Senin, 18 Juni 2012


MEMANFAATKAN KARYA SASTRA
SEBAGAI SARANA PENDIDIKAN KARAKTER

Oleh Tajuddin Noor Ganie, M. Pd

Hingga saat ini pendidikan masih diyakini sebagai sarana yang mumpuni untuk membangun kepribadian dan kecerdasan anak bangsa di tanah air kita. Segala sesuatu yang bersentuhan dengan kepentingan pendidikan anak bangsa ini senantiasa dicermati, dibangun, dan dikembangkan dengan tujuan agar dapat menghasilkan generasi penerus bangsa yang berkarakter prima sekaligus juga cerdas secara intelektual.
Pada kurun waktu 5 tahun terakhir ini muncul gagasan untuk lebih menggalakkan lagi pendidikan karakter di semua tingkatan pendidikan mulai dari tingkat sekolah dasar hingga tingkat perguruan tinggi (sarjana strata 1). Gagasan ini mencuat ke permukaan dengan begitu kuatnya karena dipicu oleh kekhawatiran banyak pihak yang melihat bahwa proses pendidikan formal yang berlangsung di semua tingkatan persekolahan dan perguruan tinggi di tanah air kita selama ini pada umumnya cuma melahirkan anak bangsa yang cerdas secara intelektual saja, tetapi tidak bermental tangguh, dan berperilaku tidak sesuai dengan tujuan pendidikan yang mulia.
Perilaku yang tidak sesuai dengan tujuan mulia pendidikan itu antara lain tergambar dari semakin banyaknya pelaku korupsi di tanah air kita yang jika ditelisik dengan seksama tidak lain adalah para pejabat aparatur negara yang berlatar belakang pendidikan tinggi alumni PTN/PTS ternama di tanah air kita. Fakta ini baru saja diungkapkan dengan telak oleh Bapak Marzuki Ali Ketua DPRRI. Para pihak yang merasa terusik dengan tudingan keras itu langsung bereaksi dengan keras pula.
Tindakan anarkis yang kerap terjadi di jalan-jalan di berbagai kota besar, kota sedang, kota kecil, atau bahkan di kota-kota sangat kecil di pelosok-pelosok negeri, seperti tawuran pelajar atau demonstrasi yang pada mulanya berlangsung damai kemudian berubah menjadi kerusuhan social berbau SARA, yang semakin kerap terjadi, merupakan petunjuk nyata bahwa ada yang tidak beres dengan karakter anak bangsa di tanah air kita.
Situasinya menjadi semakin runyam, karena aparatur negara yang bertugas memelihara stabilitas keamanan di tanah air kita cenderung menyederhanakan persoalan yang sangat serius ini dengan cara berkelit dan dengan entengnya menuding para provokator sebagai biang kerok atau kambing hitamnya. Mereka tidak pernah tertarik untuk mengurai apalagi membabat habis akar permasalahan yang menjadi pemicu latennya, akibatnya kasus anarkis semacam itu selalu berulang dan terus berulang dari rezim ke rezim.
Fakta lain adalah semakin maraknya kasus KTD (kehamilan yang tidak dikehendaki) di tanah air kita. Angka kasusnya tidak tanggung-tanggung, yakni antara 150-200 ribu kasus per tahun. Tendensinya tidak pernah menyusut dari tahun ke tahun, tetapi semakin membengkak. Kasus KTD ini sangat memprihatinkan dan sangat menggiriskan hati karena pelakunya bukanlah pasangan suami/isteri yang gagal ber-KB (keluarga berencana), tetapi adalah pasangan muda-mudi yang sebagian besar di antaranya masih berstatus sebagai pelajar atau mahasiswa. Mereka inilah yang tanpa rasa bersalah melakukan hubungan badan di luar nikah, perbuatan asusila ini mereka lakukan karena karakter mental mereka yang lemah.
Fakta-fakta yang memiriskan dan menggiriskan hati ini harus segera dieliminir dengan berbagai cara yang mungkin dilakukan, salah satu di antaranya adalah dengan menggalakkan kembali pendidikan karakter (budi pekerti) terhadap segenap anak bangsa. Konsep pendidikan karakter ini menurut Azeet (2011:12) sesungguhnya sudah ada sejak tahun 2003, dalam hal ini sudah dituangkan dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (selanjutnya ditulis UU 20/2003 tentang SPN). Disebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi sebagai mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Pendidikan karakter kepada anak didik di sekolah atau kepada para mahasiswa di perguruan tinggi dilakukan melalui bahan ajar atau bahan kuliah yang diresmikan dalam kurikulum. Salah satu bahan ajar atau bahan kuliah dimaksud adalah karya sastra berbentuk puisi, cerpen, novel, dan naskah drama. Potensi karya sastra sebagai sarana pendidikan karakter sudah diketahui sejak lama. Istilah sastra sendiri merujuk kepada fungsinya sebagai sarana pengajaran, yakni sas artinya alat dan tra artinya mengajar, Jadi sastra pada galibnya adalah sarana untuk mengajar manusia.
Berkaitan dengan kepentingan menjalankan fungsinya sebagai actor pendidikan karakter ini maka para sastrawan akan langsung mendapat hujatan public jika di dalam karya sastranya dimuati dengan hal-hal yang tidak senonoh seperti pornografi misalnya. Sehubungan dengan itu kita semua hendaknya mendukung usaha-usaha yang dilakukan oleh pihak sekolah untuk membersihkan perpustakaan sekolah dari bahan bacaan berupa karya sastra yang isinya berpotensi merusak karakter anak bangsa.
Hasil investigasi yang dilakukan oleh para wartawan menunjukkan bahwa dari sekian banyak buku-buku sastra yang dipasok ke perpustakaan sekolah ditemukan adanya buku-buku sastra yang diselipi dengan narasi-narasi atau dialog-dialog yang berkonotasi pornografi. Menghadapi kasus ini pihak pemerintah mengambil jalan mudah, yakni menarik buku-buku sastra bermuatan pornografi dimaksud. Padahal, para pihak yang bertanggung jawab atas lolosnya buku-buku sastra yang tidak senonoh itu ke wilayah dalam sekolah dimaksud mestinya diproses secara hukum, karena mereka telah memboroskan uang negara dalam jumlah milyaran rupiah (dalam bentuk proyek pengadaan buku) untuk menerbitkan buku-buku sastra yang tidak layak pakai. Termasuk dalam kasus ini adalah buku bacaan yang disisipi dengan gambar fisik Nabi Muhammad Saw.
Merujuk kepada UU 20/2003 tentang SPN, maka kualitas pribadi yang akan dibentuk melalui system pendidikan nasional adalah anak bangsa dengan kualitas pribadi sebagai berikut.
  1. Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa
  2. Berakhlak mulia
  3. Sehat
  4. Berilmu
  5. Cakap
  6. Kreatif
  7. Mandiri
  8. Demokratis, dan
  9. Bertanggung jawab
Ini berarti karya sastra yang dapat dijadikan sebagai sarana pembentukan karakter anak bangsa adalah karya sastra yang dapat membentuk karakter anak bangsa dengan kualitas pribadi sebagaimana yang dipaparkan di atas.
Pendidikan karakter yang ditanamkan secara tersurat dan tersirat dalam karya sastra meliputi 4 katagori, yakni.
  1. Pendidikan karakter yang berkaitan dengan Tuhan Yang Maha Esa, meliputi (1) berkeyakinan (2) bersikap, (3) berkata-kata, dan (4) berperilaku, sesuai dengan ajaran agama yang dianut
  2. Pendidikan karakter yang berkaitan dengan diri sendiri, meliputi : (1) kejujuran, (2) bertanggung jawab, (3) rasa percaya diri, (4) disiplin, (5) bekerja keras, (6) mandiri, (7) rasa ingin tahu, (8) berjiwa wirausaha, dan (9) bergaya hidup sehat.
  3. Pendidikan karakter yang berkaitan dengan sesama manusia, meliputi (1) membela hak dan memenuhi kewajiban diri sendiri, (2) menghormati hak dan kewajiban orang lain, (3) berguna bagi orang lain, (4) berkata-kata dan berperilaku santun terhadap orang lain, dan (5) patuh dan taat pada aturan social.
  4. Pendidikan karakter yang berkaitan dengan lingkungan meliputi (1) peduli social, (2) peduli lingkungan, (3) menghargai nilai-nilai kebangsaan, dan (4) berpikir nasionalis.
Pertanyaannya sekarang adalah sudah adakah sastrawan Indonesia yang menulis puisi, cerpen, novel, dan naskah drama yang dapat dimanfaatkan sebagai sarana pendidikan karakter? Jawabnya : sudah banyak sekali. Salah satu di antaranya adalah Andrea Hirata (AH) dengan tetralogi Laskar Pelangi (LP).
Menurut kesaksian Asrori S. Karni (2008:1-2), novel LP telah menginspirasi banyak orang untuk berderma. Ceritanya, setelah membaca LP, belasan orang pengusaha keturunan Tionghoa yang merantau ke Jakarta tergerak hatinya untuk pulang kampung bersama. Selama ini mereka terlalu asyik menikmati kesuksesan di tanah rantau sehingga sudah puluhan tahun tak pernah pulang kampung ke Belitong.
Mereka pulang kampung bersama dengan cara berkonvoi menaiki sembilan buah mobil yang berjalan beriringan dari Tanjung Pandan (Belitong Barat) ke kampung Gantung (Belitong Timur). Tidak hanya sekadar pulang kampung untuk melampiaskan rindu dendam dengan mengenang nostalgia lama masa kecil dan remaja, tetapi juga datang dengan tujuan untuk menyerahkan derma patungan mereka kepada Lintang. Lintang adalah anggota LP yang paling genius, namun nasibnya paling malang, karena sekolahnya terputus di tengah jalan setelah ayahnya meninggal dunia.
Bagi para pengusaha Tionghoa, LP telah membangkitkan kembali karakter mereka sebagai anak bangsa yang peduli social (termasuk dalam lingkup pendidikan karakter yang berkaitan dengan lingkungan). Sehubungan dengan contoh kasus di atas, LP dapat dimanfaatkan sebagai sarana untuk menanamkan pendidikan karakter berakhlak mulia menurut rujukan UU 20/2003 tentang SPN.
Masih menurut kesaksian Asrori S. Karni (2008:2), di Bandung, isakan tangis beberapa kali terdengar dari kamar Nico, mahasiswa pecandu narkoba yang dikenal keras kepala. Orang tuanya penasaran, setelah diintip, Nico ternyata sedang membaca buku Laskar Pelangi. Kepada orang tuanya, Kosasih dan Winarti, Nico mendadak menyatakan tekadnya untuk menyelesaikan rehab ketergantungan obat. Padahal, rehab itu berkali-kali gagal. Sampai orang tuanya putus asa.
Nico juga mau mengerjakan skripsinya, yang sudah setahun ditinggalkan. Laskar Pelangi membangkitkan semangat belajar. “Nico bilang, ia merasa malu pada perjuangan ibu guru di buku itu, dan malu pada Lintang, anak miskin yang terpaksa berhenti sekolah karena ayahnya meninggal dan kekurangan biaya,” tulis Winarti pada program Kick Andy. “Nico menjadi anak baik karena sebuah novel. Novel itu adalah Laskar Pelangi.”
Kasus tobatnya Nico setelah membaca LP merupakan petunjuk bahwa LP telah terbukti dapat dimanfaatkan sebagai sarana pendidikan karakter bagi anak bangsa. Dalam hal ini sebagai sarana untuk menanamkan semangat untuk kembali hidup sehat (pendidikan karakter yang berkaitan dengan diri sendiri, yakni bergaya hidup sehat) dan kembali mau menuntut ilmu (pendidikan karakter yang juga berkaitan dengan diri sendiri, yakni bekerja keras).
Di Cirebon, guru honorer SD Negeri Pamijahan, bernama Maisaroh, tak peduli lagi besar gaji atau peluangnya diangkat jadi pegawai negeri. Setelah membaca Laskar Pelangi, ia makin bersemangat memotivasi murid-muridnya yang sebagian besar anak buruh pengayam rotan. Soal rezeki, ia serahkan kepada pada keadilan Tuhan. Semangat Maisaroh tercambuk oleh dedikasi Bu Muslimah, yang gaji dan fasilitasnya jauh lebih memprihatinkan, namun bisa memompa semangat muridnya, hingga ada yang mampu meraih gelar master di Eropa. Kebahagian tertinggi Maisaroh ini kini adalah bagaimana muridnya tidak lagi putus sekolah, selepas SD, masih mau melanjutkan ke jenjang SMP (Karni, 2008:2-3).
Bagi Maisaroh, LP telah membangkitkan karakternya sebagai guru yang berakhlak mulia dan berguna bagi orang lain. Maisaroh bersedia hidup pas-pasan dengan gaji yang kecil demi menjaga semangat anak didiknya agar tetap mau sekolah meskipun hidup berada di bawah tekanan kemiskinan yang begitu ekstrim menderanya (pendidikan karakter yang berkaitan dengan Tuhan Yang Maha Esa, yakni bekeyakinan sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya, dan pendidikan karakter yang berkaitan dengan sesama manusia, yakni berguna bagi orang lain).
Sementara itu, di tempat lain, sejumlah pemuda yang selalu resah mengutuk nasib tiba-tiba mendapat kekuatan batin baru untuk bangkit dari mental cengeng. Kalangan marginal, yang selama ini tidak diperhitungkan, sehingga minder dan inferior, mendapat suntikan kepercayaan diri baru yang menyalak-nyalak. Orang tua jadi punya cara menuturi anak-anaknya. Pasangan muda-mudi jadi punya bahasa untuk mengungkapkan cinta. Bahkan, gubernur, bupati, walikota, jadi punya inovasi baru untuk memompa stamina warga yang lesu. Itulah situasi yang oleh sejumlah orang dinamakan fenomena Laskar Pelangi. Tetralogi karya Andrea Hirata ini telah mengalami multi level marketing spirit. Semangat pantang menyerah telah bergulir efektif dari mulut ke mulut. Tengah terjadi interaksi diam-diam membentuk etos public yang kuat (Karni, 2008:7-8).
Fakta yang dipaparkan di atas menunjukkan bahwa LP telah menjadi pemicu terbentuknya kembali karakter mental mandiri yang selama ini hilang entah ke mana di dalam rimba psikologis mereka (pendidikan karakter yang berkaitan dengan diri sendiri, yakni mandiri dan percaya diri.
Mira Lesmana (dalam Karni, 2008:155-156) memberi kesaksian bahwa “Laskar Pelangi adalah potret genuine orang Indonesia yang pantang menyerah. Laskar Pelangi adalah cerita tentang kaum underdog, orang yang tidak dipertimbangkan, mereka yang hidupnya dikotak-kotakkan, dan dianggap tidak mampu. Tapi, spirit mereka luar biasa membuat kita merindukan kembali orang Indonesia. Inilah orang Indonesia. Spirit bangsa ini harus dibangun kembali.”
Bagi Mira Lesmana, karakter tahan banting, ulet, pantang menyerah, dan penuh semangat itulah sifat asli orang Indonesia, yang diwariskan nenek moyang nusantara. “Itulah orang Indonesia yang sesungguhnya. Tidak gampang menyerah, walaupun dikotak-kotakkan oleh nasib, tapi maju terus,” katanya dalam diskusi buku di Istora Senayan Jakarta, awal Juli 2008 (Karni, 2008:156-157).
Mengikuti pandangan Mira Lesmana di atas, LP merupakan karya sastra yang tak pelak lagi memenuhi criteria sebagai karya sastra yang dapat dimanfaatkan sebagai sarana pendidikan karakter bagi segenap anak bangsa di segala tingkatan. Dalam hal ini dapat dimanfaatkan untuk memupuk sikap mental yang unggul yakni pantang menyerah menghadapi situasi social yang tidak menguntungkan (tidak kondusif atau tanpa posisi tawar yang memadai). Pendidikan karakter ini sejalan dengan tujuan pendidikan nasional yang mulia, yakni menanamkan sikap mandiri (pendidikan karakter yang berkaitan dengan diri sendiri, yakni rasa percaya diri, nekerja keras, dan mandiri).
Selanjutnya, Karni (2008:157) menuliskan bahwa di antara sumbangan fenomenal tetralogi LP adalah membangkitkan passion bangsa ini yang original, yang masih hidup sebagai pegangan dalam masyarakat pedalaman, termasuk di Belitong Timur tahun 1970-an, yang masih alami, belum banyak ternoda anasir buruk luar.
Fighting spirit adalah salah satu inspirasi (pendidikan karakter, TNG) yang diangkat sebagai tema dalam novel Laskar Pelangi. Spirit untuk survive yang bergelora di kalangan anak-anak underdog, anak-anak yang tidak diperhitungkan (Karni, 2008:180). Inti pendidikan menurut Andrea Hirata, bukan sekadar kemudahan sarana pendukung, tetapi juga tercapainya pembentukan karakter (Karni, 2008:196).
LP merupakan contoh karya sastra yang dapat dimanfaatkan sebagai sarana pendidikan karakter segenap anak bangsa di berbagai tingkatan. Melalui LP, Andrea Hirata mengajarkan kepada segenap anak bangsa bahwa kita harus bijak menyikapi stereo tipe yang buruk. Kita tidak boleh menerima begitu saja kesan umum negative tentang diri dan komunitas kita yang dilekatkan bertahun-tahun entah oleh siapa. Kita tidak boleh pasrah dan larut dalam arus utama yang tidak kontruktif. Semua itu bisa diubah jadi lebih baik, asal ada kemauan yang kuat (Karni, 2008:173).
Senafas dengan itu, dalam kaitannya dengan usaha kita bersama untuk menggalakkan kembali pendidikan karakter segenap anak bangsa, kita tidak boleh menyerah apalagi putus asa. Usaha yang kita lakukan sekarang ini insya Allah akan dituai hasilnya pada 10-20 tahun yang akan datang. Jika kita tidak berbuat apa-apa sekarang ini, maka dapat dipastikan karakter segenap anak bangsa kita akan tetap bobrok, dan butuh waktu lama untuk merehabilitasinya.

