kumpulan Cerpen Pengarang Perempuan Kalimantan Selatan Nyanyian Tanpa Nyanyian Karya Anna Fajarona dkk.
7. Fitriani, Analisis Pencitraan dan Bahasa Kiasan dalam Kumpulan Puisi Bulu Tangan Karya Tajuddin Noor Ganie.
8. Freldyanto, Nilai-nilai Edukatif dalam Novel Untuk Sebuah Nama Karya Jamal T. Suryanata.
9. Heni Watimena, Kajian Semiotika Terhadap Kumpulan Puisi Debur Ombak Gemuruh Gelombang Karya Jamal T. Suryanata.
10. Marianti, Kajian semiotic dalam Kumpulan Badai Gurun dalam Darah Karya Ibramsyah Amandit.
11. Melda Endrriyani, Memahami Asal-usul Nama Kembang Jepun dalam Novel Karya Lan Fang Berjudul Perempuan Kembang Jepun.
12. Misrawati, Hj. Kajian Nilai Moral dalam Kumpulan Cerpen Mata untuk Mama Karya Sainul Hermawan.
13. Muhammad Fahmi, Kajian Strata Norma Terhadap Antologi Puisi Bulu Tangan Karya Tajuddin Noor Ganie.
14. Noor Ikhsan Hayani, Profil Tokoh Pria Banjar dalam Sakindit Kisdap Banjar Galuh Karya Jamal T. Suryanata.
15. Normilawati, Kajian Budaya Banjar dalam Kumpulan Cerpen Tengah Malam di Kuala Lumpur Karya Tajuddin Noor Ganie.
16. Nur Cahaya Rizki, Kajian Etnografi Banjar Terhadap Kumpulan Cerpen Perempuan yang Memburu Hujan.
17. Raihanatul Hifziah, Nilai Moral dalam Kumpulan Cerpen Anak-anak Penyesalan Sang Pemburu Karya Jamaluddin.
18. Rahmiyati, Analisis Nilai-nilai Pendidikan dalam Kumpulan Cerpen Pelajaran Bahasa Karya Sainul Hermawan.
19. Rochmiyati, Kajian Struktural pada Puisi-puisi Tarman Effendi Tarsyad.
20. Siti Marfuach, Kajian Etnografi Orang Banjar Terhadap Kumpulan Cerpen Tengah Malam di Kuala Lumpur Karya Tajuddin Noor Ganie.
21. Siti Saniah, Kajian Struktural Tokoh Utama dalam Kumpulan Cerpen Perkawinan Rahasia Sang Bintang Karya Aliansyah Jumbawuya.
22. Wahidah Ratu, Kajian Struktural pada Kumpulan Puisi Debur Ombak Gemuruh Gelombang Karya Jamal T. Suryanata.
23. Wardiyati, Kajian Semiotik Terhadap Kumpulan Puisi Bulu Tangan Karya Tajuddin Noor Ganie.
24. Yuli Annisa, Nilai Moral dalam Kumpulan Cerpen Imanku Tertelungkup di Kakinya Karya Mahmud Jauhari Ali.
25. Yulianti, Kajian Sosial Budaya Terhadap Novel Jazirah Cinta Karya Randu Alamsyah.
26. Yuriansyah, Kajian Fantastik dalam Kumpulan Cerpen Bintang Kecil di Langit yang Kelam Karya Jamal T. Suryanata.

JUM’AT, 15 DESEMBER 2011
Abdurrahman El-Husaini (Martapura) dan Mudjahiddin S (Banjarmasin) hari ini di Martapura menerima Darjah Kebesaran Astaprana dari Kerajaan Banjar. Darjah dimaksud diserahkan langsung oleh Raja Muda Kerajaan Banjar, Ir. H. Pangeran Khairul Saleh dalam suatu acara khusus di Mahligai Sultan Adam Martapura.

MINGGU, 17 DESEMBER 2011
Novel Seteguk Rindu karangan Hamami Adabi hari ini diluncurkan di Banjarbaru.

MINGGU, 25 DESEMBER 2011
Hari ini Lan Fang (41 tahun) meninggal dunia di Rumah Sakit Mount Elizabeth Singapura.