BAHAN RUJUKAN
Azzet, Akhmad Muhaimin, 2011. Urgensi Pendidikan Karakter di Indonesia. Jogjakarta : Penerbit Ar Ruzz Media.
Karni, Asrori S.2008. Laskar Pelangi : The Phenomenon. Jakarta : Penerbit Hikmah (PT Mizan Publika)



























Selasa, 22 Mei 2012

MENGUAK DIKSI-DIKSI YANG DAHSYAD DALAM PUISI ARIFFIN NOOR HASBY BERJUDUK FRAGMEN KOTA

Oleh Tajuddin Noor Ganie Dosen Mata Kuliah Kajian Puisi PBSID STKIP PGRI Banjarmasin

Ariffin Noor Hasby (ANH), mulai menulis puisi, dan esei sastra sejak tahun 1980-an. Publikasi puisinya tersebar di berbagai koran/majalah terbitan Banjarmasin, Yogyakarta, Jakarta, Bandar Seri Begawan, dan Jerman. Puisi-puisinya ikut dimuat dalam banyak antologi bersama. Tidak hanya yang terbit di kota-kota besar di Kalsel, seperti Banjarmasin, Banjarbaru, Tanjung, Kotabaru, Marabahan, dan Barabai, tetapi juga yang terbit di Samarinda dan Jakarta.

Reputasinya sebagai sastrawan nasional sudah diresmikan tidak saja melalui forum-forum penting yang melibatkan dirinya, seperti Cakrawala Sastra Indonesia di TIM Jakarta (2005). Tetapi juga diresmikan melalui pemuatan biografi kesastrawanannya dalam sejumlah buku referensi sastra, seperti Leksikon Susastra Indonesia (Korie Layun Rampan, 2000), Buku Pintar Sastra Indonesia (Pamusuk Eneste, 2001), dan Ensiklopedi Sastra Indonesia (Hasanuddin WS dkk, 2007).

Terus terang, sebagai peminat puisi, saya sejak lama terpikat atau lebih tepatnya terbuai dengan diksi yang diolah ANH. Diksi dalam puisi-puisi ANH sangat unik, antik, istimewa, dan mengejutkan. Dalam hal ini saya sering menyebutnya sebagai diksi yang dahsyad.

Diksi adalah pemilihan kata-kata yang dilakukan oleh penyair dalam puisinya. Karena puisi adalah bentuk karya sastra yang dengan sedikit kata-kata dapat mengungkapkan banyak hal, Diksi menjadi begitu penting dalam proses kreatif penulisan puisi, karena setiap penyair dituntut oleh profesinya itu untuk selalu melakukan pemilihan, pemilahan, dan pengolahan kata-kata dengan secermat mungkin hingga ke taraf yang paling ekstrim.

Pemilihan kata dalam puisi berhubungan erat dengan tuntutan makna dan keselarasan bunyi. Pilihan kata akan mempengaruhi ketepatan makna dan keselarasan bunyi. Pemilihan kata berhubungan erat dengan latar belakang penyair. Semakin luas wawasan estetik penyairnya, maka akan semakin kaya dan berbobot kata-kata yang digunakannya.

Kata-kata dalam puisi tidak hanya sekadar kata-kata yang dihafalkan, tetapi sudah mengandung pandangan hidup penyairnya. Penyair yang relegius akan menggunakan kosa kata yang berbeda dengan penyair yang sosialis. Penyair yang berasal dari Yogyakarta akan berbeda pilihan katanya dengan penyair yang berasal dari Tapanuli (Batak).

Penyair yang berprofesi sebagai dokter akan berbeda pilihan katanya dengan penyair yang berprofesi sebagai anggota ABRI, guru, pedagang, pegawai negeri sipil, pengacara, pengusaha, polisi, tukang, atau profesi yang lainnya. Tidak hanya itu, kata-kata dalam puisi juga mencerminkan situasi dan kondisi kejiwaan atau perasaan hati penyairnya ketika melakukan proses kreatif penulisan puisinya dimaksud, seperti bahagia, cemas, gelisah, kalut, khawatir, marah, resah, riang, takut, atau tegang.

Penyair harus cermat memilih kata-kata dalam puisinya. Hal ini berkaitan dengan keberadaan bahasa dalam puisi yang kaya akan makna simbolik, bermakna konotatif, asosiatif, dan sugestif.  Menurut Ganie (2009), Pradopo (1999:101), menyebut gejala semacam ini sebagai penyimpangan terhadap sistem tata bahasa normatif. Tidak hanya aturan tata bahasa yang disiati penyair, tetapi juga kosa kata baku bahasa Indonesia.

Pemilihan dan penyusunan kata-kata dilakukan oleh penyair dengan cara yang sedemikian rupa itu ditujukan untuk menimbulkan imaginasi estetik yang diinginkannya. Barfield (1952:54) menyebut kata-kata dengan muatan imaginasi estetik itu sebagai diksi puitis (dalam Pradopo, 1999:54).

Jadi diksi menurut Pradopo (1999:54) dimaksudkan sebagai usaha penyair untuk mendapatkan kepuitisan atau untuk mendapatkan nilai estetik. Menurut Ganie (2009), kosa kata yang memenuhi kriteria sebagai kosa kata bernilai estetik adalah kosa kata ambigu yang bermakna asosiatif, konotatif, dan sugestif. Demi mencapai tujuan agar dapat dengan setepat-tepatnya menjelmakan pengalaman jiwanya, maka seorang penyair tidak dapat tidak harus memilih dengan cermat kosa kata yang akan disusunnya ke dalam larik-larik puisi karangannya.

Sekalipun pengalaman jiwanya itu bersifat personal, namun pengalaman jjiwa yang personal itu harus diekspresikan secara padat dan intens dengan mempergunakan sarana komunikasi puitis yang selaras dengan konvensi yang berlaku umum. Pradopo (1999:54) menyarankan agar penyair mempertimbangkan perbedaan arti kata yang sekecil-kecilnya dengan sangat cermat. Bahasa yang dipergunakan penyair bersifat khusus.

Penyair mungkin saja mempergunakan bahasa sehari-hari yang diberi makna baru. Dalam hal ini bahasa sehari-hari yang sudah diolah secara kreatif menjadi bahasa individual yang ekpresif (idiosycratic), yakni bahasa yang sudah mengalami pergantian makna, penyimpangan makna, dan sudah memiliki makna baru yang berbeda dengan makna asalnya. Bahasa puisi menjadi sulit dipahami makna muatan (denotatif) dan makna ikutannya (konotatif) karena dalam menulis puisi, seorang penyair tidak menitik-beratkan kepada kepentingan pragmatis fungsionalnya sebagai alat dalam praktik komunikasi yang informatif dan direktif, tetapi lebih menitik-beratkan kepada kepentingan estetisnya sebagai karya sastra yang kaya makna (ambigu).

FRAGMEN KOTA
kota yang liar batu-batu jalanan
memendam gemuruhnya dalam dingin rindu
setelah kabut pertama merobek pandang kembara

ngilu angin kemarau menjalari tulang belulang kota yang liar
jalan-jalan menemukan belantara terbakar di sana dalam belukar pikiran kita
setelah pengalaman itu, kita mengadukan sungai-sungai yang menghanyutkan cintamu
padahal kota yang liar ingin menghilirkan kenangannya, ke muara waktu dan kita mengiringinya
dengan tatapan cinta

(Majalah Hai Jakarta, Nomor 35/12/1988)


Ditemukan sejumlah diksi yang dahsyad dalam kutipan teks puisi di atas, yakni.

1. kota yang liar, paduan diksi yang lajim untuk kota, antara lain kota kota besar, kota buaya (Surabaya), kota agung (Amuntai), kota idaman (Banjarbaru), kota cantik (Palangka Raya), kota damai, kota indah, dan kota wali (Cirebon). Paduan diksi yang lajim untuk liar adalah alam liar, balapan liar, binatang liar, burung liar, kawasan liar, atau satwa liar. ANH dalam puisinya ini menggunakan paduan diksi kota yang liar. Kota dalam paduan diksi ini dipersonifikasikan menjadi manusia atau binatang, hanya manusia atau binatang saja yang bisa menyandang status liar. Diksi kota yang liar merujuk kepada kota yang tidak enak untuk ditinggali.

2. Kota yang liar sebagai kota yang tidak enak untuk ditinggali oleh aku lirik itu ternyata memiliki jalanan yang sepi dari lalu lalang kendaraan bermotor (batu-batu jalanan memendam gemuruhnya/dalam dingin rindu). Paduan diksi yang lajim untuk memendam antara lain memendam cinta, memendam duka, atau memendam rindu. ANH dalam puisinya ini menggunakan paduan diksi memendam gemuruhnya. Artinya jalanan (fasilitas umum) di kota liar adalah jalanan yang sepi dari gemuruh bunyi mesin kendaraan bermotor yang lalu lalang di atasnya. Tempat untuk memendam bunyi gemuruh mesin kendaraan bermotor tsb bukanlah tempat yang lajim, yakni di dalam dingin rindu. Paduan diksi yang lajim untuk dingin antara lain amat dingin, begitu dingin, dingin sekali, atau sangat dingin. ANH dalam puisinya ini menggunakan paduan diksi dingin rindu. Artinya rindu yang sudah tidak lagi bergejolak atau tidak lagi menggelora, dalam hal ini rindu aku lirik (kembara) terhadap kota liar ini adalah rindu yang sudah kehilangan greget, tidak sensitif, atau bahkan sudah tak bermakna lagi, kosong alias hampa. Semuanya itu terjadi setelah kabut pertama/merobek pandang kembara. Kabut yang merobek dalam puisi ini identik dengan sesuatu yang merusak, faktor negatif yang membuat aku lirik (kembara) merasa tak betah lagi tinggal di kota yang liar. Kabut pertama merupakan paduan diksi yang tak lajim, diksi lajim untuk kabut antara lain kabut asap. Diksi pertama merujuk kepada urutan peristiwa, ini berarti setelah kabut pertama, masih ada kabut yang lainnya, kabut kedua, kabutt ketiga dan kabut seterusnya. Diksi kabut pertama merobek pandang juga tak lajim. Kabut lajimnya bukan merobek pandang, tapi menutupi pandang. Pemakaian diksi merobek pandang (mata) bukan menutup pandang (mata) oleh ANH dalam puisi ini dimaksudkan untuk mempertegas potensi ancaman kabut sebagai faktor perusak kenyamanan hidup kembara di kota yang liar.

3. Ngilu angin kemarau/menjalari tulang belulang kota yang liar/jalan-jalan menemukan belantara terbakar di sana/dalam belukar pikiran/kita. Kota yang liar menjadi semakin tak enak untuk ditinggali aku lirik (kembara) karena tulang belulang kota itu sudah ngilu akibat dijalari oleh angin kemarau yang berhembus rutin di sana. Jalan-jalan yang sepi dari gemuruh bunyi mesin kendaraan bermotor yang lalu lalang di atasnya itu, pada akhirnya menemukan fakta bahwa semua hal atau faktor yang membuat kota ini menjadi liar bermuara pada kesembrawutan pikiran kita sebagai warga kota (belukar pikiran kita).

4. Setelah pengalaman (buruk) itu, kita mengadukan (segala masalah kepada) sungai-sungai yang menghanyutkan cintamu (mu adalah kota yang liar) padahal kota yang liar ingin menghilirkan kenangannya ke muara waktu, dan kita mengiringinya dengan tatapan cinta. Masih banyak puisi-puisi ANH yang lain yang juga mengangkat tema perkotaan sebagaimana halnya puisi Fragmen Kota. Jumlah tidak kurang dari 15 judul, yakni Aku Dengan Engkau Berkata, Bahasa Kota, Deru Kota, Ekstase Kota, Episode Kota Tua, Irama Kota, Irama Matahari, Kabar, Kesaksian, Kota Sungai, Lanskap Kota, Membaca Pikiran Kota, Sajak Pejalan Kaki, Sajak tentang Kota, dan Tentang Hujan, Semua puisi dimaksud juga sarat dimuati dengan diksi-diksi yang dahsyad khas ANH. Insya Allah dalam waktu dekat ANH akan meluncurkan antologi puisinya berjudul Kota yang Bersiul. Didalamnya akan dimuat puisi-puisi terbaik ANH yang ditulisnya sepanjang tahun 1980-2010.

MENGUAK DIKSI YANG DAHSYAD DALAM PUISI ARIFFIN NOOR HASBY BERJUDUL KOTA YANG BERSIUL

Oleh Tajuddin Noor Ganie Dosen Mata Kuliah Kajian Puisi PBSID STKIP PGRI Banjarmasin

Ariffin Noor Hasby (ANH), mulai menulis puisi, dan esei sastra sejak tahun 1980-an. Publikasi puisinya tersebar di berbagai koran/majalah terbitan Banjarmasin, Yogyakarta, Jakarta, Bandar Seri Begawan, dan Jerman. Puisi-puisinya ikut dimuat dalam banyak antologi bersama. Tidak hanya yang terbit di kota-kota besar di Kalsel, seperti Banjarmasin, Banjarbaru, Tanjung, Kotabaru, Marabahan, dan Barabai, tetapi juga yang terbit di Samarinda dan Jakarta.

 Reputasinya sebagai sastrawan nasional sudah diresmikan tidak saja melalui forum-forum penting yang melibatkan dirinya, seperti Cakrawala Sastra Indonesia di TIM Jakarta (2005). Tetapi juga diresmikan melalui pemuatan biografi kesastrawanannya dalam sejumlah buku referensi sastra, seperti Leksikon Susastra Indonesia (Korie Layun Rampan, 2000), Buku Pintar Sastra Indonesia (Pamusuk Eneste, 2001), dan Ensiklopedi Sastra Indonesia (Hasanuddin WS dkk, 2007).

Terus terang, sebagai peminat puisi, saya sejak lama terpikat atau lebih tepatnya terbuai dengan diksi yang diolah ANH. Diksi dalam puisi-puisi ANH sangat unik, antik, istimewa, dan mengejutkan. Dalam hal ini saya sering menyebutnya sebagai diksi yang dahsyad.

Diksi adalah pemilihan kata-kata yang dilakukan oleh penyair dalam puisinya. Karena puisi adalah bentuk karya sastra yang dengan sedikit kata-kata dapat mengungkapkan banyak hal, Diksi menjadi begitu penting dalam proses kreatif penulisan puisi, karena setiap penyair dituntut oleh profesinya itu untuk selalu melakukan pemilihan, pemilahan, dan pengolahan kata-kata dengan secermat mungkin hingga ke taraf yang paling ekstrim.