SENIN, 26 DESEMBER 2011
Rock Syamsuri Sabri hari ini di Marabahan dilantik sebagai Ketua Komunitas Sastrawan Indonesia (KSI) Kabupaten Barito Kuala. Pelantikan dilakukan oleh Ketua KSI Kalsel Micky Hidayat, disaksikan langsung oleh Bupati Barito Kuala Hasanuddin Murad, dan para sastrawan setempat. Sepanjang sejarah keberadaan KSI di Kalsel, baru kali ini seorang bupati berkenan hadir dalam acara pelantikan Ketua KSI di daerahnya.

SABTU, 31 DESEMBER 2011
Novel Sandi Firly berjudul Rumah Debu hari ini dibedah di Auditorium IAIN Antasari Banjarmasin. Tampil sebagai narasumber dalam acara bedah novel ini adalah Ahmad Syadzali, Hajriansyah, dan Sandi Firly.

Minggu, 13 November 2011

Makalah Seminar Nasional Sastra Indonesia Mutakhir di Aula Rektorat Universitas Lambung Banjamasin, 29 Oktober 2011

REKAM JEJAK KIPRAH SASTRAWAN KALSEL DI JAGAT NASIONAL SASTRA INDONESIA

Oleh Tajuddin Noor Ganie

BAROMETER SASTRAWAN NASIONAL BAGI SASTRAWAN KALSEL
Tidak semua sastrawan Kalsel telah menunjukkan kiprahnya di jagat nasional sastra Indonesia (JNSI). Namun, cukup sulit bagi penulis untuk memilih kriteria yang digunakan sebagai barometernya.
Sementara belum ada kriteria yang diresmikan, maka untuk sementara waktu penulis menetapkan sejumlah kriteria subjektif untuk menetapkan sastrawan Kalsel yang telah berkiprah di JNSI, yakni.
1. Pernah memublikasikan karya sastranya di Majalah Sastra Horison Jakarta.
2. Pernah menjadi peserta forum sastra berskala nasional.
3. Karya sastranya ikut dimuat dalam antologi karya sastra berskala nasional
4. Pernah meraih prestasi sebagai pemenang dalam sayembara menulis karya sastra berskala nasional
5. Biografi kesastrawanannya ikut dimuat dalam buku-buku referensi sejenis buku pintar sastra Indonesia, ensiklopedi sastra Indonesia, dan leksikon susastra Indonesia
Terus terang penulis tidak memiliki referensi lengkap menyangkut 5 kriteria yang ditetapkan di atas. Referensi yang digunakan sebatas pada apa yang ada pada penulis saja. Sehubungan dengan itu mohon maaf dan harap maklum jika tulisan ini masih perlu dilengkapi di sana-sini.