Pemilihan kata dalam puisi berhubungan erat dengan tuntutan makna dan keselarasan bunyi. Pilihan kata akan mempengaruhi ketepatan makna dan keselarasan bunyi. Pemilihan kata berhubungan erat dengan latar belakang penyair. Semakin luas wawasan estetik penyairnya, maka akan semakin kaya dan berbobot kata-kata yang digunakannya. Kata-kata dalam puisi tidak hanya sekadar kata-kata yang dihafalkan, tetapi sudah mengandung pandangan hidup penyairnya. Penyair yang relegius akan menggunakan kosa kata yang berbeda dengan penyair yang sosialis. Penyair yang berasal dari Yogyakarta akan berbeda pilihan katanya dengan penyair yang berasal dari Tapanuli (Batak). Penyair yang berprofesi sebagai dokter akan berbeda pilihan katanya dengan penyair yang berprofesi sebagai anggota ABRI, guru, pedagang, pegawai negeri sipil, pengacara, pengusaha, polisi, tukang, atau profesi yang lainnya.

Tidak hanya itu, kata-kata dalam puisi juga mencerminkan situasi dan kondisi kejiwaan atau perasaan hati penyairnya ketika melakukan proses kreatif penulisan puisinya dimaksud, seperti bahagia, cemas, gelisah, kalut, khawatir, marah, resah, riang, takut, atau tegang. Penyair harus cermat memilih kata-kata dalam puisinya. Hal ini berkaitan dengan keberadaan bahasa dalam puisi yang kaya akan makna simbolik, bermakna konotatif, asosiatif, dan sugestif. Menurut Ganie (2009), Pradopo (1999:101), menyebut gejala semacam ini sebagai penyimpangan terhadap sistem tata bahasa normatif. Tidak hanya aturan tata bahasa yang disiati penyair, tetapi juga kosa kata baku bahasa Indonesia.

Pemilihan dan penyusunan kata-kata dilakukan oleh penyair dengan cara yang sedemikian rupa itu ditujukan untuk menimbulkan imaginasi estetik yang diinginkannya. Barfield (1952:54) menyebut kata-kata dengan muatan imaginasi estetik itu sebagai diksi puitis (dalam Pradopo, 1999:54). Jadi diksi menurut Pradopo (1999:54) dimaksudkan sebagai usaha penyair untuk mendapatkan kepuitisan atau untuk mendapatkan nilai estetik.

Menurut Ganie (2009), kosa kata yang memenuhi kriteria sebagai kosa kata bernilai estetik adalah kosa kata ambigu yang bermakna asosiatif, konotatif, dan sugestif. Demi mencapai tujuan agar dapat dengan setepat-tepatnya menjelmakan pengalaman jiwanya, maka seorang penyair tidak dapat tidak harus memilih dengan cermat kosa kata yang akan disusunnya ke dalam larik-larik puisi karangannya. Sekalipun pengalaman jiwanya itu bersifat personal, namun pengalaman jjiwa yang personal itu harus diekspresikan secara padat dan intens dengan mempergunakan sarana komunikasi puitis yang selaras dengan konvensi yang berlaku umum.

Pradopo (1999:54) menyarankan agar penyair mempertimbangkan perbedaan arti kata yang sekecil-kecilnya dengan sangat cermat. Bahasa yang dipergunakan penyair bersifat khusus. Penyair mungkin saja mempergunakan bahasa sehari-hari yang diberi makna baru. Dalam hal ini bahasa sehari-hari yang sudah diolah secara kreatif menjadi bahasa individual yang ekpresif (idiosycratic), yakni bahasa yang sudah mengalami pergantian makna, penyimpangan makna, dan sudah memiliki makna baru yang berbeda dengan makna asalnya. Bahasa puisi menjadi sulit dipahami makna muatan (denotatif) dan makna ikutannya (konotatif) karena dalam menulis puisi, seorang penyair tidak menitik-beratkan kepada kepentingan pragmatis fungsionalnya sebagai alat dalam praktik komunikasi yang informatif dan direktif, tetapi lebih menitik-beratkan kepada kepentingan estetisnya sebagai karya sastra yang kaya makna (ambigu).

KOTA YANG BERSIUL

kota yang bersiul di malam hari itu mengingatkanku pada rimba kenangan tanah leluhur yang memikul gemuruh peradaban bayang-bayang rindu yang biru menggenapkan makna perjalananku : sepi yang panjang sementara beribu catatan purba tentang riak budaya, pijar belantara dan misteri manusia seperti terbuka sendirian menantang wajah sejarah yang merah padam o, siapakah yang terjaga dalam barisan kata-kata yang bertulang itu cakrawala tak mengirimkan isyarat kepadaku walau kota senantiansa bersiul malam hari mengalunkan kesetiaan tak bosan-bosan entah mengapa aku tak juga dapat mengerti kapan suara itu tiba atau berangkat dari pintu pendengaran? FISIP Unlam, Agt 1987 (SKH Pelita Jakarta, Minggu, 13 September 1987)

Ditemukan sejumlah diksi yang dahsyad dalam kutipan teks puisi di atas, yakni.

1. kota yang bersiul malam hari, paduan diksi yang lajim untuk kota, antara lain kota kota besar, kota buaya (Surabaya), kota agung (Amuntai), kota idaman (Banjarbaru), kota cantik (Palangka Raya), kota damai, kota indah, dan kota wali (Cirebon). Paduan diksi yang lajim untuk bersiul antara lain bersiul riang, burung bersiul, atau Gunadi bersiul. ANH dalam puisi ini menggunakan paduan diksi kota yang bersiul. Kota dalam paduan diksi ini dipersonifikasikan menjadi manusia atau burung, hanya manusia atau burung saja yang bisa bersiul. Diksi kota yang bersiul merujuk kepada kota yang enak untuk ditinggali, siul merujuk kepada suara-suara yang enak didengar. Orang Indonesia yang paling merdu siulannya adalah Gunadi (saya pernah membeli kasetnya berjudul Gunadi bersiul).

2. (Bunyi siulan yang merdu dimaksud membuat aku lirik menjadi teringat kepada) rimba kenangan (di) tanah leluhur. Paduan diksi yang lajim untuk rimba antara lain rimba belantara, dan rimba raya. Paduan diksi yang lajim untuk kenangan antara lain kenangan indah, dan kenangan lama, ANH dalam puisi ini menggunakan paduan diksi rimba kenangan. Rimba merujuk kepada nomina dalam jumlah banyak (dalam konteks ini banyak ditumbuhi pepohonan aneka jenis). Rimba kenangan artinya banyak kenangan. Diksi kota yang bersiul dalam puisi ANH ini merujuk kepada kota yang penuh kenangan manis bagi aku lirik.

3. yang memikul gemuruh peradaban. Paduan diksi yang lajim untuk memikul antara lain memikul beban, memikul keranda. Paduan diksi yang lajim untuk gemuruh, antara lain bunyi gemuruh, dan gemuruh ombak. Paduan diksi yang lajim untuk peradaban antara lain peradaban manusia. ANH dalam puisi ini menggunakan paduan diksi memikul gemuruh peradaban. Memikul merujuk kepada beban yang harus ditanggung atau masalah yang harus diatasi. Gemuruh merujuk kepada segala sesuatu yang tidak menyenangkan (mengganggu pendengaran). Peradaban merujuk kepada segala seesuatu yang kompleks. Ini berarti diksi kota yang bersiul dalam puisi ANH ini merujuk kepada kota yang harus memikul beban yang sulit ditanggung yakni beban yang kompleks.

4. bayang-bayang rindu yang biru. Paduan diksi yang lajim untuk bayang-bayang antara lain bayang-bayang tubuhmu. Paduan diksi yang lajim untuk rindu antara lain sangat rindu, rindu dendam, atau rindu sekali. Paduan diksi yang lajim untuk biru antara lain film biru, langit biru, atau laut biru. ANH dalam puisi ini menggunakan paduan diksi bayang-bayang rindu yang biru. Diksi bayang-bayang merujuk kepada segala sesuatu yang diangan-angankan, sedangkan diksi rindu yang biru merujuk kepada hal-hal yang berkonotasi keindahan (bermakna kesuksesan).

5. menggenapkan makna perjalananku. Paduan diksi yang lajim untuk menggenapkan antara lain menggenapkan jumlah. Paduan diksi yang lajim untuk makna antara lain makna hidup, atau makna kata. Paduan diksi yang lajim untuk perjalanan antara lain perjalanan hidup, perjalanan jauh, atau perjalanan ke akhirat. ANH dalam puisi ini menggunakan paduan diksi menggenapkan perjalananku, diksi ini merujuk kepada fungsi bayang-bayang rindu yang biru sebagai sarana yang membuat perjalanan hidupnya menjadi lebih berarti.

6. sepi yang panjang. Paduan diksi yang lajim untuk sepi antara lain sangat sepi, atau sepi sekali. Paduan diksi yang lajim untuk panjang antara lain panjang sekali, atau sangat panjang. ANH dalam puisi ini menggunakan paduan diksi sepi yang panjang, diksi ini merujuk kepada situasi dan kondisi yang tidak menyenangkan yang berlangsung dalam waktu lama.

7. sementara beribu catatan purba/tentang riak budaya, pijar belantara/dan misteri manusia seperti terbuka sendirian. Paduan diksi yang lajim untuk catatan antara lain catatan harian. Paduan diksi yang lajim untuk purba antara lain hewan purba, manusia purba, atau masa purba. ANH dalam puisi ini menggunakan paduan diksi sementara beribu catatan purba yang merujuk kepada peristiwa bersejarah yang saling tumpang tindih satu sama lainnya itu (yakni riak budaya, pijar belantara, dan misteri manusia) sekarang ini tidak lagi bersifat rahasia karena telah terungkap dengan sendirinya.

8. menantang wajah sejarah yang merah padam. Paduan diksi yang lajim untuk sejarah antara lain sejarah daerah, sejarah dunia, sejarah hidup, atau sejarah nasional. Paduan diksi merah padam sudah lajim digunakan, yang tidak lajim adalah paduan diksi wajah sejarah yang merah padam sebagaimana yang digunakan oleh ANH dalam puisi ini. Paduan diksi ini merujuk kepada masa lalu yang tidak menyenangkan, masa lalu yang penuh dengan konflik berdarah.

9. o, siapakah yang terjaga/dalam barisan kata-kata yang bertulang itu. Paduan diksi yang lajim untuk barisan antara lain barisan pemadam kebakaran, atau barisan tentara. Paduan diksi yang lajim untuk bertulang antara lain lidah tak bertulang. ANH dalam puisi ini menggunakan paduan diksi barisan kata-kata bertulang. Paduan diksi ini merujuk kepada hukum tertulis (kata-kata) yang dipatuhi orang, karena ada kekuatan (aparatur penegak hukum) yang dapat memaksa semua orang untuk mematuhinya (tulang).