MERAYU SUKMA, 1940
Jagat nasional sastra Indonesia (JNSI) mulai diresmikan keberadaannya sejak tahun 1920 dengan patok utamanya penerbitan roman Azab dan Sengsara karangan Merari Siregar (Balai Pustaka Jakarta, 1920). Pada masa Balai Pustaka 1920-1933 belum ada sastrawan Kalsel yang berkiprah di JNSI.
Selanjutnya pada zaman Pujangga Baru 1933-1942, sudah ada sastrawan Kalsel yang tercatat berkiprah di JNSI, yakni Merayu Sukma (Banjarmasin, 1914). Pada tahun 1040 setidak-tidaknya telah terbit 6 judul roman karangan Merayu Sukma, yakni.
1. Kunang-kuning Kuning, Merayu Sukma, 1940. Medan : Penerbit Bokh Cerdas.
2. Berlindung Dibalik Tabir, Merayu Sukma, 1940. Medan : Penerbit Bokh Cerdas.
3. Menanti Kekasih Dari Mekah, Merayu Sukma, 1940. Medan : Penerbit Dunia Pengalaman.
4. Teratai yang Terkulai, Merayu Sukma, 1940. Medan : Penerbit Dunia Pengalaman.
5. Yurni Yusri, Merayu Sukma, 1940. Medan : Penerbit Cerdas.
6. Sinar Membuka Rahasia, Merayu Sukma, 1940. Medan : Penerbit Cerdas.
(Ganie, 2010:274-277)
Roman/novel Merayu Sukma di atas tidak diterbitkan oleh Balai Pustaka tetapi diterbitkan oleh sejumlah penerbit swasta di kota Medan. Ini berarti Merayu Sukma sesungguhnya lebih patriotik atau bahkan lebih nasionalis dibandingkan dengan sastrawan Indonesia sezaman yang bersedia tunduk kepada aturan yang dibuat oleh pemerintah kolonial Belanda dalam hal penulisan karya sastra (Nota Rinkes, 1920).
Pada zaman kolonial Jepang 1942-1945, Merayu Sukma semakin memantapkan posisinya sebagai sastrawan di JNSI. Roman karangan Merayu Sukma berjudul Putra Mahkota yang Terbuang (Penerbit Syaiful Medan, 1943) merupakan satu-satunya roman yang terbit di tanah air kita pada zaman kolonial Jepang.
Masih di zaman kolonial Jepang, Merayu Sukma berhasil menorehkan prestasi yang gemilang yakni sebagai pemenang pertama dalam menulis naskah drama yang diselenggarakan oleh Keimin Bunka Shidoso pada tahun 1943.
Selepas zaman kolonial Jepang, yakni zaman orde lama 1945-1949, Merayu Sukma menerbitkan 1 judul antologi puisi pribadi berjudul Jiwa Merdeka (Malang, 1946), dan 8 judul roman, yakni.
1. Dalam Gelombang Darah, Merayu Sukma, 1946. Medan : Penerbit Usaha Merdeka.
2. Gema Dari Menara, Merayu Sukma, 1946. Medan : Penerbit Usaha Merdeka.
3. Pahlawan Pedih, Merayu Sukma, 1946. Medan : Penerbit Usaha Merdeka.
4. Menurutkan Jejak di Padang Pasir, Merayu Sukma, 1948. Medan : Penerbit Cerdas.
5. Mariati Wanita Ajaib, Merayu Sukma, 1949. Medan : Penerbit Cerdas.
6. Kawin Cita-cita, Merayu Sukma, 1949. Medan : Penerbit Sinar Harapan.
7. Di Lereng Hayat, Merayu Sukma, 1949. Medan : Penerbit Cerdas.
8. Jurang Meminta Kurban, Merayu Sukma, 1949. Medan : Penerbit Cerdas.
(Ganie, 2010:274-277)

ANDI AMRULLAH MACHMUD, 1964
Jakarta, 1-7 Maret 1964, sekitar 350 pengarang dari seluruh Indonesia menghadiri Konperensi Karyawan Pengarang Indonesia (KKPI). Penyelenggaraan KKPI disponsori oleh Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN), Organisasi Pengarang Indonesia (OPI), Himpunan Seni Budaya Islam (HSBI), Badan Musyawarah Kebudayaan Islam (BMKI), Lembaga Kebudayaan Kristen Indonesia (LKI), dan para penanda-tangan Manifes Kebudayaan 17 Agustus 1963.
Tujuan diselenggarakannya KKPI adalah sebagai upaya nyata untuk membendung infiltrasi kaum komunis masuk ke dalam jajaran sastra, kesenian, dan kebudayaan). Pada akhir konperensi berhasil disusun dan disepakati Ikrar Pengarang Indonesia.
Salah seorang peserta KKPI dimaksud adalah Andi Amrullah Machmud. Beliau ketika itu tinggal di Malang dan datang ke Jakarta sebagai salah seorang peserta dari Jawa Timur. Andi Amrullah Machmud tercatat sebagai satu-satunya sastrawan kelahiran Kalsel (Pagatan, Tanah Bumbu, 14 Juni 1941) yang menghadiri KKPI. Sejak itu reputasi kesastrawanannya mulai dikenal secara nasional (meskipun di kemudian hari beliau lebih banyak memublikasikan karya sastranya di berbagai koran terbitan daerah Kalsel saja).

IAN EMTI. 1978
Tahun 1978, Ian Emti (Ir. H. Daliansyah MT) dengan novelnya berjudul Pada Sebuah Rumah berhasil meraih prestasi sebagai pemenang pertama dalam sayembara penulisan novel yang diselenggarakan oleh Penerbit Cypres Jakarta.
Berkat prestasinya itu, Penerbit Cypres Jakarta tidak hanya menerbitkan novelnya berjudul Pada Sebuah Rumah, tetapi juga menerbitkan 2 judul novelnya yang lain, yakni.
1. Perawan Tapi Hamil
2. Insan-insan Pop

LEKSIKON SASTRA INDONESIA MODERN, 1982 DAN 1983
Tahun 1982, Pamusuk Eneste menerbitkan buku berjudul Leksikon Kesusastraan Indonesia Modern (LKIM 1982) diterbitkan oleh PT Gramedia Jakarta. Jumlah entrinya sebanyak 136 buah. Di dalamnya cuma dimuat biografi atas nama 3 orang sastrawan Kalsel, yakni.
1. D. Zauhidihe (Kandangan)
2. H. Hijaz Yamani (Banjarmasin), dan
3. Hj. Yustan Aziddin (Banjarmasin).
Tahun 1983, LKIM dicetak ulang (LKIM 1983), isinya sama saja dengan LKIM 1982.