10. cakrawala tak mengirimkan isyarat kepadaku/Walau kota senantiansa bersiul malam hari/mengalunkan kesetiaan tak bosan-bosan. Paduan diksi yang lajim untuk cakrawala antara lain cakrawala biru, atau cakrawala pandang. Paduan diksi isyarat yang lajim antara lain isyarat alam. ANH dalam puisi ini menggunakan paduan diksi cakrawala tak mengirimkan isyarat padaku. Cakrawala dipersonifikasikan sebagai manusia, hanya manusia yang lajim mengirimkan isyarat (peringatan). Tidak ada orang yang mengirimkan isyarat (peringatan) kepada aku lirik. Suatu hal yang sulit dipahami aku lirik karena fakta yang ada menunjukkan bahwa kota tak pernah alpa mengirimkan isyarat-isyaratnya dalam bentuk siulan (walau kota senantiansa bersiul malam hari). Siulan dimaksud tak mungkin dialpakannya karena siulan dalam konteks puisi ini merupakan tanda kesetiaan yang harus selalu dijaga (mengalunkan kesetiaan tak bosan-bosan).

11. entah mengapa aku tak juga dapat mengerti/kapan suara itu tiba atau berangkat/dari pintu pendengaran?. Paduan diksi yang lajim untuk suara antara lain suara bising, suara gaduh, suara merdu, atau suara sember. Paduan diksi yang lajim untuk pintu adalah daun pintu, pintu belakang, pintu depan, pintu gerbang, pintu hati, atau pintu tengah. ANH dalam puisi ini menggunakan paduan diksi suara tiba, artinya suara menjelma, (suara) berangkat, artinya suara hilang. Paduan diksi pintu pendengaran merujuk kepada telinga. Suara yang dimaksud dalam konteks puisi ini adalah suara yang menyenangkan (siulan kota) untuk didengarkan. Aku lirik mencemaskan datangnya saat-saat dimana suara dimaksud (entah kapan akan) hilang dari pendengarannya (berangkat dari pintu pendengaran).

Masih banyak puisi-puisi ANH yang lain yang juga mengangkat tema perkotaan sebagaimana halnya puisi Kota yang Bersiul. Jumlah tidak kurang dari 15 judul, yakni Aku Dengan Engkau Berkata, Bahasa Kota, Deru Kota, Ekstase Kota, Episode Kota Tua, Irama Kota, Irama Matahari, Kabar, Kesaksian, Kota Sungai, Lanskap Kota, Membaca Pikiran Kota, Sajak Pejalan Kaki, Sajak tentang Kota, dan Tentang Hujan.

Semua puisi dimaksud juga sarat dimuati dengan diksi-diksi yang dahsyad khas ANH. Insya Allah dalam waktu dekat ANH akan meluncurkan antologi puisinya berjudul Kota yang Bersiul. Didalamnya akan dimuat puisi-puisi terbaik ANH yang ditulisnya sepanjang tahun 1980-2010.

Senin, 30 April 2012

CINTA DI TEPI GEUMHO

Judul Buku : Cinta di Tepi Geumho
Pengarang : Mahmud Jauhari Ali
Penerbit : Penerbit Araska Yogyakarta
Tebal Buku : 143+V halaman Tahun : 2012

Citra bangsa Korea Selatan sebagai salah satu bangsa yang unggul di dunia telah semakin mantap mengkristal. Lihatlah bagaimana orang-orang di segenap penjuru dunia begitu tergila-gila dengan Korea Pop. Para bintang film dan penyanyi Korea Selatan telah menjadi idola baru yang membuat para muda-mudi menjadi histeris setiap kali menyambut kedatangan mereka di bandar udara atau ketika menyaksikan mereka beraksi di panggung-panggung yang glamor. Mobil-mobil terbaru produksi Korea Selatan semakin hari semakin merajalela memadati segenap jalan raya dan jalan tol di manca negara termasuk di Amerika Serikat. Ilmu bela diri Korea Selatan, yakni Taekwondo, telah dipelajari orang di mana-mana. Kampus-kampus terkemuka di belahan dunia seolah-olah berlomba menyediakan tempat dan fasilitas pendukung lainnya untuk menampung buku-buku berbahasa Korea atau berbahasa Inggeris yang mengupas tentang keunggulan bangsa Korea Selatan. Semuanya menjadi semakin mantap lagi ketika 2 orang putra terbaik bangsa Korea Selatan berhasil menduduki tampuk kepemimpinan sebagai Sekjen PBB (Ban Ki Mon) dan Direktur Bank Dunia (Jim Yong Kim, warga Negara Amerika Serikat keturunan Korea Selatan) mengalahkan calon dari Indonesia yang sempat santer disebut-sebut Sri Muljani Indrawati. Fenomena semacam itu ternyata juga menggejala dengan sangat kuatnya (signifikan) di kalangan para penulis karya sastra populer di tanah air kita. Ratusan atau bahkan ribuan novel popular bertema Korea Selatan telah ditulis dan diterbitkan orang di tanah air kita. Semakin lama tren ini bukannya semakin menyurut sebaliknya malah semakin menanjak. Boming novel populer bertema Korea Selatan ini rupa-rupanya telah menggugah energi kreatif sastrawan Kalsel Mahmud Jauhari Ali (MJA), tanpa gembar-gembor ia telah berhasil menyelesaikan novelnya berjudul Cinta di tepi Geumho (CdtG). Beruntung, Penerbit Araska Yogyakarta kemudian bersedia menerbitkannya dan menyebar-luaskannya ke seluruh Indonesia, termasuk ke kota Banjarmasin (novel ini antara lain dipajang di Toko Buku Gramedia Veteran Banjarmasin dan Gramedia Duta Mall Banjarmasin). Sungguh, ini prestasi anak banua yang patut dirayakan. Novel CdtG bercerita tentang kisah cinta antara Son Chae Hyang (SCH) dan Muhammad Kim Jun So (MKJS). SCH adalah seorang gadis muslimat berkebangsaan Korea Selatan. Wajahnya cantik, secantik bintang filem Song Hye Kyo. Tuntutan tugasnya sebagai peneliti muda di bidang bahasa membuatnya harus datang ke desa Kuripan, Barito Kuala, Kalsel. Sementara itu JS adalah seorang jejaka berusia 24 tahun, ia seorang blasteran, ayahnya seorang peneliti berasal dari Korea Selatan dan ibunya orang Dayak Ngaju. Wajahnya tampan, lebih tampan dibandingkan dengan bintang film Won Bin Sebelum bertemu dengan SCH, MKJS sudah dua kali mengunjungi Korea Selatan untuk bertemu dengan kakek, nenek, paman, bibi, dan saudara sepupunya yang tinggal di Daego. Ia adalah seorang atlet Taekwondo yang pernah mengukir prestasi membanggakan sebagai peraih medali emas di Olimpiade 2008.. Piala kemenangan MKJS sebagai atlet Taekwondo berprestasi tingkat dunia itu masih disimpan di ruang guru Madrasah Aliyah Kuripan. Gara-gara piala itulah SCH tertarik untuk bertemu MKJS. Selain melakukan penelitian, SCH juga berkenan menjadi guru bahasa Inggeris di Madrasah Aliyah Kuripan (di madrasah inilah MKJS dulu menuntut ilmu). Setelah bertemu keduanya lalu saling jatuh cinta. Ketika bertemu SCH, MJKS sedang ada masalah dengan kedua kakinya, dua tahun yang lalu ia mengalami kecelakaan fatal, sepeda motornya tanpa sengaja masuk kedalam kubangan besar di tengah jalan desa yang dilaluinya, akibatnya sudah dua tahun ia harus mengurung diri di rumah karena kakinya tak bisa digunakan untuk berjalan. Kemana-mana ia harus menggunakan kursi roda. Namun, kecelakaan itu rupanya membawa hikmah tersendiri baginya karena ia bisa menggunakan seluruh waktunya untuk menyelesaikan penulisan bukunya berjudul Taekwondo dan Kebudayaan Korea di Kalimantan Selatan (ditulis dengan huruf hanguel dan dalam bahasa Korea Selatan). Buku dimaksud kemudian diterbitkan oleh Penerbit Woongjin.com di Seoul. Pihak penerbit sangat antusias dengan buku karangan MJKS ini karena orang Korea Selatan juga gemar membaca buku-buku yang berisi cerita tentang sambutan hangat yang diberikan oleh khalayak ramai di mancanegara atas kebudayaan Korea Selatan. Sama seperti halnya dengan bangsa Indonesia, bangsa Korea Selatan rupanya juga memiliki sisi-sisi narsis kolektif yang manusiawi. Hehehe. Setelah menyelesaikan penelitiannya, SCH pulang kembali ke Korea Selatan, tepatnya ke Jangho. Baik SCH maupun MJKS saling memendam rindu. Tapi apa daya, mereka terpisah jarak yang begitu jauh. SCH mencoba membuka kontak dengan MJKS melalui komentar-komentarnya di bawah tulisan-tulisan MJKS yang ada di blog. MJKS juga mencoba menghubungi SCH melalui nomor ponselnya, tapi tak pernah ada jawaban. Tidak berselang lama MJKS diundang ke Korea Selatan, bukunya ternyata laris manis Ia diundang untuk memberikan ceramah di berbagai kampus terkemuka di Korea Selatan. Sangat disayangkan meskipun sudah berada di Korea Selatan, MJKS tak kunjung bisa menghubungi SCH, padahal ia ingin sekali bertemu dengan SCH. Pada saat hatinya tengah galau begitu, MJKS berkenalan dengan Shi Yu Jeon (SYJ) yang tidak lain adalah sepupunya sendiri. SYJ berwajah cantik dan berprofesi sebagai seorang dokter spesialis tulang. Sejak hari pertama kedatangannya di di Korea Selatan MJKS dirawat dan dilatih oleh SYJ. Berkat perawatan dan latihan yang diberikan SYJ, ada kemajuan dengan kaki MJKS, ia sudah mulai bisa berjalan. Diam-diam SYJ ternyata mencintai MJKS. Pertanyaannya sekarang, apakah hubungan cinta MJKS dengan SCH akan putus di tengah jalan, dan apakah SYJ berhasil menempati ruang dalam di hati MJKS sebagai pengganti SCH? Jika anda penasaran akan lebiuh baik jika anda membaca sendiri novel karya anak banua ini (Tajuddin Noor Ganie, M. Pd). Berita 2 CINTA DI TEPI GEUMHO Judul Buku : Cinta di Tepi Geumho Pengarang : Mahmud Jauhari Ali Penerbit : Penerbit Araska Yogyakarta Tebal Buku : 143+V halaman Tahun : 2012 Citra bangsa Korea Selatan sebagai salah satu bangsa yang unggul di dunia telah semakin mantap mengkristal. Lihatlah bagaimana orang-orang di segenap penjuru dunia begitu tergila-gila dengan Korea Pop. Para bintang film dan penyanyi Korea Selatan telah menjadi idola baru yang membuat para muda-mudi menjadi histeris setiap kali menyambut kedatangan mereka di bandar udara atau ketika menyaksikan mereka beraksi di panggung-panggung yang glamor. Mobil-mobil terbaru produksi Korea Selatan semakin hari semakin merajalela memadati segenap jalan raya dan jalan tol di manca negara termasuk di Amerika Serikat. Ilmu bela diri Korea Selatan, yakni Taekwondo, telah dipelajari orang di mana-mana. Kampus-kampus terkemuka di belahan dunia seolah-olah berlomba menyediakan tempat dan fasilitas pendukung lainnya untuk menampung buku-buku berbahasa Korea atau berbahasa Inggeris yang mengupas tentang keunggulan bangsa Korea Selatan. Semuanya menjadi semakin mantap lagi ketika 2 orang putra terbaik bangsa Korea Selatan berhasil menduduki tampuk kepemimpinan sebagai Sekjen PBB (Ban Ki Mon) dan Direktur Bank Dunia (Jim Yong Kim, warga Negara Amerika Serikat keturunan Korea Selatan) mengalahkan calon dari Indonesia yang sempat santer disebut-sebut Sri Muljani Indrawati. Fenomena semacam itu ternyata juga menggejala dengan sangat kuatnya (signifikan) di kalangan para penulis karya sastra populer di tanah air kita. Ratusan atau bahkan ribuan novel popular bertema Korea Selatan telah ditulis dan diterbitkan orang di tanah air kita. Semakin lama tren ini bukannya semakin menyurut sebaliknya malah semakin menanjak. Boming novel populer bertema Korea Selatan ini rupa-rupanya telah menggugah energi kreatif sastrawan Kalsel Mahmud Jauhari Ali (MJA), tanpa gembar-gembor ia telah berhasil menyelesaikan novelnya berjudul Cinta di tepi Geumho (CdtG). Beruntung, Penerbit Araska Yogyakarta kemudian bersedia menerbitkannya dan menyebar-luaskannya ke seluruh Indonesia. Saya lihat buku ini dipajang di Toko Buku Gramedia Veteran Banjar dan Gramedia Duta Mall Banjarmasin. Sungguh, ini prestasi anak banua yang patut dirayakan. Novel CdtG bercerita tentang kisah cinta antara Son Chae Hyang (SCH) dan Muhammad Kim Jun So (MKJS). SCH adalah seorang gadis muslimat berkebangsaan Korea Selatan. Wajahnya cantik, secantik bintang filem Song Hye Kyo. Tuntutan tugasnya sebagai peneliti muda di bidang bahasa membuatnya harus datang ke desa Kuripan, Barito Kuala, Kalsel. Sementara itu JS adalah seorang jejaka berusia 24 tahun, ia seorang blasteran, ayahnya seorang peneliti berasal dari Korea Selatan dan ibunya orang Dayak Ngaju. Wajahnya tampan, lebih tampan dibandingkan dengan bintang film Won Bin Sebelum bertemu dengan SCH, MKJS sudah dua kali mengunjungi Korea Selatan untuk bertemu dengan kakek, nenek, paman, bibi, dan saudara sepupunya yang tinggal di Daego. Ia adalah seorang atlet Taekwondo yang pernah mengukir prestasi membanggakan sebagai peraih medali emas di Olimpiade 2008.. Piala kemenangan MKJS sebagai atlet Taekwondo berprestasi tingkat dunia itu masih disimpan di ruang guru Madrasah Aliyah Kuripan. Gara-gara piala itulah SCH tertarik untuk bertemu MKJS. Selain melakukan penelitian, SCH juga berkenan menjadi guru bahasa Inggeris di Madrasah Aliyah Kuripan (di madrasah inilah MKJS dulu menuntut ilmu). Setelah bertemu keduanya lalu saling jatuh cinta. Ketika bertemu SCH, MJKS sedang ada masalah dengan kedua kakinya, dua tahun yang lalu ia mengalami kecelakaan fatal, sepeda motornya tanpa sengaja masuk kedalam kubangan besar di tengah jalan desa yang dilaluinya, akibatnya sudah dua tahun ia harus mengurung diri di rumah karena kakinya tak bisa digunakan untuk berjalan. Kemana-mana ia harus menggunakan kursi roda. Namun, kecelakaan itu rupanya membawa hikmah tersendiri baginya karena ia bisa menggunakan seluruh waktunya untuk menyelesaikan penulisan bukunya berjudul Taekwondo dan Kebudayaan Korea di Kalimantan Selatan (ditulis dengan huruf hanguel dan dalam bahasa Korea Selatan). Buku dimaksud kemudian diterbitkan oleh Penerbit Woongjin.com di Seoul. Pihak penerbit sangat antusias dengan buku karangan MJKS ini karena orang Korea Selatan juga gemar membaca buku-buku yang berisi cerita tentang sambutan hangat yang diberikan oleh khalayak ramai di mancanegara atas kebudayaan Korea Selatan. Sama seperti halnya dengan bangsa Indonesia, bangsa Korea Selatan rupanya juga memiliki sisi-sisi narsis kolektif yang manusiawi. Hehehe. Setelah menyelesaikan penelitiannya, SCH pulang kembali ke Korea Selatan, tepatnya ke Jangho. Baik SCH maupun MJKS saling memendam rindu. Tapi apa daya, mereka terpisah jarak yang begitu jauh. SCH mencoba membuka kontak dengan MJKS melalui komentar-komentarnya di bawah tulisan-tulisan MJKS yang ada di blog. MJKS juga mencoba menghubungi SCH melalui nomor ponselnya, tapi tak pernah ada jawaban. Belakangan baru diketahui bahwa ponsel SCH telah hilang ketika ia melakukan penelitian di desa Kuripan dulu. Tidak berselang lama MJKS diundang ke Korea Selatan, bukunya ternyata laris manis Ia diundang untuk memberikan ceramah di berbagai kampus terkemuka di Korea Selatan. Di Korea Selatan MJKS bertemu dengan Shi Yu Jeon (SYJ) yang tidak lain adalah sepupunya sendiri. SYJ berwajah cantik dan berprofesi sebagai seorang dokter spesialis tulang. Sejak hari pertama kedatangannya di di Korea Selatan MJKS dirawat dan dilatih oleh SYJ. Berkat perawatan dan latihan yang diberikan SYJ, ada kemajuan dengan kaki MJKS, oa sudah mulai bisa berjalan. Ketika berada di Seoul, MJKS menerima pesan dari Kepala Madrasah Aliyah Kuripan bahwa ada seseorang menemukan ponsel milik SCH. MJKS meminta pak kepala madrasah untuk mengirimkan semua nomor kontak yang ada di dalam ponsel SCH. Berkat nomor kontak itulah MJKS berhasil mengontak SCH. Ternyata SJH juga sedang berada di Seoul. Mereka akhirnya bertemu di Universitas Nasional Seoul. Tapi, tak berselang lama terjadi konflik antara SCH dan SYJ. SCH yang dibakar cemburu lantas meninggalkan pertemuan dengan sikap tak bersahabat, MJKS berulang kali menghubunginya, tapi tak pernah dibalasnya. Lama baru SCH mau membalas sms yang dikirimkan MJKS. Tapi, konflik belum berakhir, SYJ secara sepihak mengklaim bahwa dirinya telah dijodohkan dengan MJKS oleh orang tua mereka masing-masing. Hal ini disampaikan langsung oleh SYJ yang datang menemui SCH di tempat kerjanya. SYJ meminta agar SCH menjauhi MJKS. SCH pingsan mendengarnya dan harus dirawat beberapa hari di rumah sakit. SMKS merasa heran dengan sikap SCH yang tak mau membalas kontaknya, Namun, dalam suatu kesempatan berbalas sms dengan SCH, MJKS mengetahui bahwa SYJ telah mengklaim dirinya sebagai tunangan MJKS, itulah sebabnya mengapa SCH bersikap mengambil jarak dengannya. Belakangan MJKS berhasil memaksa SYJ mengakui perbuatannya dan meminta maaf kepada MJKS. MJKS bersedia memaafkan dengan syarat SYJ mau mengantarkannya menemui SCH di kantornya. Tapi, SCH menolak kedatangan mereka. Demi menebus kesalahannya SYJ berusaha untuk menemui SCH, gagal bertemu di kantor, SYJ menemui SCH di rumah orang tuanya di desa Jangho. SYJ mengakui kebohongan klaimnya tempo hari, SCH memaafkannya. Keduanya lalu saling berangkulan sebagaimana layaknya dua sahabat. Cerita berakhir bahagia, MJKS menikahi SCH, kakinya pulih seperti sedia kala, dan ia diterimna mengajar sebagai dosen bahasa Indonesia di Universitas Yonsei.Pernikahan MJKS dan SCH dilangsungkan di tepi Sungai Geumho sebagaimana yang selama ini diimpikan oleh MJKS. Selain alurnya, CdtG juga menarik karena didalamnya pengarang begitu banyak menggambarkan keindahan tempat-tempat di Korea Selatan, permakaian bahasa Korea Selatan yang digunakan para tokoh cerita ketika mereka berdialog satu sama lain sangat menghidupkan suasana cerita. Konfliknya dijalin dengan sangat cermat. Konon, dalam waktu dekat novel MJA yang lain akan segera diluncurkan oleh penerbit yang sama. Berita ini menyiratkan bahwa novel MJA yang tengah diresensi ini telah menuai sukses besar secara financial sehingga penerbitnya tanpa ragu menerbitkan novel MJA berikutnya. Salam sukses buat MJA (Tajuddin Noor Ganie, M.Pd).