PUISI INDONESIA, 1987
Bertempat di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, 3-4 September 1987 berlangsung forum penyair Indonesia bertajuk Puisi Indonesia 1987. Sesuai dengan sifat acaranya yang berlevel nasional, maka para pesertanya dengan sendirinya juga diakui sebagai sastrawan nasional. Sastrawan Kalsel yang diundang mengikuti kegiatan ini ada 7 orang, yakni. 1. Ahmad Fahrawi alm (Martapura)
2. Ajamuddin Tifani alm (Banjarmasin)
3. Burhanuddin Soebely (Kandangan)
4. Micky Hidayat (Banjarmasin)
5. Noor Aini Cahya Khairani alm (Banjarmasin),
6. Tarman Effendi Tarsyad (Banjarmasin) dan
7. Tajuddin Noor Ganie (Banjarmasin, tidak bisa hadir).
Sebelum diundang ke Jakarta, pihak panitia telah melakukan pengamatan terhadap publikasi karya sastra mereka di berbagai koran/majalah terbitan Jakarta. Tidak hanya itu, pihak panitia juga mengirim utusannya langsung ke Banjarmasin untuk memperoleh informasi mengenai publikasi karya sastra mereka di berbagai koran/majalah terbitan Banjarmasin.

LEKSIKON SASTRA INDONESIA MODERN, 1990
Tahun 1990, Pamusuk Eneste menerbitkan Leksikon Kesusastraan Indonesia Modern (Penerbit Djambatan Jakarta). Jumlah entrinya sebanyak 309 buah. Di dalam LKIM 1990 ini dimuat 11 entri biografi sastrawan Kalsel, yakni.
1. Ahmad Fahrawi alm (Martapura),
2. Ajamuddin Tifani alm (Banjarmasin)
3. D. Zauhidhie alm (Kandangan)
4. Eko Suryadi WS (Kotabaru)
5. Eza Thabry Husano alm (Banjarbaru),
6. Hijaz Yamani alm (Banjarmasin),
7. Maman S. Tawie (Banjarmasin)
8. Maseri Matali alm (Banjarmasin),
9. Tajuddin Noor Ganie (Banjarmasin),
10. Tarman Effendi Tarsyad (Banjarmasin), dan
11. Hj. Yustan Aziddin (Banjarmasin).

LEKSIKON SASTRA 1995
Tahun 1995, Suhendra Yusuf MA menerbitkan Leksikon Sastra (LS 1995) (Penerbit Mandar Maju Bandung). Jumlah entrinya sebanyak 3.297 buah (tebal buku 328+xxi). Namun, entri biografi sastrawan Kalsel tidaklah memadai, karena cuma 3 buah saja, yakni.
1. D. Zauhidhie (Kandangan),
2. Maman S. Tawie (Banjarmasin) dan
3. Tajuddin Noor Ganie (Banjarmasin)

REFLEKSI SETENGAH ABAD INDONESIA, 1995
Bertempat di Taman Budaya Surakarta (TBS), 15-17 Agustus 1995 berlangsung forum penyair Indonesia bertajuk Refleksi Setengah Abad Indonesia. Sesuai dengan sifat acaranya yang berlevel nasional, maka para pesertanya dengan sendirinya juga diakui sebagai sastrawan nasional. Sastrawan Kalsel yang diundang mengikuti kegiatan ini ada 5 orang, yakni.
1. MS Sailillah (Banjarmasin)
2. Micky Hidayat (Banjarmasin)
3. Nayanata (Banjarmnasin)
4. Noor Aini Cahya Khairani alm (Banjarmasin)
5. Rosydi Aryadi Saleh (Banjarmasin), dan
6. Tajuddin Noor Ganie (Banjarmasin).