Senin, 13 Februari 2012

REVIEW BUKU NOVEL SEJARAH TENTANG MASJID SULTAN SURIANSYAH

Judul Buku : Tegaknya Masjid Kami
Genre : Novel Sejarah
Pengarang : Tajuddin Noor Ganie
Penerbit : Tuas Media Kertak Hanyar
Tahun Terbit : 2011
Tebal Buku : 56+xi

Tidak lama setelah mengucapkan sabda pandita ratu bahwa yang berhak menggantikannya kelak bukanlah anaknya Pangeran Temenggung tapi adalah cucunya Pangeran Samudera, Maharaja Sukarama raja di raja Tanah Banjar yang berkuasa di Kerajaan Negara Daha meninggal dunia karena usia tua.
Ketika Maharaja Sukamara meninggal dunia, Pangeran Temengung yang jauh lebih berpengalaman sebagai seorang politikus, dengan mudah berhasil menguasai keadaan. Dalam tempo singkat ia berhasil menguasai komando atas armada perang dan semua sektor vital lainnya yang memungkinkannya dapat berkuasa secara mutlak di Kerajaan Negara Daha.
Pangeran Samudera yang sudah kalah segala-galanya terpaksa menyetujui saran Patih Arya Taranggana untuk pergi meninggalkan Istana Daha secara diam-diam guna menyelamatkan dirinya dari ancaman pembunuhan yang akan dilakukan oleh kaki-tangan Pangeran Temengung.
Pangeran Samudera segera pergi meninggalkan Istana Daha dengan cara mengayuh perahu sendirian. Sejak Pangeran Temenggung berkuasa secara tidak sah di Kerajaan Negara Daha, maka Pangeran Samudera terpaksa hidup dengan cara menyamarkan diri sebagai seorang nelayan sungai bernama Samidri di daerah Muara Banjar. Daerah Muara Banjar ketika itu diperintah oleh Patih Masih.
Pangeran Samudera sengaja pergi ke daerah Muara Banjar karena menurut informasi intelijen, Patih Masih adalah seorang kepala daerah yang tetap setia kepada sabda pandita ratu Maharaja Sukamara.
Dalam suatu kesempatan ia berkenalan dengan Patih Masih. Begitu mengetahui bahwa Samidri tidak lain adalah Pangeran Samudera, maka Patih Masih kemudian menobatkannya sebagai raja di raja Tanah Banjar, yakni sebagai tandingan Pangeran Temenggung.
Begitu mengetahui bahwa Pangeran Samudera sudah dinobatkan sebagai raja tandingan di Muara Banjar, maka Pangeran Temenggung segera mengirimkan armada perangnya untuk menggempur Muara Banjar yang dijadikan sebagai pusat pemerintahan oleh Pangeran Samudera.
Begitulah, perang saudara antara pasukan perang yang setia kepada Pangeran Temenggung melawan pasukan yang setia kepada Pangeran Samudera segera pecah dan berlangsung dalam suasana panas sehingga banyak menimbulkan korban di kedua belah pihak.
Atas saran Patih Masih, Pangeran Samudera kemudian meminta bantuan pasukan perang kepada Sultan Terenggono raja di raja di tanah Jawa. Sultan Terenggono bersedia memberikan bantuan pasukan perang dengan syarat Pangeran Samudera bersedia memeluk agama Islam jika kelak berhasil mengalahkan Pangeran Temenggung dalam perang saudara itu.
Syarat itu diajukan berkaitan dengan status Sultan Terenggono yang ketika itu adalah raja yang berkuasa di Kerajaan Demak, yakni Kerajaan Islam yang baru saja berhasil menggusur kekuasaan Kerajaan Majapahit atas Tanah Jawa dan sekitarnya.
Pangeran Samudera menyetujui syarat itu, Sultan Terenggono segera mengirimkan pasukan perangnya di bawah komando Khatib Dayan, seorang panglima perang yang selain dikenal tangguh sebagai juru perang juga dikenal tangguh sebagai seorang juru dakwah.
Selain dibantu oleh pasukan perang dari luar negeri, Pangeran Samudera juga dibantu oleh para tokoh sakti mandraguna yang berasal dari Tanah Banjar sendiri, seperti : Patih Masih, Patih Muhur, Patih Mahit, Patih Balit, Panimba Sagara, Pambalah Batung, Garuntung Manau, Garuntung Waluh, Aria Malangkan, dan Awi Tadung (tentang apa dan siapa Awi Tadung diceritakan secara khusus dalam cerita bersambung ini).
Takdir ternyata memang berpihak kepada Pangeran Samudera, ia berhasil mengalahkan Pangeran Temenggung. Pada mulanya Pangeran Temenggung dijatuhi hukuman mati, tetapi hukumannya kemudian diubah menjadi hukuman pengasingan. Pangeran Samudera sendiri kemudian memproklamasikan berdirinya Kerajaan Banjar, sebuah kerajaan yang roda pemerintahannya dijalankan berdasarkan syariat Islam.
Memang, sesuai dengan janjinya kepada Sultan Terenggono, Pangeran Samudera segera memeluk agama Islam dan menjadikan agama Islam sebagai agama resmi di Kerajaan Banjar. Sejak itu Pangeran Samudera resmi mempergunakan nama Sultan Suriansyah.
Beberapa bulan setelah Kerajaan Banjar didirikan, Khatib Dayan menyarankan agar Sultan Suriansyah mendirikan sebuah masjid di pusat kota Muara Banjar. Saran itu disambut baik oleh Sultan Suriansyah.
Sultan Suriansyah kemudian menyelenggarakan sayembara pencarian empat batang kayu ulin yang akan dijadikan sebagai tiang guru masjid. Agar orang tergiur untuk mengikutinya, maka hadiah yang dijanjikan dalam sayembara itu sengaja ditetapkan dalam bentuk uang yang jumlahnya sangat besar.
Peserta sayembara yang pertama pertama terdiri dari dua orang bersaudara kembar, yakni Sutakil dan Sutakul, warga desa Mantuil. Kedunya pergi mencari kayu ulin dimaksud ke Pulau Kaget, sebuah pulau yang terletak di muara Sungai Barito yang terkenal angker karena pulau ini konon dijaga oleh sepasang jin kapir bernama Maskabal dan Maskabil.
Di Pulau Kaget ini mereka berhasil menemukan dan menebang dua batang kayu ulin yang memenuhi syarat untuk dijadikan sebagai tiang guru masjid. Tapi, keduanya terpaksa menerima nasib buruk, tubuh keduanya berubah wujud menjadi dua ekor naga setelah mereka memakan potongan bekas tebangan pohon ulin yang bila dibakar akan mengeluarkan bau daging dan ketika dimakan rasanya juga enak seperti daging bakar.
Ternyata potongan bekas tebangan pohon ulin yang mereka makan dimaksud tidak lain adalah perangkap maut yang sengaja dipasang oleh pasangan jin kapir Maskabal dan Maskabil yang menjadi penunggu Pulau Kaget.
Setelah berubah wujud menjadi dua ekor naga, Sutakil dan Sutakul lantas saling menyalahkan satu sama lain, selanjutnya keduanya lalu saling berkelahi. Akibat perkelahian itu, maka Sungai Barito pun bergelora, gelombang besar yang ditimbulkannya memporak-porandakan pemukiman penduduk yang tinggal di tepi kiri dan kanan Sungai Barito.
Mereka baru berhenti berkelahi setelah dilerai oleh Panimba Sagara, Pambalah Batung, Garuntung Manau, dan Garuntung Waluh (Menteri Empat di Kerajaan Banjar) yang datang ke tempat kejadian perkara atas perintah langsung dari Sultan Suriansyah.
Setelah mengetahui duduk persoalan yang sebenarnya, Panimba Sagara bersedia memulihkan wujud Sutakil dan Sutakul. Syaratnya, pemulihan wujud dimaksud baru dilakukan setelah naga jelmaan Sutakil dan Sutakul berhasil menggiring rakit bambu berisi muatan dua batang kayu ulin tebangannya hingga sampai ke lokasi pembangunan masjid.
Selain itu hadiah uang yang nantinya akan mereka terima dari Sultan Suriansyah juga harus dibagi dua. Satu bagian untuk mereka berdua, dan satu bagian lainnya diberikan kepada warga desa sebagai pengganti bangunan rumahnya yang hancur porak-poranda terkena gelombang besar Sungai Barito yang bergelora akibat perkelahian mereka berdua.
Sutakil dan Sutakul bersedia menerima syarat itu karena memang tidak ada pilihan lain. Wujud Sutakil dan Sutakul segera dipulihkan kembali setelah rakit bambu berisi muatan dua batang kayu ulin dimaksud tiba di tempat yang dituju, dan setelah Panimba Sagara berhasil menaklukan jin kapir Maskabal dan Maskabil.
Peserta sayembara yang ke-dua terdiri dari tiga orang bersaudara, yakni : Lamitak, Lamitik, dan lamituk, warga Kampung Taniran. Ketiganya pergi mencari kayu ulin dimaksud ke hutan di kaki Gunung Maratus yang terkenal angker karena banyak dihuni siluman macan.
Di kaki Gunung Maratus ini mereka berhasil menemukan dan menebang dua batang kayu ulin yang memenuhi syarat untuk dijadikan sebagai tiang guru masjid. Tapi, keberhasilan itu harus dibayar mahal dengan hilangnya nyawa Lamitik dan Lamituk di tangan macan siluman bernama Saguisik dan Saguisik yang sengaja mengubah wujudnya menjadi dua orang wanita cantik yang sangat menggoda birahi.
Hanya Lamitak saja yang selamat, karena ia memang bersikap lebih waspada dibandingkan dengan dua orang saudaranya. Lamitak tidak bersedia memakan kue ketan yang disuguhkan oleh Saguisak, wanita ke-satu yang juga adalah jelmaan dari seekor macan siluman sebagaimana halnya wanita ke-dua Saguisik dan wanita ke-tiga Saguisuk yang berhasil memperdaya Lamitik dan Lamituk.
Lamitak kemudian diselamatkan oleh ayahnya yang sengaja datang bersama-sama dengan sejumlah penduduk Kampung Taniran lainnya ke tempat di mana Lamitak bersaudara mencari pohon kayu ulin di kaki Gunung Maratus.
Tidak hanya itu, ayah Lamitak juga berhasil membalaskan dendamnya atas kematian dua orang anaknya. Ia berhasil membunuh tiga macan siluman itu dengan kekuatan magis yang mengalir dari mulutnya yang komat-kamit membaca mantera pemusnah macan siluman.
Ayah Lamitak ini pula yang dengan bantuan tenaga yang diberikan oleh warga sekampungnya berhasil membawa pulang dua batang kayu ulin hasil tebangan anak-anaknya.
Setelah Lamitak sembuh dari sakitnya, dua batang kayu ulin itu pun mereka muat ke dalam dua buah rakit bambu yang sengaja dibuat untuk membawanya melalui jalur sungai dari Kampung Taniran menuju kota Muara Banjar.
Sesampainya di kota Muara Banjar dua batang kayu ulin itu diserahkan oleh Lamitak kepada panitia pembangunan masjid, dan sesuai dengan janjinya maka Sultan Suriansyah pun memberi Lamitak hadiah uang dalam jumlah yang sangat besar.
Tapi, meskipun empat batang kayu ulin untuk tiang gurunya sudah berhasil diperoleh. Namun, pembangunan masjid dimaksud tidak bisa langsung dimulainya. Menteri Empat Kerajaan Banjar yang terkenal sebagai empat punggawa yang sakti mandraguna, yakni Panimba Sagara, Pambalah Batung, Garuntung Manau dan Garuntung Waluh tiba-tiba menghilang dari tempat kediaman resmi mereka masing-masing.
Pemancangan tiang guru masjid terpaksa ditunda, karena tanpa bantuan ilmu kedigjayaan yang dimiliki oleh mereka berempat maka mustahil tiang guru masjid dimaksud akan dapat dipancangkan dengan mudah sebagaimana mestinya.
Selidik punya selidik, ternyata Menteri Empat Kerajaan Banjar itu sengaja pergi secara bersama-sama meninggalkan tempat kediaman resmi mereka masing-masing karena mereka tidak puas dengan keputusan Sultan Suriansyah memeluk agama Islam dan menjadikan agama Islam sebagai agama resmi di Kerajaan Banjar.
Hal ini mengingat keputusan Sultan Suriansyah itu dengan sendirinya telah menggusur status terhormat agama nenek moyang mereka. Selama ini agama nenek moyang yang mereka anut selalu dijadikan sebagai agama resmi dari semua kerajaan yang pernah ada di Tanah Banjar. Baik pada masa pemerintahan dinasti Kerajaan Negara Dipa, maupun pada masa pemerintahan dinasti Kerajaan Negara Daha.
“Pada mulanya kita bertempur untuk menegakkan sabda pandita ratu junjungan kita mendiang Maharaja Sukarama. Ironisnya, setelah sabda pandita ratu mendiang Maharaja Sukarama berhasil kita tegakkan, kita justru kehilangan kesempatan mempertahankan agama kita sebagai agama resmi kerajaan.” ujar Panimba Sagara.
Panimba Sagara dan kawan-kawannya sesama Menteri Empat yang menjadi anggota dalam musyawarah pucuk pimpinan di Kerajaan Banjar dengan terus terang mengatakan bahwa mereka telah merasa sia-sia berjuang menegakkan sabda pandita ratu Maharaja Sukarama. Bahkan, lebih dari pada itu mereka berempat merasa telah berbuat dosa yang sangat besar karena telah memberi peluang kepada agama Islam untuk menempati status sebagai agama resmi kerajaan (status yang selama ini ditempati oleh agama nenek moyang mereka).
Setelah melalui pendekatan dari hati ke hati yang dilakukan sendiri oleh Sultan Suriansyah, kemelut politik di Kerajaan Banjar itupun akhirnya berhasil diselesaikan dengan happy ending. Panimba Sagara dan kawan-kawannya bersedia memenuhi panggilan pulang yang disampaikan secara langsung oleh Sultan Suriansyah sendiri. Tidak hanya itu, meskipun tetap memeluk agama nenek moyangnya, mereka berempat bersedia menyumbangkan tenaga sakti yang mereka miliki untuk memancangkan tiang guru masjid yang dibangun oleh Sultan Suriansyah.
Namun, meskipun keempat tiang guru masjid telah berhasil dipancangkan sebagaimana yang direncanakan. Ternyata masih ada masalah yang harus segera diselesaikan. Semua tiang guru masjid yang telah berhasil dipancangkan itu pada suatu malam telah roboh semua tanpa diketahui sebab musababnya.
Selidik punya selidik ternyata semuanya itu adalah akibat ulah buaya siluman berwarna hitam yang sengaja disuruh oleh Pangeran Temenggung untuk merobohkan tiang guru masjid dimaksud.
Rupanya, Pangeran Temenggung yang ketika itu tengah menjalani kehidupan sebagai orang yang dikalahkan di daerah pengasingannya, masih menaruh dendam kepada Sultan Suriansyah, sehingga ia selalu berusaha untuk mengganggu keamanan dan ketertiban di Kerajaan Banjar.
Buaya siluman berwarna hitam itu berhasil dibunuh oleh Ning Kurungan seekor buaya siluman berwarna kuning yang bersahabat baik dengan Panimba Sagara. Setelah buaya siluman berwarna hitam berhasil dibunuh oleh buaya siluman berwarna kuning, maka pembangunan masjid di pusat kota Muara Banjar itu bisa dilakukan tanpa hambatan sama sekali. Hingga dalam tempo singkat pembangunan masjid dimaksud bisa diselesaikan sebagaimana mestinya.
Belakangan baru diketahui bahwa Pangeran Temenggung tidak hanya menjadi aktor intelektual dalam kasus perusakan tiang guru masjid oleh buaya siluman berwarna hitam ini saja. Tapi juga menjadi aktor intelektual yang dulu menyuruh jin kapir Maskabal dan Maskabil dalam kasus Pulau kaget yang membuat Sutakil dan Sutakul sempat berubah wujud menjadi dua ekor naga. Tidak hanya itu, Pangeran Temenggung ini pula yang menjadi aktor intelektual yang menyuruh macan siluman Saguisak, Saguisik dan Saguisuk dalam kasus pembunuhan Lamitik dan Lamituk di kaki Gunung Maratus
Memang, buaya siluman berwarna hitam, jin kapir Maskabal dan Maskabil, berikut tiga macan betina Saguisak, Saguisik dan Saguisuk, semuanya itu ternyata adalah orang-orang yang bekerja demi dan untuk atau atas suruhan Pangeran Temenggung.

SEKILAS INFO : NOVEL SAYA BERJUDUL TERBITNYA MASJID KAMI DITERBITKAN OLEH TUAS MEDIA KERTAK HANYAR

Saya ucapkan terima kasih kepada Saudara Mahmud Jauhari Ali (MJA), pemilik Tuas Media Kertak Hanyar, yang telah berkenan menerbitkan novel saya berjudul Tegaknya Masjid Kami (TMK).
TMK merupakan novel saya yang pertama, tahun 2004, novel ini telah dimuat secara bersambung di sebuah koran terbitan Banjarmasin. Sambutan pembaca atas pemuatan TMK ketika itu sangatlah menggembirakan.
Sambutan hangat juga diberikan oleh komunitas sastrawan Kalsel, 22 Februari 2004, novel TMK telah dibahas secara khusus dalam sebuah forum diskusi yang sengaja digelar untuk itu.
Selanjutnya, berkenaan dengan peringatan 483 tahun Kota Banjarmasin (24 September 2010), Puskajimastra Kalsel Banjarmasin berkenan menerbitkannya dalam bentuk buku. TMK Cetakan I telah habis terjual dan telah pula dijadikan sebagai sumber data penulisan skripsi oleh sejumlah mahasiswa PBSID STKIP PGRI Banjarmasin.
TMK bercerita tentang perjuangan Sultan Suriansyah ketika mendirikan Kerajaan Banjar pada tahun 1520-1526. Kerajaan Banjar baru bisa didirikan setelah Sultan Suriansyah berhasil tampil sebagai pemenang dalam perang saudara melawan pamannya Pangeran Temenggung yang ketika itu menjadi raja secara tidak sah di Kerajaan Negara Daha.
Kerajaan Banjar adalah kerajaan pertama di Pulau Kalimantan yang menjadikan ajaran Islam sebagai ideologi negara menggantikan ajaran nenek moyang yang selama ini menjadi ideologi Kerajaan Negara Daha.
Masjid merupakan simbol yang paling utama dari sebuah kerajaan Islam. Namun, meskipun berstatus sebagai raja yang berkuasa penuh di seantero wilayah kerajaannya, Sultan Suriansyah harus berjuang keras untuk mendirikan masjid pertama di kota Banjarmasin.
Tantangan tidak hanya datang dari para pihak yang selama ini menjadi musuh laten negaranya, tetapi juga datang dari lingkaran dalam istana (ring 1). Persoalan menjadi sangat serius karena para pihak yang menentangnya kali ini adalah para petinggi militer Kerajaan Banjar yang masih tetap kukuh menganut agama nenek moyang mereka.
Intrik-intrik politik tingkat tinggi inilah yang antara lain saya ceritakan dalam TMK. Cerita lain yang juga mendominasi adalah cerita tentang kesulitan-kesulitan yang dialami oleh para peserta sayembara pencarian 4 batang tiang ulin untuk sokoguru masjid. Setiap peserta diceritakan mengalami peristiwa dahsyad di tempat-tempat di mana mereka menebang pohon ulin dimaksud.

Hormat saya,
Tajuddin Noor Ganie, N.Pd.
Jalan Mayjen Soetoyo, Gang Sepakat
RT 9 Nomor 30, Banjarmasin, 70119
Telepon 08195188521

TUAS MEDIA KERTAK HANYAR TERBITKAN NOVEL TAJUDDIN NOOR GANIE BERJUDUL TEGAKNYA MASJID KAMI

Mahmud Jauhari Ali (MJA), pemilik Tuas Media Kertak Hanyar mengatakan bahwa pihaknya sejak 13 Februari 2012 ybl mulai menyebar-luaskan novel karangan Tajuddin Noor Ganie (TNG) berjudul Tegaknya Masjid Kami (TMK).
Novel Tegaknya Masjid Kami (TMK) karangan Tajuddin Noor Ganie (TNG) sebelumnya (2004) sudah dimuat sebagai cerita bersambung di sebuah surat kabar terbitan Banjarmasin pada tahun 2004 yl.
Sambutan pembaca atas pemuatan cerita bersambung TMK ketika itu sangatlah menggembirakan. Tidak hanya itu, para sastrawan Kalsel juga menyambutnya dengan antusias. Pada tanggal 22 Februari 2004, novel TMK dibahas secara khusus dalam sebuah forum diskusi yang sengaja digelar untuk itu.
TMK untuk kali yang pertama diterbitkan oleh Puskjaimastra Kalsel Banjarmasin berkenaan dengan peringatan 483 tahun Kota Banjarmasin (24 September 2010 ybl). Cetakan I TMK telah habis terjual dan telah pula dijadikan sebagai sumber data penulisan skripsi oleh sejumlah mahasiswa PBSID STKIP PGRI Banjarmasin.
“Kami tertarik menerbitkannya kembali karena TMK menurut kami merupakan novel yang sangat mengesankan. Isinya bercerita tentang historiografi masjid Sultan Suriansyah yang terletak di bilangan Jalan Pangeran, Kuin Utara, Banjarmasin,” ujar Mahmud Jauhari Ali dalam release yang dikrimkannya ke koran ini.
TMK bercerita tentang perjuangan Sultan Suriansyah ketika mendirikan Kerajaan Banjar pada tahun 1520-1526. Kerajaan Banjar baru bisa didirikan setelah Sultan Suriansyah berhasil tampil sebagai pemenang dalam perang saudara melawan pamannya Pangeran Temenggung yang ketika itu menjadi rajan secara tidak sah di Kerajaan Negara Daha.
Kerajaan Banjar adalah kerajaan pertama di Pulau Kalimantan yang menjadikan ajaran Islam sebagai ideologi negara menggantikan ajaran nenek moyang yang selama ini menjadi ideologi Kerajaan Negara Daha.
Masjid merupakan simbol yang paling utama dari sebuah kerajaan Islam. Namun, meskipun berstatus sebagai raja yang berkuasa penuh di seantero wilayah kerajaannya, Sultan Suriansyah harus berjuang keras untuk mendirikan masjid pertama di kota Banjarmasin.
Tantangan tidak hanya datang dari para pihak yang selama ini menjadi musuh laten negaranya, tetapi juga datang dari lingkaran dalam istana (ring 1). Persoalan menjadi sangat serius karena para pihak yang menentangnya kali ini adalah para petinggi militer Kerajaan Banjar yang masih tetap kukuh menganut agama nenek moyang mereka.
Intrik-intrik politik tingkat tinggi inilah yang antara lain diceritakan oleh TNG dalam TMK. Cerita lain yang juga mendominasi adalah cerita tentang kesulitan-kesulitan yang dialami oleh para peserta sayembara pencarian 4 batang tiang ulin untuk sokoguru masjid. Setiap peserta diceritakan mengalami peristiwa dahsyad di tempat-tempat di mana mereka menebang pohon ulin dimaksud.