LEKSIKON SUSASTRA INDONESIA, 2000
Tahun 2000, Korrie Layun Rampan menerbitkan Leksikon Susastra Indonesia (LSI 2000) (Penerbit PN Balai Pustaka Jakarta). Jumlah entrinya sebanyak 1.269 buah (tebal buku 576+xv), di dalamnya dimuat 26 buah entri sastrawan Kalsel, yakni.
1. Ahmad Fahrawi alm (Martapura)
2. Ajamuddin Tifani alm (Banjarmasin)
3. A. Mudjahiddin S (Banjarmasin)
4. Arifin Noor Hasby (Banjarmasin)
5. Arsyad Indradi (Banjarbaru)
6. Burhanuddin Soebely (Kandangan)
7. D. Zauhidhie alm (Kandangan)
8. Eddy Wahyuddin SP (Banjarmasin)
9. Eko Suryadi WS (Kotabaru)
10. Eza Thabry Husano alm (Banjarbaru)
11. Farouk HT (Yogyakarta)
12. Hamami Adaby (Banjarbaru)
13. H. Hijaz Yamani alm (Banjarmasin)
14. Jamal T. Suryanata (Pelaihari)
15. M. Fadjroel Rachman (Jakarta)
16. M. Saleh Saad alm (Jakarta)
17. M. Suriani Shidhiq (Bogor)
18. Maman S. Tawie
19. Maseri Matali alm (Kandangan)
20. Micky Hidayat (Banjarmasin)
21. Rusli S. Purma alm (Yogyakarta)
22. Salim Fachry (Kandangan)
23. Tajuddin Noor Ganie (Banjarmasin)
24. Tarman Effendi Tarsyad (Banjarmasin)
25. Yefigrata S. Grafutin (Jakarta)
26. Hj. Yustan Aziddin (Banjarmasin)

BIBLIOGRAFI SASTRA INDONESIA, 2001
Tahun 2001, Pamusuk Eneste menerbitkan bukunya berjudul Bibliografi Sastra Indonesia (Indonesia Tera Magelang). Didalamnya dimuat daftar buku-buku sastra yang telah terbit di Indonesia selama kurun waktu 1920-2000. Beberapa judul buku karangan sastrawan Kalsel juga ikut dimuat dalam daftar dimaksud, yakni.
1. Tanah Huma, D Zauhidhie, Hijaz Yamani, dan Yustan Aziddin, 1978. Jakarta : Pustaka Jaya
2. Jala yang Ditebar, Ahmad Fahrawi, 1981. Banjarmasin
3. Jam, Maman S Tawie dan Radius Ardanias, 1981. Banjarmasin
4. Aku Ingin Mencari Kata dalam Sajak, Ahmad Fahrawi, 1982, Banjarmasin.
5. Sebelum Tidur Berangkat, Eko Suryadi WS, 1982. Banjarmasin
6. Dawat, Eza Thabry Husano, 1982. Banjarbaru.
7. Dinding kaca, Maman S Tawie, 1982. Banjarmasin
8. Sajak-sajak Dahaga, Maman S Tawie, 1982. Banjarmasin
9. Bulu Tangan, Tajuddin Noor Ganie, 1982. Banjarmasin
10. Anggur, Tarman Effendi Tarsyad, 1982. Banjarmasin
11. Buku IV Siklus Lima Penyair Kalsel, Tajuddin Noor Ganie, 1983. Banjarmasin.
12. Buku V Siklus Lima Penyair Kalsel, Tarman Effendi Tarsyad, 1983. Banjarmasin.
13. Dibalik Bayang Bayang, Eko Suryadi WS, 1984. Banjarmasin
14. Kuala, Ezathabry Husano, 1984. Banjarbaru
15. Rakit Bambu, Ezathabry Husano, 1984. Banjarbaru
16. Surat dari Langit, Ezathabry Husano, 1984. Banjarbaru
Pemasukan data buku-buku sastra karangan sastrawan Kalsel ke dalam Bibliografi Sastra Indonesia susunan Pamusuk Eneste di atas menjadikan kiprah sastrawan Kalsel mulai diketahui orang di lingkup yang lebih luas lagi (berskala nasional).
Selama ini kiprah sastrawan Kalsel cuma diketahui sebatas di lingkup lokal saja, karena buku-buku sastra karangan mereka memang cuma beredar secara terbatas di daerah Kalsel saja (kecuali antologi puisi bersama Tanah Huma yang diterbitkan di Jakarta).

BUKU PINTAR SASTRA INDONESIA, 2001
Tahun 2001, Pamusuk Eneste meluncurkan Buku Pintar Sastra Indonesia (BPSI 2001) (Penerbit Buku Kompas Jakarta). BPSI 2001 merupakan pengembangan lebih lanjut LKIM 1990. Jumlah entrinya sebanyak 582 buah (tebal buku 290+xx), ada penambahan entri sebanyak 273 buah dibandingkan LKIM 1990. Khusus untuk entri biografi sastrawan Kalsel juga ada penambahan drastis, yakni sebanyak 35 buah, yakni.
1. A. Dimyatie Riesma (Marabahan)
2. A. Mudjahiddin S (Banjarmasin)
3. Ahmad Fahrawi alm (Martapura)
4. Ajamuddin Tifani alm (Banjarmasin)
5. Ariffin Noor Hasby (Banjarbaru)
6. Bajau Malela (Marabahan)
7. Bambang Rukmana (Tanjung)
8. Burhanuddin Soebely (Kandangan)
9. D, Zauhidhie alm (Kandangan)
10. Eko Suryadi WS (Kotabaru)
11. EM Yusran (Marabahan)
12. Eza Thabry Husano alm (Banjarbaru)
13. Farouk HT (Yogyakarta)
14. Hamami Adaby (Banjarbaru)
15. H. Hijaz Yamani alm (Banjarmasin)
16. Ibramsyah Amandit (Tamban, Barito Kuala)
17. Jaka Mustika (Marabahan)
18. Jamal T. Suryanata (Pelaihari)
19. M. Fajroel Rachman (Jakarta)
20. M. Saleh Saad alm (Jakarta)
21. HM Syaifullah Basri (Banjarbaru)
22. HM Sahasby alm (Banjarbaru)
23. Maman S Tawie (Banjarmasin)
24. Maseri Matali alm (Kandangan)
25. Noor Aini Cahya Khairani alm (Banjarmasin)
26. R. Syamsuri Sabri (Marabahan)
27. Rusli S. Purma alm (Yogyakarta)
28. Samsuni Sarman (Alalak Berangas, Barito Kuala)
29. Si Mawar Jingga (Marabahan)
30. Suriansyah (Marabahan)
31. Surya Achdiat (Marabahan)
32. Syarkian Noor Hadi (Marabahan)
33. Tajuddin Noor Ganie (Banjarmasin)
34. Tarman Effendi Tarsyad (Banjarmasin)
35. Hj. Yustan Aziddin alm (Banjarmasin)

ENSIKLOPEDI SASTRA INDONESIA, 2004
Tahun 2004, Penerbit Titian Ilmu Bandung menerbitkan Ensiklopedi Sastra Indonesia (ESI 2004). Jumlah entrinya sebanyak 2.948 buah (tebal buku 889 halaman). Tahun 2007, penerbit yang sama meluncur ESI Cetakan II (ESI 2007). Jumlah entri untuk sastrawan Kalsel sebanyak 35 buah. Uniknya, entri sastrawan Kalsel di dalam ESI 2007 sama persis dengan entri sastrawan Kalsel yang dimuat di dalam BPSI 2001 (Pamusuk Eneste).
ESI 2007 disusun oleh sebuah tim penyusun yang berada di bawah koordinasi Prof. Dr. Hasanuddin WS (Pemimpin Redaksi). Redaktur Ahli Penyelia ESI 2007 terdiri atas Prof. Dr. Mursal Esten, Prof. Dr. Yus Rusyana, Prof. Dr. Suminto A. Sayuti, dan Prof. Dr. Riris K. Toha Sarumpaet. Bertindak selaku Redaktur Tim Penyusun adalah Drs. Maizar Karim M. Hum, Drs. Endut Ahadiat M. Hum, Christian Ly SS, Drs. Yuldi, dan Drs. Ferli Zulhendri.

MAJALAH SASTRA HORISON JAKARTA
Majalah Sastra Horison Jakarta merupakan tempat publikasi karya sastra yang menjadi barometer pencapaian reputasi kesastrawanan dalam JNSI. Sastrawan Kalsel yang berhasil memublikasikan karya sastranya di Majalah Sastra Horison Jakarta, antara lain.
1. Ahmad Fahrawi (cerpen dan puisi))
2. Ajamuddin Tifani (Cerpen dan puisi)
3. H. Hijaz Yamani (puisi)
4. M. Rifani Djamhari (cerpen)
5. Maman S. Tawie (esei sastra)
6. Micky Hidayat (puisi)
7. Noor ini Cahya Khairani (esei sastra)
8. Tarman Effendi Tarsyad (puisi)
9. Yefigrata S. Grafutin (cerpen), dan
10. Zulfaisal Putra (esei sastra)

FARAH HIDAYATI, 2005
Tahun 2005, Farah Hidayati dengan novelnya berjudul Rumah Tumbuh berhasil meraih prestasi sebagai pemenang pertama dalam sayembara menulis novel remaja yang diselenggarakan oleh PT Grasindo Jakarta.

CAKRAWALA SASTRA INDONESIA 2005
Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, 13-15 September 2005 berlangsung forum penyair Indonesia bertajuk Cakrawala Sastra Indonesia. Sesuai dengan sifat acaranya yang berlevel nasional, maka para pesertanya dengan sendirinya juga diakui sebagai sastrawan nasional. Sastrawan Kalsel yang diundang mengikuti kegiatan ini ada 5 orang, yakni.
1. Arifin Noor Hasby (Banjarbaru)
2. Burhanuddin Soebely (Kandangan),
3. Eza Thabry Husano (Banjarbaru, tidak bisa hadir)
4. Jamal T. Suryanata (Pelaihari)
5. Maman S Tawie (Banjarmasin)
6. Micky Hidayat (Banjarmasin)
7. Tarman Effendi Tarsyad (Banjarmasin) dan
8. Zulfaisal Putra (Banjarmasin).

PERTEMUAN PENYAIR NUSANTARA, PALEMBANG, 2011
Sembilan penyair Kalsel berhasil lolos dalam seleksi ikut serta mengisi antologi puisi bersama Akulah Musi yang dieditor oleh Ahmadun Yosi Herfanda, Anwar Putra Bayu, dan Isbedy Stiawan ZS (Palembang, 2011), yakni.
1. AA Ajang (Marabahan)
2. Abdurahman El Husaini (Martapura)
3. Ali Syamsuddin Arsi (Banjarbaru)
4. Arsyad Indradi (Banjarbaru)
5. Arief Rahman Heriansyah (Amuntai)
6. Eza Thabry Husano alm (Banjarbaru)
7. Jamal T. Suryanata (Pelaihari)
8. Mahmud Jauhari Ali (Kertak Hanyar)
9. Sandi Firly (Banjarbaru)
Berkaitan dengan itu, maka sembilan penyair Kalsel dimaksud juga diundang ikut serta dalam acara bertajuk Pertemuan Penyair Nusantara di Palembang, 16-19 Juli 2011. Dalam hal ini yang berkesempatan hadir ada 3 orang, yakni AA Ajang, Abdurrahman El Husaini, dan Arsyad Indradi.

SANDI FIRLY, UBUD, GIANYAR, BALI, 2011
Sandi Firly dengan novelnya berjudul Rumah Debu lolos seleksi ikut serta dalam acara Ubud Writer and Readers Festival (UWRF) di Ubud, Gianyar, Bali, 3 Oktober 2011). UWRF merupakan forum sastra bertaraf internasional, karena selain melibatkan para sastrawan Indonesia yang dipilih secara ketat oleh suatu tim kurator, juga melibatkan para sastrawan dari luar negeri.



BAHAN RUJUKAN
Eneste, Pamusuk. 2001. Bibliografi Sastra Indonesia. Magelang : Indonesia Tera
Eneste, Pamusuk. 2001. Buku Pintar Sastra Indonesia. Jakarta : Penerbit Buku Kompas
Hasanuddin WS, 2007. Ensiklopedi Sastra Indonesia. Bandung : Titian Ilmu. Cetakan II
Mahayana, Maman S. 2005. 9 Jawaban Sastra Indonesia : Sebuah Orientasi Kritik. Jakarta : Bening Publishing. Cetakan I.
Rampan, Korrie Layun. Leksikon Susastra Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka.
Zaidan, dkk, Abdul Razak. 1994. Kamus Istilah Sastra. Jakarta : Pustaka Jaya. Cetakan I.